Di sebuah desa yang tandus, hiduplah sekeluarga petani miskin: sepasang
suami istri dan putri mereka yang baik budi, rajin bekerja, dan sangat
menyukai dongeng. Namanya Minli. Dia memanggil ayahnya dengan Ba, dan
ibunya dengan Ma. Setiap kali bertemu di meja makan, Minli selalu
meminta Ba untuk mengisahkan dongeng. Minli tidak pernah bosan mendengar
dongeng-dongeng Ba. Suatu malam, Minli meminta Ba lagi untuk
menceritakan dongeng tentang Gunung Nirbuah yan kering dan tandus. Minli
lantas bertanya, apa yang bisa dilakukan agar Gunung Nirbuah dapat
menghijau kembali. Ba berkata, bahwa pertanyaan itu hanya bisa dijawab
oleh Kakek Rembulan. Minli menjadi penasaran dengan sosok Kakek
Rembulan. Ketika Ma marah dan mengatakan bahwa dongeng-dongeng itu tidak
berguna karena mereka tetap saja miskin, Minli pun bertanya-tanya, mungkinkah Kakek Rembulan juga mengetahui cara merubah peruntungan keluarganya?

Suatu ketika, seorang penjual ikan mas melintasi desa Minli. Dia menjajakan ikan masnya sambil
menyebut-nyebut tentang peruntungan. Minli lantas membelinya tanpa pikir
panjang. Ma marah besar karena Minli menggunakan satu dari dua keping
koin peraknya yang berharga untuk membeli benda yang tidak berguna.
Menurut Ma, mereka bahkan tidak punya makanan cukup untuk memberi makan
satu makhluk hidup lagi. Maka suatu malam, ketika Minli melihat tangan Ba
gemetar saat merelakan suapan nasi terakhirnya untuk ikan mas miliknya,
Minli pun merasa sedih. Dia berpikir bahwa Ma memang benar. Dengan
sedih, Minli membawa ikan masnya ke sebuah sungai kecil, dan
melepaskannya. Tiba-tiba si ikan mas bersuara. Minli terkejut bukan
main, karena ternyata ikan mas itu bisa berbicara. Setelah berterima
kasih kepada Minli karena telah melepasnya, ikan mas memberi petunjuk
kepada Minli agar gadis kecil itu bisa bertemu Kakek Rembulan. Di malam
berikutnya, setelah menulis surat untuk Ma dan Ba, dengan
mengendap-endap, Minli meninggalkan rumah, dengan buntal perbekalan yang dianjurkan ikan mas. Dan, dimulailah petualangan Minli
yang menakjubkan, demi menemui Kakek Rembulan di Gunung Tak Berujung.
 |
kredit gambar |
Meski sudah begitu lama meninggalkan dunia kanak-kanak, saya masih,
sesekali, merindukan keriangan membaca dongeng di masa-masa itu.
Where The Mountain Meets The Moon sangat mampu mengobati kerinduan itu. Grace
Lin, dengan sentuhannya yang khas, dan dengan kepiawaian yang superior, menghidupkan satu lagi tokoh
anak-anak yang bertualang dalam keajaiban dunia dongeng, membawakan
karakter yang penuh teladan dan pemberani. Saya membayangkan versi
anak-anak dari diri saya belasan tahun silam, membaca buku ini di ruang
perpustakaan sekolah kami yang teramat sederhana
—sampai-sampai tidak
ada satu pun lemari buku di dalamnya. Saya pasti akan sangat menyukai
Minli. Dalam khayalan-khayalan sebelum tidur saya, saya akan
membayangkan diri saya adalah Minli, yang menunggangi punggung naga,
bertemu raja, dan mendaki langit, sampai rasa kantuk datang. Bahkan saat
ini, ketika buku dongeng telah menjadi hal yang terasa agak konyol jika masih terbaring di meja saya, saya masih sangat menyukai Minli, sahabat naganya, dan tentu saja, kisah petualangannya yang penuh
keajaiban khas dongeng.
 |
kredit gambar |
Saya sangat mengagumi keberhasilan Grace Lin menciptakan dongeng anak
yang sangat indah, cemerlang, dan ditulis dengan literer yang tetap
berada dalam kapasitas cerna anak-anak, tetapi mampu membuat orang
dewasa terkagum-kagum
—seolah-olah dongeng masih bagian dari diri mereka. Saya kagum pada detail yang dipilih Grace Lin
untuk membangun adegan demi adegan yang kelak mengutuh dalam sebuah alur
yang memancing rasa ingin tahu, seru, dan bikin kecanduan. Ketika Minli
melakukan sesuatu berdasarkan petunjuk dari orang atau tokoh yang
ditemuinya, saya selalu bertanya-tanya, apa yang akan ditemukan Minli
dengan hal-hal itu? Apa lagi yang akan dilalui Minli setelah itu? Tokoh unik mana lagi yang akan dia temui dan bagaimana rupanya?
Bagaimana dia akan melalui tantangan berikutnya dengan berhasil? Saya kagum dengan
dongeng-dongeng yang disisipkan Grace Lin di antara kisah Minli secara
berbingkai. Kisah-kisah itu tidak diletakkan di sana dengan sia-sia. Ia
ikut berperan membangun alur, mengayakan detil logika, yang secara
perlahan akan kita temukan melengkapi kisah petualangan Minli. Ada
Kisah Gunung Nirbuah—yang mengisahkan awal mula gunung di desa Minli menjadi tandus dan tidak mampu menumbuhkan pepohonan, bunga, dan buah. Ada pula
Kisah Kakek
Rembulan (yang mengikatkan benang takdir pada orang-orang berjodoh serta mampu membaca kitab nasib dan peruntungan), lalu
Kisah Naga (yang lahir dari lukisan),
Kisah Penjaja Ikan Mas,
Kisah Kertas Kebahagiaan,
Kisah Gerbang Naga,
Kisah Hakim Harimau, dan sebagainya. Yang sangat menarik perhatian saya adalah
Kisah Teman si Bocah Penggembala Kerbau. Si Bocah Penggembala Kerbau bertemu temannya di sebuah sungai, ketika temannya sedang mandi bersama keenam saudaranya. Ketika Bocah Penggembala Kerbau mengagetkan saudara-saudara sang gadis yang teramat cantik dan berkulit seputih mutiara, gadis itu tidak bisa ikut terbang ke langit karena selendangnya terinjak kerbau Bocah Penggembala. Sang gadis kerap mengunjungi Bocah Penggembala di malam terang bulan. Kisah ini langsung mengingatkan saya pada dongeng yang kita dapatkan di sekolah dasar. Sebuah dongeng tentang tujuh bidadari, yang memiliki beragam judul dan telah diadaptasi ke dalam banyak lakon dan drama audiovisual yang magis.
Asal Mula Terjadinya Pelangi. Kisah Cinta Jaka Pela dan Puteri Wangi. Dan sebagainya. Uniknya, kisah ini juga memiliki beragam versi lokal dengan beberapa modifikasi kreatif, seperti halnya yang dilakukan Grace Lin dalam buku ini.
Saya benar-benar terkejut karena sama sekali tidak menyangka sebelumnya, bahwa sebuah dongeng anak-anak bisa dituliskan dengan keputusan untuk mengambil resiko kreatif yang tidak mudah seperti upaya Grace Lin melahirkan kisah Minli ini. Dengan kosakata yang variatif dan kelas kata level menengah, anak-anak akan menemukan pengalaman membaca yang unik, tidak terlupakan, sekaligus mampu
mengupgrade kecerdasan verbal mereka. Dongeng yang sangat estetis
ini juga disisipi gambar-gambar ilustrasi yang cantik, yang akan melengkapi keindahan kisahnya, untuk mengayakan imajinasi anak-anak.
Dengan semua itu, saya menjadi terlampau asyik dengan hal-hal baru
yang ditemukan Minli, dan nyaris lupa dengan tujukan an lain Minli menemui
Kakek Rembulan selain menanyakan perihal peruntungan keluarganya.
Saya pikir, nampaknya Grace Lin juga terhanyut dengan keasyikan yang sama saat menuliskan dongengnya. Tapi tentu saja saya salah. Karena Grace Lin sudah memperhitungkan setiap detil dengan cerdik dan teliti. Kisah ini, kemudian bermuara pada akhir yang, meski telah
bisa kita duga gagasan besarnya, tetap saja mengejutkan, dan meninggalkan efek
menghangatkan hati yang dalam dan tahan lama. Kisah ini seperti bergerak melingkar dalam satu putaran
penuh. Minli bergerak dari satu titik, mengitari tempat-tempat baru
untuk melihat dunia di luar rumahnya sambil memetik buah-buah
kebijaksanaan, lalu pada akhirnya, dia kembali ke titik pijaknya yang
semula dengan hati dan pikiran yang baru. Dan, seperti dongeng-dongeng
lainnya, kisah Minli juga ditulis dengan
misi pembaikan untuk anak-anak.
Kisah ini akan membelajarkan anak-anak tentang keberanian, ketulusan,
kebaikan hati, kesungguhan, persahabatan, kasih sayang, dan kesyukuran. Saya ingin menyimpan buku ini untuk anak-anak saya kelak, dan meminta mereka agar menyimpannya untuk anak-anak mereka, dan seterusnya, selamanya.
 |
kredit gambar |
No comments:
Post a Comment