Pages

Friday, December 05, 2014

Buku Tentang Kanker yang Anti-Cengeng

Halaman: Paperback 424 halaman
Penulis:
Penerjemah: Ingrid Dwijadi Nimpoeno
Penyunting: Prisca Primasari
Tahun terbit: Mei 2014 (pertama kali terbit 10 Januari 2012; pertama kali diterbitkan di Indonesia pada Desember 2012)
Penerbit: Qanita
ISBN13: 9786021637395
Penghargaan sastra:  Buxtehuder Bulle (2012), Odyssey Award for Excellence in Audiobook Production Honor (2013), West Australian Young Readers' Book Award (WAYRBA) for Older Readers (2013), YALSA Teens' Top Ten Nominee (2012), Milwaukee County Teen Book Award (2013) Indies Choice Book Award for Young Adult (2013), Deutscher Jugendliteraturpreis for Preis der Jugendjury (2013), Amelia Elizabeth Walden Award (ALAN/NCTE) (2013), Dioraphte Jongerenliteratuurprijs for vertaald boek en publieksprijs (2013), The Inky Awards for Silver Inky (2012), Abraham Lincoln Award (2014), Goodreads Choice for Best Young Adult Fiction (2012)

Hazel yang mengidap kanker tiroid dengan metastasis pada paru-paru bertemu Augustus Waters yang mengidap osteosarkoma sewaktu dia sedang dengan ogah-ogahan berkunjung ke pertemuan rutin Kelompok Pendukung Penyintas Kanker. Mereka menjalani perkenalan singkat yang mengesankan sebelum berlanjut pada fase naksir-naksiran yang manis. Mereka menonton film di rumah Augustus di hari pertama mereka bertemu, saling bertukar buku favorit, dan terlibat percakapan-percakapan seru. Obrolan itu, suatu ketika, sampai pada rencana untuk menemui penulis favorit Hazel, Peter Van Houten, yang tinggal di Belanda.
The Fault In Our Stars jelas bukan buku cerita tentang hari-hari pengidap kanker pertama yang pernah ditulis di planet ini. Tapi ini pasti akan menjadi buku tentang kanker pertama yang tidak membosankan, dan akan dinikmati dengan lebih banyak tertawa daripada menangis—mungkin satu-satunya buku tentang kanker yang bisa menyaingi buku ini hanya Kemalangan Luar Biasa karya Peter Van Houten.
The Fault In Our Stars menampilkan karakter-karakter penuh kekurangan dengan optimisme yang mengesankan, menarik dalam keterbatasannya, cerdas, dan spertinya sengaja didesain untuk memenangi babak pertama dalam Permainan Memerangi Kanker. Hazel Grace Lancaster adalah gadis enam belas tahun yang sangat sadar dengan takdir tentang akhir hidupnya. Dia tahu pasti, dia sedang sekarat dan akan segera mati karena kanker. Tapi dia tidak ingin menggunakan lift setiap kali menghadiri pertemuan Kelompok Pendukungkarena menurutnya lift adalah pertanda tentang datangnya hari-hari terakhir. Dia sudah menarik diri dari dunia sejak dia tahu dia akan mati karena kanker. Dia bertahan dengan hanya berhubungan dengan orang-orang yang sudah terlanjur dekat dengannya: ayahnya, ibunya, dan sahabat di masa sekolahnya, Kaitlyn. Meski begitu, Hazel berupaya keras menjalani hidupnya dengan normal, dengan bantuan tangki oksigen yang dia seret ke mana-mana, yang terhubung dengan selang yang selalu terpasang di hidungnya.
Hazel memiliki orangtua yang sangat suportif: ayah yang sangat mencintainya dan ibu yang punya banyak ide gila tentang hal-hal yang patut dirayakan. Sedang Augustus Waters adalah cowok yang tampan dan luar biasa seksi di mata Hazel. Cowok cerdas yang sangat mampu mengimbangi Hazel. Sepasang penyintas kanker ini memang benar-benar serasi. Dialog-dialog keduanya selalu lucu, segar, dan romantis dengan cerdasnya, dan juga cerdas dengan romantisnya.
"Hazel Grace, senang sekali berkenalan denganmu."
"Sama-sama, Mr. Waters."
"Boleh menemuimu lagi?"
"Tentu saja."
"Besok?"
"Sabar, Belalang. Kau tidak ingin kelihatan terlalu bersemangat."
"Benar, itulah sebabnya kubilang besok. Aku ingin menemuimu lagi malam ini. Tapi, aku bersedia menunggu semalaman dan hampir sepanjang esok."
"Kau bahkan tidak mengenalku. Bagaimana jika aku meneleponmu ketika sudah selesai membaca ini?"
"Tapi, kau bahkan tidak punya nomor teleponku."
"Aku sangat curiga kau menuliskannya di dalam buku ini."
"Dan, kau bilang kita tidak saling mengenal" (Augustus dan Hazel: 53-54).
The Fault In Our Stars menggambarkan dunia penyintas kanker dengan berbeda tapi tetap manusiawi. Ada airmata di saat-saat sentimental yang datang sesekali. Ada kemarahan. Ada raungan putus asa. Tapi selalu ada yang bisa ditertawai, ada yang bisa dimaki, dan selalu ada waktu yang tepat untuk jatuh cinta.
Aku jatuh cinta kepadamu. Sungguh. Aku jatuh cinta kepadamu, dan aku tidak mau mengingkari diriku sendiri dari kenikmatan sederhana berkata jujur. Aku jatuh cinta kepadamu, dan aku tahu bahwa cinta hanyalah teriakan ke dalam kekosongan, dan pelupaan abadi tak terhindarkan, dan akan ada hari ketika semua upaya kita kembali menjadi debu, dan aku tahu matahari akan menelan satu-satunya bumi yang kita miliki, dan aku jatuh cinta kepadamu (Augustus kepada Hazel: 207-208).
Sejak awal, dengan Hazel sebagai narator, The Fault In Our Stars sudah menggulirkan cerita dengan dinamisasi yang membuat saya tidak ingin meninggalkan buku ini. Sarkasme dan ironi-ironi yang dilontarkan Hazel sangat menyenangkan untuk terus diikuti. Realita terasa begitu hidup tajam dari sudut pandang Hazel. 
"Setiap kali kau membaca buklet, situs web, atau apa saja mengenai kanker, depresi selalu disebutkan di antara efek-efek kanker. Tapi, sesungguhnya, depresi bukan efek samping kanker. Depresi adalah efek samping sekarat" (hal. 9).
Menggambarkan hari-hari pengidap kanker dengan ruang gerak yang terbatas, tidak ada adegan berlabel luar biasa dalam buku ini. Misalnya kencan yang luar biasa romantis, atau ratapan yang luar biasa emosional dan menguras airmata habis-habisan, atau aksi yang luar biasa heroik, misalnya. Memang, tidak ada yang luar biasa dalam kehidupan keseharian pengidap kanker. Kecuali bahwa mereka golongan minoritas dari populasi dunia yang luar biasa padat ini, yang memiliki kemampuan istimewa untuk mengetahui bahwa akhir hidup mereka sudah dekat, dan setiap tarikan atau helaan napas mereka selalu bisa menjadi yang terakhir. Tapi dengan cara yang aneh dan agak sulit dipercaya, buku ini sudah menjadi salah satu bacaan yang luar biasa berkesan bagi saya di tahun ini. Saya sulit melupakannya meski sudah berminggu-minggu berselang sejak saya menutup buku ini dan menjejalkan banyak buku fiksi lain ke dalam kepala saya. John Green menggunakan bahasa sebagai kekuatannya untuk mengikat pembaca buku ini. Ada banyak diksi-diksi akrobatis dan frasa-frasa mengejutkan yang membetahkan dalam buku ini. Jenis daya tarik superbesar bagi saya untuk sebuah buku. Dan pada akhirnya, meski akhir buku ini sudah dapat ditebak arahnya, tetap saja pembaca akan memikirkan beberapa kemungkinan—yang tak satu pun mereka inginkan untuk terjadi.
Akan tiba saatnya, ketika kita semua mati. Kita semua. Akan tiba saatnya ketika tidak ada lagi umat manusia yang tersisa untuk mengingat bahwa manusia pernah ada atau spesies kita pernah melakukan sesuatu. Tidak akan ada siapa pun yang tersisa untuk mengingat Aristoteles atau Cleopatra, apalagi mengingatmu. Semua yang kita lakukan, dirikan, tuliskan, pikirkan, dan temukan akan terlupakan, dan semuanya ini tidak akan ada artinya. Mungkin saat itu akan segera tiba, mungkin juga masih jutaan tahun lagi, tapi seandainya pun kita bertahan hidup dari kebinasaan matahari, kita tidak akan bertahan hidup untuk selamanya. Ada masa sebelum organisme mengalami kesadaran, dan akan ada masa setelahnya. Jika kau khawatir dilupakan untuk selamanya oleh manusia, aku mendorongmu untuk mengabaikannya saja. Tuhan tahu, itulah yang dilakukan semua orang lainnya (Hazel kepada Augustus: 22-23)
Saya bersyukur karena tidak jadi batal membaca buku tentang kanker ini. Saya memiliki semacam fobia terhadap buku-buku tentang kanker. Saya takut membayangkan airmata orang-orang yang akan segera mati dan sadar mereka akan segera mati, dan karena itulah mereka menangis. Untunglah, The Fault In Our Stars bukan buku tentang kanker yang cengeng. Dengan senang hati, saya akan mengulanginya sekali lagi—dengan sedikit penambahan. Ini adalah bacaan yang sangat menyenangkan, ditulis dengan cerdas dan berbobot, dengan misi menebarkan semangat hidup yang diupayakan tanpa sepatah pun kata klise.
Mau bagaimana lagi? Satu-satunya yang bisa saya katakan hanyalah ... John Green memang seorang jenius. Dengan begini, saya baru saja menjadi orang kesekian juta sekian yang mengatakan itu.
Kredit Gambar

4 comments:

  1. Halo salam kenal, Mbak :)
    abis baca review ini, saya jadi penasaran buku TFiOS. gara-gara waktu abis nonton filmnya, saya malah bosan dan ngerasa flat. mungkin kalo baca langsung bukunya jadi bisa lebih menghayati hehehe :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai, salam kenal, Rico!
      Saya malah belum nonton filmnya :)
      Pokoknya, ini memang buku yang wajib dibaca penggemar Young Adult. Terutama, kalau mereka butuh penyegaran dari cerita cinta remaja yang begitu begitu saja ;)

      Delete
  2. Bagus nih reviewnya, tertarik buat baca sih :)

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...