![]() |
kredit gambar |
Buku, saya kira, adalah produk dengan aspek paling kaya yang pernah
diciptakan. Menggabungkan seni dan
filosofi, dan memanggul harapan banyak orang. Jika dalam beberapa dekade
terakhir, buku fiksi menjadi produk hiburan yang begitu digemari, fakta ini tidak
dengan serta merta melemahkan premis yang saya ungkap di awal. Kemampuan buku
untuk mempengaruhi secara verbal, sangat mengagumkan. Menstimulasi daya visual
lewat bahasa, dengan beragam teknik yang kreatif, yang pada akhirnya mengayakan
penikmatnya dengan cara paling menghibur. Siapa yang tidak suka membaca? Maka
seorang penikmat buku yang fanatik, mulai membangun ekspektasi-ekspektasi
tertentu tentang buku-buku yang akan dibacanya kemudian, lagi, dan lagi.
Saya berharap buku itu
diselesaikan dengan akhir yang jelas. Kenapa sih, mereka tidak menikah di akhir
cerita? Saya bosan dengan roman yang penuh air mata. Ya ampun! Kenapa alurnya
lambat begitu? Buang-buang waktu, dan ceritanya hanya begitu saja. Semoga buku
itu berlanjut dan sampulnya jauh lebih baik. Saya tidak habis pikir, kenapa
buku itu salah ketik di mana-mana. Sebaiknya, kalau buku berikutnya rilis,
harganya akan jauh lebih murah. Pembaca harus cerdas dengan cara yang paling
mudah. Itu kan, tanggung jawab sebuah Negara? Saya tidak mendapatkan apa pun
dari buku itu. Semoga penulisnya bisa menulis sesuatu yang lebih berarti. Semoga
dan semoga dan semoga ….
Dari semua ekspektasi tentang
sebuah buku, saya berharap banyak—terlalu banyak—kepada aspek estetikanya. Berbicara tentang buku, aspek estetika sangatlah beragam jenisnya.
Setiap penikmat buku memiliki aspek estetikanya sendiri-sendiri. Dari yang
paling elementer dan paling mudah dilihat, hingga yang paling esensial. Dari sampul
sampai nilai penting paling personal. Aspek visual memang tidak bisa dianggap
remeh. Desain grafis yang menarik, teknik memadukan warna-warna, adalah hal
yang selalu menarik perhatian penikmat buku ketika berkunjung ke toko buku
untuk berbelanja. sangat mungkin juga layout. Sketsa yang menggambarkan
beberapa adegan, apalagi jika diberi sentuhan warna. Sulit untuk tidak
menginginkan buku semacam itu menjadi bagian dari rak buku kesayangan kita di
rumah. Tapi, tidak semua penikmat buku sanggup dibuat silau oleh hal-hal
fisik semacam itu. Saya sendiri adalah penikmat buku yang fanatik dengan unsur
esensial—seperti sebagian besar penikmat buku lainnya. Saya akan selalu jatuh
cinta kepada cerita yang mampu menggerakkan saya, dan terlebih lagi pada
bagaimana cerita itu dituliskan.
Dalam beberapa kurun
waktu terakhir, saya menjadi terlalu fanatik dengan aspek literer sebuah buku.
Saya mulai lebih sering mengabaikan bagaimana sebuah konflik bersinggungan dan
terurai pada penyelesaian. Saya lebih tertarik pada bagaimana cerita itu
dikisahkan kepada saya. Saya bahkan memiliki kamus metafora yang saya kutip
dari buku-buku yang saya sukai. Saya menulisinya dengan tangan. Saya membaca
lagi bagian-bagian itu di saat-saat tertentu.
Kali ini, saya
mencoba untuk merunut beberapa elemen dari sebuah buku, yang bagi saya menjadi
daya pikat besar untuk memburunya. Saya akan memulainya dari hal dengan daya
tarik paling rendah bagi saya, sampai yang tertinggi. Sangat subyektif,
memang—tapi untuk tujuan itulah tulisan ini dibuat ^_^ Kemungkinan besar, Anda
bisa menemukan diri Anda juga di sana.
9.
Harga
Semasa SMA, dan
keadaan itu berlangsung hingga tahun-tahun pertama saya di universitas, saya
selalu membeli buku karena harganya. Harga adalah hal pertama yang saya
pertimbangkan setelah membaca blurb sebuah buku. Berada jauh dari pusat
distribusi buku, harga buku di kota saya terbilang mahal. Di kemudian hari,
saya sadar, buku-buku itu hampir tidak memiliki nilai penting sama sekali bagi
saya. Sederhananya, saya menyesal sudah membelinya. Setelah kecintaan saya
kepada buku bergerak pada garis positif, harga tidak lagi menjadi beban bagi
saya. Seringkali, saya membatalkan acara belanja pakaian hanya untuk bisa
membeli buku. Suatu kali, ibu saya berkata, “Nak, kalau nanti kamu tidak punya
baju lagi, buat saja kertas-kertas bukumu itu jadi baju. Kok bisa ya, ada anak
perempuan seperti kamu?”. Ibuku bukan pembaca buku berhati teguh. Cukup jelas.
Tapi biar
bagaimanapun, saya tumbuh menjadi pemburu diskon yang gigih. Semua
penikmat buku akan melakukan hal yang sama. Meski harus menunggu akhir tahun.
Meski harus berbelanja online lebih sering. Buku bagus, harga bagus. SURGA!
Lalu bagaimana dengan
buku jelek dan harganya mahal? Itu, sungguh, kemalangan luar biasa. Jadilah
lebih selektif membeli buku. Gunakan kemudahan internet untuk mencari latar
belakang buku tertentu sebelum memutuskan untuk membelinya. Lalu putuskan,
layakkah buku itu mencuri lima puluh ribu-mu yang berharga.
8.
Sampul
Belum sekali pun,
saya membeli buku karena sampul yang atraktif. Meski pada dasarnya saya tidak
senang berdandan dan cenderung menyukai lelaki yang tahu caranya menampilkan
diri dengan mengesankan, saya bukan pembeli sampul paling naif. Tapi,
tunggu! Mungkin juga pernah! Secara tidak langsung. Bukan karena desain
sampulnya atau warnanya atau jenis hurufnya. Tapi label tertentu atau nama
pengarang atau nama besar dalam daftar testimoni yang tertera di sana. No. 1
New York Time Bestselling Book, Dari penulis pemenang Nobel Sastra, pemenang
Pertama Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta, Nominee Khatulistiwa Literary
Award, Pemenang Pulitzer, Pemenang Newberry, Karya Klasik Sepanjang Masa
Hanya hal-hal semacam
itu yang akan membuat saya membeli sebuah buku karena sampulnya. Kenapa? Saya
berharap banyak menemukan hal yang banyak. Tapi tentu tidak terlalu keliru,
menginginkan sebuah buku dengan sampul yang enak dipandangi. Bagaimanapun juga,
selera visual adalah hal terlalu personal untuk diusik.
7.
Tren
Mau tidak mau, saya
akan terusik juga, ketika sebuah buku sedang menjadi tren. Rasa ingin tahu!
Aha! Kenapa buku itu mendadak populer? Kebaruan tema? Kontroversi karena isu
tertentu? Lucunya, kadang sebuah buku menjadi tren yang ramai dibahas di
situs-situs jejaring buku karena kebalikan dari dugaan awalnya. Ya Tuhan,
kok bisa buku jelek begitu terbit? Another overhype book! Dan semacamnya.
Tapi sebisa mungkin, saya selalu mencari tahu buku-buku semacam ini. Lalu
menimbangnya lagi, apakah saya akan menyukainya, ataukah saya sedang
membutuhkannya sebagai asupan karena sedang menghadapi situasi spesifik, dan
sebagainya.
Akhir-akhir ini, saya
terseret arus John Green dengan cukup kuat. Saya cukup terkejut karena
menemukan novel-novel young adult yang dikisahkan dari sudut pandang cowok,
dan dituliskan dengan mempertimbangkan aspek intelektual dengan cermat.
Bukan hal yang mudah mendesain romansa memabukkan dalam pancang-pancang
logis yang membuatnya termaklumi. Dalam satu dan banyak hal, ekspektasi saya
terpenuhi—meski tidak sepenuhnya. Sebuah keniscayaan yang selalu saya
ketahui—dan saya merasa jauh lebih kaya. Saya akan selalu memandang tren
sebagai rekomendasi-rekomendasi yang layak saya pertimbangkan untuk menemukan buku-buku
bagus, saya rasa. Meski cukup disayangkan, beberapa kali saya harus kecewa dengan
buku-buku tertentu. Tapi lagi-lagi, personal taste. Hanya itu
jawabannya.
6.
Review yang Provokatif
Beberapa tahun
terakhir, saya membiasakan diri untuk memutuskan membeli buku setelah memeriksa
kelayakannya dalam standar personal saya di situs jejaring Goodreads. Saya
menemukan banyak buku bagus dengan cara ini. Meski tentu saja, akan selalu ada
pengecualian. Sulit untuk tidak kecewa, sesekali. Karena review seringkali
ditulis dengan sangat subyektif. Ada lebih banyak deskripsi yang menyuratkan
dan menyiratkan selera. Tidak jarang juga, review ditulis oleh seorang
penggemar fanatik. Tapi bagaimanapun, review di situs pembaca semacam
ini sangat membantu saya mengenali buku-buku yang saya duga akan saya
sukai. Meski cukup disayangkan, saya jadi sering membaca spoiler.
5.
Popularitas Penulis
Dengan nama besarnya,
terlebih jika bukunya sering hits dan tren dalam diskusi di forum-forum
pembaca, penulis tertentu akan menjadi daya tarik khusus bagi saya untuk
memburu karyanya. Meski belum pernah secara khusus melakukan pre-order untuk
buku-buku karya penulis tertentu, tapi aspek popularitas akan dengan mudah
mencuri perhatian saya saat menimbang untuk memilih sebuah buku. Khaled
Hossaini. Mitch Albom. Andrea Hirata. Memang tidak selalu. Tapi saya sudah
menandai nama penulis tertentu yang karyanya akan selalu saya buru karena
hal-hal tertentu—yang tentu saja berkaitan dengan aspek kekaryaan mereka.
Cerita bagus. Pengisahan yang indah dan berkesan. Nilai yang mengendap di dasar
kesadaran.
Saya tentu pernah,
merasa tidak cocok dengan karya penulis populer tertentu. Tere Liye. Saya sudah
mencoba beberapa bukunya dan tetap kesulitan menjadikannya salah satu penulis
favorit saya. Atau, merasa cocok dengan karya penulis populer tertentu, tapi
tidak menjadi pembeli bukunya yang fanatik. Dewi Lestari. Gayanya khas. Ide
ceritanya unik. Tapi saya tidak selalu memiliki buku-bukunya. Dan Brown.
Premis-premis mahal. Eksekusi yang superior. Mengejutkan. Mengguncang. Sarat
kontroversi. Sangat mengayakan. Tapi saya belum memiliki buku terbarunya ^_^ I’m
gonna buy it very soon, I promise.
4.
Premis
Saya pernah membaca
banyak keluhan pembaca karena premis buku tertentu tidak begitu gamblang
diungkap pada blurb buku. Untuk hal itu, saya berada di pihak mereka.
Teramat disayangkan jika blurb sebuah buku tidak memuat setidaknya satu
baris singkat yang menggambarkan premis buku. Untunglah, seseorang pernah
berkata kepada saya, bahwa seorang calon pembeli buku, berhak untuk membuka wrap
up plastic buku di toko buku sebelum membelinya. Meski begitu, saya
bertanya-tanya juga, bagaimana kalau seandainya buku itu tidak menarik dan saya
tidak jadi membeli. Berapa buah buku yang harus saya periksa untuk menemukan
buku yang ingin saya beli?
Ide cerita adalah
elemen pikat utama bagi seorang penikmat buku. Sangat jelas! Tidak ada yang
suka cerita jelek. Kisah cinta mengharu biru. Seorang perempuan yang tangguh
membunuh kekasihnya demi negara. Romantika yang lucu. Drama keluarga yang
familier dan menyentuh. Pembaca selalu mengharapkan pengalaman emosi dari
cerita-cerita yang menarik. Seperti sensasi menukik dan terlonjak saat menaiki roller-coaster.
Sesak yang aneh dan menyenangkan di dada. Menangis lega setelah tertahan
entah bagaimana bisa. Premis tertentu memiliki kekuatan untuk melahirkan
emosi-emosi semacam itu.
Saya akan selalu
tertarik dengan premis yang berupaya mengetengahkan kebaruan. Meski menurut
sebagian besar orang, orisinalitas adalah kemustahilan kecil. Kelangkaan yang
absolut. Sementara itu, upaya kreatif memodifikasi sebuah premis menjadi cerita
yang hampir sama sekali baru adalah hal yang diharapkan semua pembaca. Roman
adalah genre yang sangat digemari. Diminati oleh lebih banyak kalangan usia
pembaca. Sedang kisah cinta akan selalu berulang. Patah hati. Jatuh cinta.
Membenci sambil mencinta. Mencintai dengan penuh dendam. Pembaca, sekali lagi,
mengharapkan sesuatu yang lebih dari waktu ke waktu. Saya sendiri, adalah
bagian dari pembaca itu.
3.
Nilai Keabadian
Saya sedang berbicara
tentang karya-karya klasik. Bagi saya, buku-buku klasik adalah harta yang
mahal. Mereka merintis kesusasteraan modern. Meletakkan dasar bagi lebih banyak
upaya kreatif dalam kesusasteraan dunia. Banyak hal yang dituliskan untuk kali
pertama di masa itu. Roman paling memilukan. Kisah cinta paling romantis.
Kegilaan paling absurd. Gejala psikososial paling bobrok. Hedonisme
paling menjijikkan. Sejarah paling berdarah. Hak-hak asasi paling terlanggar.
Buku-buku klasik akan selalu menjadi hal yang saya buru. Saya ingin menyimpannya
untuk anak-anak saya kelak, agar mereka dapat menjukkannya kepada anak-anak
mereka, dan seterusnya, selama-lamanya. Akan sangat menakjubkan mengetahui
bergenerasi manusia merunut kisah-kisah usang dari masa lampau. Menyusuri
jejak-jejak historis dalam teks. Tersesat dalam diksi-diksi tua dalam dan
menerjemahkannya dalam interpretasi-interpretasi baru. Menganalisa situasi
sekitarnya dan melihat kembali hal-hal yang terwariskan atau sama sekali
terbarukan.
Saya berharap
bisa menyimpan buku-buku klasik saya sampai berabad-abad setelah ini.
2.
Daya Gugah
Ada banyak sekali buku
bagus di dunia ini. Tapi tidak semuanya memiliki daya gugah. Kemampuan
menggerakkan. Kemampuan mengubah. Maka saya selalu memburu buku-buku dengan
daya gugah. Sesuatu yang bisa saya simpan untuk membukanya lagi di saat-saat
tertentu. Menjadikannya pengingat ketika saya mengalami hal terburuk, atau
kejatuhan paling menyakitkan, atau keterpurukan paling kelam. Sampai saat ini,
say a baru memiliki sedikit sekali buku semacam itu. Yang terpatri kuat di
benak saya adalah Laa Tahzan karya Dr. Aidh Al Qarni, The Kite Runner karya
Khaled Hossaini dan Tuesdays With Morrie karya Mitch Albom. Buku-buku ini
membayangi saya berbulan-bulan setelah menyelesaikannya. Dan saya memiliki
posesivitas yang tinggi untuk ketiganya. Saya tidak ingin meminjamkan mereka
kepada siapa pun, karena saya merasa akan selalu membutuhkan mereka setiap saat
di atas meja saya. Ketiga buku ini berhasil menggeser saya dari titik mula yang
disorientatif, menuju titik baru yang lebih tercerahkan. Mencerabut saya dari
eksistensi yang lama, dan membantu saya menjawab beberapa hal yang sudah sangat
lama saya tanyakan. Kita akan selalu membutuhkan buku-buku semacam ini. Anda
pasti setuju dengan saya.
1.
Estetika Bahasa
Entah sejak kapan,
saya menjadi pengagum paling gila dari gaya bertutur. Yang saya ingat pasti,
saya selalu menyukai diksi-diksi yang dituliskan dengan pola unik. Ada
kesenangan yang ganjil setiap kali saya membaca narasi dengan pola diksi yang
berbeda. Tidak harus fantastis dan akrobatis. Lebih sederhana akan lebih baik.
Tapi tidak dalam formasi mainstream. Ini agak sulit dijabarkan. Karena
saya sendiri bukan penulis yang baik ^_^ Tapi secara umum, itulah yang saya
rasakan. Saya penikmat narasi yang peka, meski saya sama sekali tidak ahli
menginterpretasikan puisi. Bahkan seringkali, puisi terasa sangat membosankan
bagi saya. Maka buku dengan cerita bagus selalu tidak cukup bagi saya, jika tidak diimbangi dengan penulisan yang literer. Sejauh ini, saya
memiliki daftar pengarang dengan voice yang sangat saya kagumi. Chitra
Banerjee Divakaruni. Khaled Hossaini. Laini Taylor. Gillian Flynn. Lauren
Oliver. Saya berharap bisa menemukan lebih banyak nama lagi di hari-hari
berikutnya.
Jadi, sudah menemukan
elemen pikat yang membuatmu sudi memburu buku-buku tertentu? Di berapa banyak
titik kita bertemu? Kalaupun tidak ada sama sekali, akan ada lebih banyak titik temu
untuk kita. Selama kita berbicara tentang buku. Iya, kan?
Artikel ini diposkan dalam rangka Posting Opini Bareng BBI 2015
Wah kita nyaris punya kesamaan yang banyak ya Mbak :D Paling hanya Tere Liye, kalau saya malah suka sekali dengan karya-karya beliau :D
ReplyDeleteWah, mari ber-high five dulu, kalau gitu! ^_^
DeleteSaya juga berencana membaca karya Tere Liye untuk genre yang lain. Saya ingin mencoba Negeri Para Bedebah & Negeri di Ujung Tanduk. Mungkin saya bisa berubah pikiran dalam waktu dekat :)
hmm, emang perlu memerhatikan beberpa aspek ya kalau mau beli buku itu...
ReplyDeleteIyup! :)
Deletebiasanya ekspektasiku karena harga dan nama penulisnya :D kadang juga karena rekomendasi teman, mba. hehe
ReplyDelete^_^ harga memang harus ramah juga ya, Ila. Daya tarik penting juga itu. Nama besar penulis memang menyilaukan. Dan rekomendasi teman selalu menggiurkan. Setuju? :)
DeleteWah baru tau kalau (calon) pembeli boleh merobek plastik pembungkus. Eh tapi wajib dibeli juga dink ._.
ReplyDeleteNggak tahu juga ya, apa kalau merobek plastik pembungkus berarti wajib membeli. Tapi biasanya memang ada buku yang udah kebuka gitu. Jadi bisa ngintip isinya :) Bakal lucu juga ya, kalau udah pede ngerobek, terus ternyata nggak suka isinya.
DeleteYaiy masih belajar lihat" penulis yang punya diksi bagus.. Kayaknya bakal jadi urutan pertama juga :D
ReplyDeleteYeay! Banyak mi temanku berarti ^_^
Delete