Pages

Tuesday, December 02, 2014

Dunia Skizofrenik, Semangat Positif, Nasehat Penting, & Anjuran Berharga Bagi Dunia Psikologi dan Psikiatri

Judul buku: Bulan Nararya
Jumlah halaman: 256 halaman paperback
Penulis:
Tahun terbit: September 2014 
Penerbit: Indiva Media Kreasi
ISBN13: 9786021614334
Penghargaan sastra: Pemenang III Kompetisi Tulis Nusantara

Penolakan mentah-mentah terhadap proposalnya untuk menerapkan model terapi transpersonal bagi pasien skizofrenia, tidak lantas membuat Nararya menyerah. Harapannya memang mengendur, tapi dia belum sama sekali berniat untuk mengubur cita-cita itu. Untuk sementara, dia akan tetap mempercayakan segala kendali pada Bu Sausan, pengambil keputusan tertinggi atas semua masalah di klinik kesehatan mental tempatnya bekerja. Bagaimanapun juga, Nararya tidak bisa mengabaikan pengalaman
kerja Bu Sausan, atasannya yang supertegas itu. Sebagai terapis di sentra penanganan kasus-kasus skizofrenia, hari-hari Nararya adalah pengerahan upaya terbaik untuk perkembangan positif kondisi klien-kliennya. Adalah Yudhistira, Sania, dan Pak Bulan. Yudhistira yang digugat cerai oleh istrinya dan hampir ditinggalkan oleh ibu dan kakak-kakak perempuannya. Sania, gadis yang sedang beranjak remaja dengan riwayat kekerasan dalam keluarga dan lingkungannya. Dan Pak Bulan, lelaki paruh baya sebatangkara yang bertani mawar di klinik. Nararya, secara perlahan, telah terhubung secara emosional dengan ketiga pasiennya itu. Dan hal itu membuat energinya terkuras habis-habisan. Di tengah semua itu, Nararya harus berhadap-hadapan lagi dengan Angga, mantan suaminya, lelaki yang masih dicintainya, yang tiba-tiba saja didapati Nararya sedang menjalin kasih dengan Moza, gadis cantik dan cerdas yang merupakan rekan kerja sekaligus sahabatnya.
Bulan Nararya adalah karya Sinta Yudisia pertama yang saya baca, setelah saya akhirnya berhenti membaca Rinai beberapa waktu lalu (tiba-tiba saja seorang junior saya di kampus ingin meminjam Rinai, dan saya sama sekali tidak bisa menolak). Seperti halnya Rinai yang nampaknya berusaha mem-portrait psikologi dalam frame fiksi, Bulan Nararya  pun ditulis dengan semangat yang sama. Namun, Sinta telah mengerucutkannya pada skizofrenia di Bulan Nararya. Sangat menarik, menemukan hal-hal serumit dunia skizofrenik di dalam sebuah fiksi. Tidak banyak novelis Indonesia yang mau bersusah payah mengemas tema-tema semacam ini dalam alur fiktif. Selain karena risetnya yang pasti gila-gilaan, penulis juga akan menempuh resiko untuk sekali waktu terjebak dalam teknik penarasian yang terlalu deskriptif sehingga merusak cita rasa fiksional—kemampuan bercerita yang luwes, menyenangkan, menghibur—sekaligus mengayakan pembaca dalam beberapa aspek. Dan saya menyesalkan karena Sinta Yudisia harus mengalaminya. Bulan Nararya yang dinarasikan lewat suara Nararya, terasa didaktif. Beberapa kali Sinta terpeleset sehingga tanpa sadar menumpahkan dirinya ke dalam Nararya. Beberapa kali informasi seputar skizofrenia dituturkan seperti gaya penulisan buku teks referensi mahasiswa jurusan psikologi di universitas. Hal-hal semacam ini, sebenarnya persoalan editorial yang masih sangat bisa dibenahi. Bagaimanapun juga, buku sederhana ini, telah disajikan dengan sangat informatif. Saya menuliskan beberapa kutipan yang sangat menarik perhatian saya, sebagai bahan kontemplasi. Saya berniat menuliskannya di post-it dan menempelkannya pada sterefoam wall di kamar saya.
Setiap pagi selepas sarapan bersama, semua penghuni klinik diminta berbaris di halaman rumput luas. Senam diiringi alunan musik riang, bermandikan cahaya matahari hangat yang bebas sengatan. Cahaya matahari di waktu pagi dianggap meningkatkan endorfin, meningkatkan rasa bahagia dan semangat untuk beraktivitas. Penderita skizophrenia kekurangan beberapa unsur kimiawi dalam sel-sel saraf, menyebabkan mereka tak dapat menanggapi suatu rangsangan dengan perilaku yang akurat. Selain asupan gizi, olahraga dan pilihan-pilihan aktivitas yang tepat dapat membantu kerja kimiawi lebih baik, memberikan perasaan senang yang bermanfaat bagi emosi (hal 148).
Membaca hal-hal yang berbau psikologi, kita akan selalu terbawa pada titik-titik familier tertentu. Karena pada dasarnya, psikologi adalah elemen dasar dari diri kita. Maka beberapa hal akan terasa sangat kita kenali, karena sangat diri kita.
Membaca Bulan Nararya, mau tidak mau, saya akan membandingkannya dengan novel bertema serupa. Di tahun 2011, saya menemukan Therapy karya , penulis bergenre misteri dan suspense asal Jerman. Therapy juga berkisah tentang pasien skizofrenia bernama Viktor. Menariknya, Viktor adalah seorang psikiater ternama yang seringkali menangani kasus-kasus skizofrenia. Dan Therapy dieksekusi dengan baik sekali. Sebastian berhasil mengajak pembaca menyelami alam pikiran seorang skizofrenik yang kelam, berkabut, dan misterius dengan cara yang sangat menyenangkan dan thrilling. Meski Bulan Nararya lebih dimaksudkan untuk mengajak pembaca berempati terhadap pasien skizofrenia dan memberi pesan yang positif bagi masyarakat—dan terutama keluarga pasien serta lingkungan di mana pengidap skizofrenia berdiam, saya berharap cerita dengan nilai seluhur ini dapat disajikan dengan lebih luwes dan baik lagi.
Dalam buku ini, Sinta menghadirkan tokoh-tokoh yang sangat humanis. Tidak ada tokoh yang benar-benar putih atau benar-benar hitam. Anehnya, meski Nararya adalah karakter utama di buku ini, saya lebih menyukai karakter Diana yang keras kepala, memiliki rasionalitas mirip lelaki, tetapi memiliki cinta seorang perempuan yang seolah tanpa titik jenuh. Saya juga mengagumi Bu Sausan, atasan Nararya yang sangat keras kepala, cerdas, namun tegas dan memiliki kemampuan mengendalikan bahaya-bahaya vital yang berkenaan dengan kepentingan orang lain. Dan dengan sikap kerasnya, Bu Sausan tetap dapat menunjukkan kehangatan seorang senior, atasan, sekaligus ibu yang menenangkan. Nararya sendiri hadir sebagai tokoh protagonis yang tidak luput dari ketidaksempurnaan. Tampil sebagai terapis dengan penguasaan teori psikologi yang mengesankan, Nararya tidak bisa mengendalikan dirinya dari kerapuhan akibat keretakan rumah tangganya. Di balik kekuatan dan dedikasinya yang teramat besar di bidang kerjanya, Nararya tetaplah seorang perempuan yang bisa tertekan, sangat bisa  rapuh, dan sekali  waktu harus kehilangan kemampuan menerapkan teori akademis untuk menenangkan dirinya sendiri. Tetapi, dengan besar hati, Nararya pun dapat membuka diri kepada orang lain untuk mendapatkan nasehat dan bantuan moril. Sayangnya, sebagai pembaca biasa, ego saya menginginkan Nararya dapat mempertahankan Angga.
Ada hal yang terasa cukup mengganggu bagi saya tentang Bulan Nararya. Keterlibatan tokoh-tokoh minor dalam konflik rasanya agak terlalu dominan, sehingga hampir menutupi dominasi Nararya sebagai karakter utama. Alih-alih menunjukkan kelebihan Nararya sebagai terapis yang dedikatif, saya justru melihat Nararya sebagai terapis yang tidak professional, karena terlalu emosional. Dia terlalu banyak menenggelamkan diri dalam kehidupan pasien-pasiennya.
Sebagai salah satu pemenang Sayembara Tulis Nusantara yang mensyaratkan eksplorasi ciri lokal, saya kira, Bulan Nararya tidak cukup berhasil mengeksplorasi Surabaya dan Sulawesi Tengah. Meski menyebutkan item-item pariwisata dan kuliner dengan seadanya dan konflik kesukuan yang pernah begitu menghentak bangsa ini, buku ini, nampaknya tidak cukup berhasil memetik kearifan lokal daerah tertentu untuk menyematkannya pada tokoh tertentu dan kehidupannya.
Di samping itu semua, ada beberapa hal-yang-tampak-sepele-namun-penting lainnya yang cukup mengganggu dari Bulan Nararya. Setiap babnya tidak diberi judul, padahal judul-judul setiap bab sudah tertera di halaman daftar isi. Atau mungkin itu cacat produksi yang hanya terjadi di buku yang saya miliki. Saya juga menemukan kata farmakologi yang terasa janggal penempatannya. Dalam kalimat semacam itu, saya lebih familier dengan istilah medikasi. Saya berharap, buku-buku semacam ini, kelak diproduksi dengan kuantitas yang lebih tinggi, dan dieksekusi dengan lebih baik oleh penulis maupun tim editorial penerbitnya.
Terlepas dari kekurangan-kekurangannya, saya mengapresiasi lahirnya buku ini. Semoga menjadi pemicu bagi lahirnya roman-roman bartendens lainnya di tanah air. Saya sudah mendapat banyak nasehat yang baik sekali dari buku ini.
“Tak usah mencari apa makna yang tersirat,” Bu Sausan seolah membaca pikiran. “Kesukaanmu mencari apa yang tersembunyi di belakang, akan menyulitkan. Pakai saja konsep here and now. Apa yang ada di hadapanmu, itu saja (Bu Sausan kepada Nararya: 93).
“Semakin banyak menarik diri, semakin lemah pertahanan mentalmu. Kali ini kamu masih mampu bedakan halusinasi, ilusi, atau bayangan. Kali lain, kamu akan campur aduk semuanya. Dan kesadaranmu berada dalam titik koma” (Bu Sausan kepada Nararya: 139).
“Ibarat imunitas, manusia perlu disuntik virus tertentu. Tubuhnya akan membentu antibodi. Jika suatu saat terpapar lagi, tubuhnya lebih kuat mengantisipasi. Begitupun kepribadian kita. Coba nikmati setiap rasa sakit agar setiap perasaan-ingatan-pengetahuan kita belajar dari apa yang terjadi. Kepribadian menjadi kuat, dan kita siap dalam periode yang akan datang” (Farida kepada Nararya: 225).
Monolog Nararya dan dialog Nararya dengan tokoh lain sangat informatif. Beberapa kali, saya tidak bisa menahan diri untuk mencocokkan simtom tertentu dengan yang (mungkin) sedang saya rasakan.
Lebih cepat lelah. Sulit memejamkan mata. Fokus berkurang. Cepat lupa. Sering terkejut oleh hentakan suara yang sebetulnya tak terlalu menyentak. Apa aku demikian tertekan? Apa aku memiliki ilusi tak wajar dari tirai yang melambai di jendela, seperti seseorang tengah mengintai? Saat menajamkan penglihatan, sosok itu menghilang, hanya bayang di kegelapan (hal. 73).
Dengan cara yang menyenangkan, saya merasa dapat terhubung dengan klinik tempat Naraya bekerja beserta protokol kerjanya. Dan saya menjadi semakin antusias dengan topik transpersonal. Dunia dalam buku ini terasa sangat familier bagi saya, dan seperti membawa kembali memori berharga saya saat melakukan penelitian tugas akhir pendidikan sarjana di Poliklinik Psikiatri sebuah Rumah Sakit Jiwa di kota saya beberapa waktu silam.
Ini buku yang baik untuk mengenal dunia skizofrenik. Buku yang berisi semangat positif bagi keluarga pengidap skizofrenia, dan anjuran berharga bagi dunia psikologi dan psikiatri.
Kredit Gambar

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...