Pages

Saturday, January 31, 2015

Elemen Pikat Penikmat Estetika

kredit gambar
Buku, saya kira, adalah produk dengan aspek paling kaya yang pernah diciptakan. Menggabungkan seni  dan filosofi, dan memanggul harapan banyak orang. Jika dalam beberapa dekade terakhir, buku fiksi menjadi produk hiburan yang begitu digemari, fakta ini tidak dengan serta merta melemahkan premis yang saya ungkap di awal. Kemampuan buku untuk mempengaruhi secara verbal, sangat mengagumkan. Menstimulasi daya visual lewat bahasa, dengan beragam teknik yang kreatif, yang pada akhirnya mengayakan penikmatnya dengan cara paling menghibur. Siapa yang tidak suka membaca? Maka seorang penikmat buku yang fanatik, mulai membangun ekspektasi-ekspektasi tertentu tentang buku-buku yang akan dibacanya kemudian, lagi, dan lagi.
           Saya berharap buku itu diselesaikan dengan akhir yang jelas. Kenapa sih, mereka tidak menikah di akhir cerita? Saya bosan dengan roman yang penuh air mata. Ya ampun! Kenapa alurnya lambat begitu? Buang-buang waktu, dan ceritanya hanya begitu saja. Semoga buku itu berlanjut dan sampulnya jauh lebih baik. Saya tidak habis pikir, kenapa buku itu salah ketik di mana-mana. Sebaiknya, kalau buku berikutnya rilis, harganya akan jauh lebih murah. Pembaca harus cerdas dengan cara yang paling mudah. Itu kan, tanggung jawab sebuah Negara? Saya tidak mendapatkan apa pun dari buku itu. Semoga penulisnya bisa menulis sesuatu yang lebih berarti. Semoga dan semoga dan semoga ….
        Dari semua ekspektasi tentang sebuah buku, saya berharap banyak—terlalu banyak—kepada aspek estetikanya. Berbicara tentang buku, aspek estetika sangatlah beragam jenisnya. Setiap penikmat buku memiliki aspek estetikanya sendiri-sendiri. Dari yang paling elementer dan paling mudah dilihat, hingga yang paling esensial. Dari sampul sampai nilai penting paling personal. Aspek visual memang tidak bisa dianggap remeh. Desain grafis yang menarik, teknik memadukan warna-warna, adalah hal yang selalu menarik perhatian penikmat buku ketika berkunjung ke toko buku untuk berbelanja. sangat mungkin juga layout. Sketsa yang menggambarkan beberapa adegan, apalagi jika diberi sentuhan warna. Sulit untuk tidak menginginkan buku semacam itu menjadi bagian dari rak buku kesayangan kita di rumah. Tapi, tidak semua penikmat buku sanggup dibuat silau oleh hal-hal fisik semacam itu. Saya sendiri adalah penikmat buku yang fanatik dengan unsur esensial—seperti sebagian besar penikmat buku lainnya. Saya akan selalu jatuh cinta kepada cerita yang mampu menggerakkan saya, dan terlebih lagi pada bagaimana cerita itu dituliskan.
Dalam beberapa kurun waktu terakhir, saya menjadi terlalu fanatik dengan aspek literer sebuah buku. Saya mulai lebih sering mengabaikan bagaimana sebuah konflik bersinggungan dan terurai pada penyelesaian. Saya lebih tertarik pada bagaimana cerita itu dikisahkan kepada saya. Saya bahkan memiliki kamus metafora yang saya kutip dari buku-buku yang saya sukai. Saya menulisinya dengan tangan. Saya membaca lagi bagian-bagian itu di saat-saat tertentu.
Kali ini, saya mencoba untuk merunut beberapa elemen dari sebuah buku, yang bagi saya menjadi daya pikat besar untuk memburunya. Saya akan memulainya dari hal dengan daya tarik paling rendah bagi saya, sampai yang tertinggi. Sangat subyektif, memang—tapi untuk tujuan itulah tulisan ini dibuat ^_^ Kemungkinan besar, Anda bisa menemukan diri Anda juga di sana.
9.       Harga
Semasa SMA, dan keadaan itu berlangsung hingga tahun-tahun pertama saya di universitas, saya selalu membeli buku karena harganya. Harga adalah hal pertama yang saya pertimbangkan setelah membaca blurb sebuah buku. Berada jauh dari pusat distribusi buku, harga buku di kota saya terbilang mahal. Di kemudian hari, saya sadar, buku-buku itu hampir tidak memiliki nilai penting sama sekali bagi saya. Sederhananya, saya menyesal sudah membelinya. Setelah kecintaan saya kepada buku bergerak pada garis positif, harga tidak lagi menjadi beban bagi saya. Seringkali, saya membatalkan acara belanja pakaian hanya untuk bisa membeli buku. Suatu kali, ibu saya berkata, “Nak, kalau nanti kamu tidak punya baju lagi, buat saja kertas-kertas bukumu itu jadi baju. Kok bisa ya, ada anak perempuan seperti kamu?”. Ibuku bukan pembaca buku berhati teguh. Cukup jelas.
Tapi biar bagaimanapun, saya tumbuh menjadi pemburu diskon yang gigih. Semua penikmat buku akan melakukan hal yang sama. Meski harus menunggu akhir tahun. Meski harus berbelanja online lebih sering. Buku bagus, harga bagus. SURGA!
Lalu bagaimana dengan buku jelek dan harganya mahal? Itu, sungguh, kemalangan luar biasa. Jadilah lebih selektif membeli buku. Gunakan kemudahan internet untuk mencari latar belakang buku tertentu sebelum memutuskan untuk membelinya. Lalu putuskan, layakkah buku itu mencuri lima puluh ribu-mu yang berharga.
8.       Sampul
Belum sekali pun, saya membeli buku karena sampul yang atraktif. Meski pada dasarnya saya tidak senang berdandan dan cenderung menyukai lelaki yang tahu caranya menampilkan diri dengan mengesankan, saya bukan pembeli sampul paling naif. Tapi, tunggu! Mungkin juga pernah! Secara tidak langsung. Bukan karena desain sampulnya atau warnanya atau jenis hurufnya. Tapi label tertentu atau nama pengarang atau nama besar dalam daftar testimoni yang tertera di sana. No. 1 New York Time Bestselling Book, Dari penulis pemenang Nobel Sastra, pemenang Pertama Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta, Nominee Khatulistiwa Literary Award, Pemenang Pulitzer, Pemenang Newberry, Karya Klasik Sepanjang Masa
Hanya hal-hal semacam itu yang akan membuat saya membeli sebuah buku karena sampulnya. Kenapa? Saya berharap banyak menemukan hal yang banyak. Tapi tentu tidak terlalu keliru, menginginkan sebuah buku dengan sampul yang enak dipandangi. Bagaimanapun juga, selera visual adalah hal terlalu personal untuk diusik.
7.       Tren
Mau tidak mau, saya akan terusik juga, ketika sebuah buku sedang menjadi tren. Rasa ingin tahu! Aha! Kenapa buku itu mendadak populer? Kebaruan tema? Kontroversi karena isu tertentu? Lucunya, kadang sebuah buku menjadi tren yang ramai dibahas di situs-situs jejaring buku karena kebalikan dari dugaan awalnya. Ya Tuhan, kok bisa buku jelek begitu terbit? Another overhype book! Dan semacamnya. Tapi sebisa mungkin, saya selalu mencari tahu buku-buku semacam ini. Lalu menimbangnya lagi, apakah saya akan menyukainya, ataukah saya sedang membutuhkannya sebagai asupan karena sedang menghadapi situasi spesifik, dan sebagainya.
Akhir-akhir ini, saya terseret arus John Green dengan cukup kuat. Saya cukup terkejut karena menemukan novel-novel young adult yang dikisahkan dari sudut pandang cowok, dan dituliskan dengan mempertimbangkan aspek intelektual dengan cermat. Bukan hal yang mudah mendesain romansa memabukkan dalam pancang-pancang logis yang membuatnya termaklumi. Dalam satu dan banyak hal, ekspektasi saya terpenuhi—meski tidak sepenuhnya. Sebuah keniscayaan yang selalu saya ketahui—dan saya merasa jauh lebih kaya. Saya akan selalu memandang tren sebagai rekomendasi-rekomendasi yang layak saya pertimbangkan untuk menemukan buku-buku bagus, saya rasa. Meski cukup disayangkan, beberapa kali saya harus kecewa dengan buku-buku tertentu. Tapi lagi-lagi, personal taste. Hanya itu jawabannya.
6.       Review yang Provokatif
Beberapa tahun terakhir, saya membiasakan diri untuk memutuskan membeli buku setelah memeriksa kelayakannya dalam standar personal saya di situs jejaring Goodreads. Saya menemukan banyak buku bagus dengan cara ini. Meski tentu saja, akan selalu ada pengecualian. Sulit untuk tidak kecewa, sesekali. Karena review seringkali ditulis dengan sangat subyektif. Ada lebih banyak deskripsi yang menyuratkan dan menyiratkan selera. Tidak jarang juga, review ditulis oleh seorang penggemar fanatik. Tapi bagaimanapun, review di situs pembaca semacam ini sangat membantu saya mengenali buku-buku yang saya duga akan saya sukai. Meski cukup disayangkan, saya jadi sering membaca spoiler.
5.       Popularitas Penulis
Dengan nama besarnya, terlebih jika bukunya sering hits dan tren dalam diskusi di forum-forum pembaca, penulis tertentu akan menjadi daya tarik khusus bagi saya untuk memburu karyanya. Meski belum pernah secara khusus melakukan pre-order untuk buku-buku karya penulis tertentu, tapi aspek popularitas akan dengan mudah mencuri perhatian saya saat menimbang untuk memilih sebuah buku. Khaled Hossaini. Mitch Albom. Andrea Hirata. Memang tidak selalu. Tapi saya sudah menandai nama penulis tertentu yang karyanya akan selalu saya buru karena hal-hal tertentu—yang tentu saja berkaitan dengan aspek kekaryaan mereka. Cerita bagus. Pengisahan yang indah dan berkesan. Nilai yang mengendap di dasar kesadaran.
Saya tentu pernah, merasa tidak cocok dengan karya penulis populer tertentu. Tere Liye. Saya sudah mencoba beberapa bukunya dan tetap kesulitan menjadikannya salah satu penulis favorit saya. Atau, merasa cocok dengan karya penulis populer tertentu, tapi tidak menjadi pembeli bukunya yang fanatik. Dewi Lestari. Gayanya khas. Ide ceritanya unik. Tapi saya tidak selalu memiliki buku-bukunya. Dan Brown. Premis-premis mahal. Eksekusi yang superior. Mengejutkan. Mengguncang. Sarat kontroversi. Sangat mengayakan. Tapi saya belum memiliki buku terbarunya ^_^ I’m gonna buy it very soon, I promise.
4.       Premis
Saya pernah membaca banyak keluhan pembaca karena premis buku tertentu tidak begitu gamblang diungkap pada blurb buku. Untuk hal itu, saya berada di pihak mereka. Teramat disayangkan jika blurb sebuah buku tidak memuat setidaknya satu baris singkat yang menggambarkan premis buku. Untunglah, seseorang pernah berkata kepada saya, bahwa seorang calon pembeli buku, berhak untuk membuka wrap up plastic buku di toko buku sebelum membelinya. Meski begitu, saya bertanya-tanya juga, bagaimana kalau seandainya buku itu tidak menarik dan saya tidak jadi membeli. Berapa buah buku yang harus saya periksa untuk menemukan buku yang ingin saya beli?
Ide cerita adalah elemen pikat utama bagi seorang penikmat buku. Sangat jelas! Tidak ada yang suka cerita jelek. Kisah cinta mengharu biru. Seorang perempuan yang tangguh membunuh kekasihnya demi negara. Romantika yang lucu. Drama keluarga yang familier dan menyentuh. Pembaca selalu mengharapkan pengalaman emosi dari cerita-cerita yang menarik. Seperti sensasi menukik dan terlonjak saat menaiki roller-coaster. Sesak yang aneh dan menyenangkan di dada. Menangis lega setelah tertahan entah bagaimana bisa. Premis tertentu memiliki kekuatan untuk melahirkan emosi-emosi semacam itu.
Saya akan selalu tertarik dengan premis yang berupaya mengetengahkan kebaruan. Meski menurut sebagian besar orang, orisinalitas adalah kemustahilan kecil. Kelangkaan yang absolut. Sementara itu, upaya kreatif memodifikasi sebuah premis menjadi cerita yang hampir sama sekali baru adalah hal yang diharapkan semua pembaca. Roman adalah genre yang sangat digemari. Diminati oleh lebih banyak kalangan usia pembaca. Sedang kisah cinta akan selalu berulang. Patah hati. Jatuh cinta. Membenci sambil mencinta. Mencintai dengan penuh dendam. Pembaca, sekali lagi, mengharapkan sesuatu yang lebih dari waktu ke waktu. Saya sendiri, adalah bagian dari pembaca itu.
3.       Nilai Keabadian
Saya sedang berbicara tentang karya-karya klasik. Bagi saya, buku-buku klasik adalah harta yang mahal. Mereka merintis kesusasteraan modern. Meletakkan dasar bagi lebih banyak upaya kreatif dalam kesusasteraan dunia. Banyak hal yang dituliskan untuk kali pertama di masa itu. Roman paling memilukan. Kisah cinta paling romantis. Kegilaan paling absurd. Gejala psikososial paling bobrok. Hedonisme paling menjijikkan. Sejarah paling berdarah. Hak-hak asasi paling terlanggar. Buku-buku klasik akan selalu menjadi hal yang saya buru. Saya ingin menyimpannya untuk anak-anak saya kelak, agar mereka dapat menjukkannya kepada anak-anak mereka, dan seterusnya, selama-lamanya. Akan sangat menakjubkan mengetahui bergenerasi manusia merunut kisah-kisah usang dari masa lampau. Menyusuri jejak-jejak historis dalam teks. Tersesat dalam diksi-diksi tua dalam dan menerjemahkannya dalam interpretasi-interpretasi baru. Menganalisa situasi sekitarnya dan melihat kembali hal-hal yang terwariskan atau sama sekali terbarukan.
Saya berharap  bisa menyimpan buku-buku klasik saya sampai berabad-abad setelah ini.
2.       Daya Gugah
Ada banyak sekali buku bagus di dunia ini. Tapi tidak semuanya memiliki daya gugah. Kemampuan menggerakkan. Kemampuan mengubah. Maka saya selalu memburu buku-buku dengan daya gugah. Sesuatu yang bisa saya simpan untuk membukanya lagi di saat-saat tertentu. Menjadikannya pengingat ketika saya mengalami hal terburuk, atau kejatuhan paling menyakitkan, atau keterpurukan paling kelam. Sampai saat ini, say a baru memiliki sedikit sekali buku semacam itu. Yang terpatri kuat di benak saya adalah Laa Tahzan karya Dr. Aidh Al Qarni, The Kite Runner karya Khaled Hossaini dan Tuesdays With Morrie karya Mitch Albom. Buku-buku ini membayangi saya berbulan-bulan setelah menyelesaikannya. Dan saya memiliki posesivitas yang tinggi untuk ketiganya. Saya tidak ingin meminjamkan mereka kepada siapa pun, karena saya merasa akan selalu membutuhkan mereka setiap saat di atas meja saya. Ketiga buku ini berhasil menggeser saya dari titik mula yang disorientatif, menuju titik baru yang lebih tercerahkan. Mencerabut saya dari eksistensi yang lama, dan membantu saya menjawab beberapa hal yang sudah sangat lama saya tanyakan. Kita akan selalu membutuhkan buku-buku semacam ini. Anda pasti setuju dengan saya.
1.       Estetika Bahasa
Entah sejak kapan, saya menjadi pengagum paling gila dari gaya bertutur. Yang saya ingat pasti, saya selalu menyukai diksi-diksi yang dituliskan dengan pola unik. Ada kesenangan yang ganjil setiap kali saya membaca narasi dengan pola diksi yang berbeda. Tidak harus fantastis dan akrobatis. Lebih sederhana akan lebih baik. Tapi tidak dalam formasi mainstream. Ini agak sulit dijabarkan. Karena saya sendiri bukan penulis yang baik ^_^ Tapi secara umum, itulah yang saya rasakan. Saya penikmat narasi yang peka, meski saya sama sekali tidak ahli menginterpretasikan puisi. Bahkan seringkali, puisi terasa sangat membosankan bagi saya. Maka buku dengan cerita bagus selalu tidak cukup bagi saya, jika tidak diimbangi dengan penulisan yang literer. Sejauh ini, saya memiliki daftar pengarang dengan voice yang sangat saya kagumi. Chitra Banerjee Divakaruni. Khaled Hossaini. Laini Taylor. Gillian Flynn. Lauren Oliver. Saya berharap bisa menemukan lebih banyak nama lagi di hari-hari berikutnya.
Jadi, sudah menemukan elemen pikat yang membuatmu sudi memburu buku-buku tertentu? Di berapa banyak titik kita bertemu? Kalaupun tidak ada sama sekali, akan ada lebih banyak titik temu untuk kita. Selama kita berbicara tentang buku. Iya, kan?

Artikel ini diposkan dalam rangka Posting Opini Bareng BBI 2015

10 comments:

  1. Wah kita nyaris punya kesamaan yang banyak ya Mbak :D Paling hanya Tere Liye, kalau saya malah suka sekali dengan karya-karya beliau :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, mari ber-high five dulu, kalau gitu! ^_^
      Saya juga berencana membaca karya Tere Liye untuk genre yang lain. Saya ingin mencoba Negeri Para Bedebah & Negeri di Ujung Tanduk. Mungkin saya bisa berubah pikiran dalam waktu dekat :)

      Delete
  2. hmm, emang perlu memerhatikan beberpa aspek ya kalau mau beli buku itu...

    ReplyDelete
  3. biasanya ekspektasiku karena harga dan nama penulisnya :D kadang juga karena rekomendasi teman, mba. hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. ^_^ harga memang harus ramah juga ya, Ila. Daya tarik penting juga itu. Nama besar penulis memang menyilaukan. Dan rekomendasi teman selalu menggiurkan. Setuju? :)

      Delete
  4. Wah baru tau kalau (calon) pembeli boleh merobek plastik pembungkus. Eh tapi wajib dibeli juga dink ._.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak tahu juga ya, apa kalau merobek plastik pembungkus berarti wajib membeli. Tapi biasanya memang ada buku yang udah kebuka gitu. Jadi bisa ngintip isinya :) Bakal lucu juga ya, kalau udah pede ngerobek, terus ternyata nggak suka isinya.

      Delete
  5. Yaiy masih belajar lihat" penulis yang punya diksi bagus.. Kayaknya bakal jadi urutan pertama juga :D

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...