Kredit gambar |
Saya cukup
menyesalkan gagalnya rencana-rencana baca saya yang fantastis. Saya
selalu berpikir bisa membaca 50 - 100 halaman per hari. Memang benar. Saya
bisa melakukan itu. Tetapi saya tidak bisa menjaga kontinuitas habbit itu.
Dan karena saya dikendalai oleh hal-hal yang juga sangat saya sukai, saya
tidak bisa menyalahkan hal-hal itu. Saya rasa, saya butuh membaca buku-buku
non-fiksi tentang manajemen waktu.
Jika di artikel September & October New Author Reads saya menuliskan buku-buku bacaan September & Oktober karya pengarang yang karyanya baru saya baca, maka tulisan ini berisi buku-buku bacaan September & Oktober saya lainnya, yang tidak termasuk dalam kategori sebelumnya. September adalah waktu yang saya pilih untuk mengenal buku-buku Mitch Albom, seorang penulis buku fiksi inspirasional best-selling. Saya sudah mengincar karya-karyanya sejak tahun-tahun sebelumnya. Albom dikenal dengan mata ajaib-nya. Buku-bukunya magis dan spiritualistik (meski tidak secara eksplisit menyebut tentang Tuhan dan sebagainya).
Setelah mencoba For One More Day dan langsung
menggemari Mitch Albom, saya lantas membaca The Five People You Meet in Heaven
karyanya yang lain. Meski sangat berbeda, kedua buku ini memiliki kesamaan
tema, yakni keluarga dan cinta kasih. The Five People You Meet in Heaven—yang
dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Meniti
Bianglala—adalah dongeng yang sangat menyenangkan bagi
saya. Bercerita tentang seorang teknisi mekanik sebuah taman bermain bernama
Eddie, kisah ini juga masih belum beranjak dari tema drama keluarga dan cinta
kasih. Betapa hubungan Eddie dan ayahnya telah membentuk dirinya menjadi
seseorang yang kaku dan dingin. Eddie adalah representasi dari individu
kebanyakan: yakin bahwa dirinya bisa menjadi sesuatu yang hebat, tetapi
lantas dia hanya dapat melakukan hal yang dianggapnya kecil. Uniknya, cerita
ini bermula beberapa saat sebelum Eddie meninggal karena sebuah kecelakaan di
taman bermain tempatnya bekerja. Roh Eddie terbawa ke lima tempat di mana dia
bertemu orang-orang yang kehidupannya terhubung dengan dirinya semasa mereka
masih hidup. Lima orang inilah yang kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan
Eddie. Terlepas dari konteks surga dan alam baka yang tentu akan dipandang
dengan lebih personal jika dikaitkan dengan kepercayaan tertentu, The Five People You Meet in Heaven
adalah kisah yang sangat mencerahkan dan penuh kebijaksanaan. Buku ini pun
segera menjadi buku Albom favorit saya seperti yang sebelumnya.
Karena mulai
terbius fanatisme singkat itu, saya lantas membaca The Time Keeper, karya Mitch
Albom—yang terakhir kali diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, setelah
diselingi The Giver karya Lois Lowry. The Time Keeper cukup jauh berbeda
dengan dua buku Albom yang saya baca sebelumnya. Buku ini adalah sebuah fabel
dengan pesan yang juga sangat dalam. Buku ini saya baca di bulan Oktober. The Time Keeper adalah sebuah fabel
tentang waktu. Berkisah tentang seorang penjaga waktu bernama Dor, yang
konon, adalah penemu alat pengukur waktu pertama di bumi. Dalam satu masa di
hidupnya, Dor mengalami kehilangan terberat yang membuatnya ingin memutar
balik waktu. Ia lantas dijadikan seorang Penjaga Waktu. Setelah ribuan
tahun menghabiskan hidupnya dalam gua, mendengar keluh kesah orang-orang di
dunia tentang sedikitnya waktu atau betapa lambatnya waktu berputar, Dor pun
kembali ke dunia manusia untuk menjalankan misi terakhirnya. Meski buku ini
bukan buku Albom yang paling saya sukai, The Time Keeper membawa saya ke
dalam pengalaman baca yang menyenangkan. Saya harus tersentak di beberapa
bagian, karena tiba-tiba saya merasa seperti bercermin.
Lalu ada If I Stay, buku pertama dari sebuah
dwilogi young adult karya Gayle Forman. Lucunya, saya sudah lebih dulu
membaca sekuelnya: Where She Went. Buku tersebut
ditulis dari sudut pandang Adam, kekasih Mia setelah Mia menghilang dari
hidupnya. Dan seperti yang saya prediksi, membaca buku prekuelnya belakangan,
tidak akan membuat saya kehilangan arah cerita. If I Stay ditulis dari sudut pandang
Mia. Seorang pemain cello berbakat yang mengalami kecelakaan. Kedua orang tua
dan adiknya satu-satunya tewas dalam kecelakaan itu. Mia sendiri mengalami koma
dan mati suri. Mia lantas melihat bagaimana orang-orang yang selama ini
mencintainya dan dicintainya menjalani hidup, lalu dia pun harus memilih satu
dari dua hal yang paling mutlak: haruskah dia pergi? Ataukah sebaiknya dia
tinggal? Meski ditulis dengan apik, sejujurnya, saya lebih menyukai buku
sekuelnya. Tapi tetap saja, kau harus memperhitungkan kepiawaian seorang
Gayle Forman.
Terakhir, hanya
beberapa jenak sebelum Oktober berlalu, saya menamatkan Looking For Alaska. Ini buku kedua
John Green yang saya baca. Rasanya, saya membutuhkan lebih dari seluruh
pujian untuk melukiskan kekaguman saya pada cara John Green dalam berkisah.
Tidak banyak penulis buku yang ingin bersusah payah menciptakan lebih dari
sekadar kisah untuk para remaja yang kita kenal sebagai golongan makhluk
paling hilang arah di dunia itu. Dan John Green menempuh resiko untuk
menjadi satu dari sedikit penulis yang semacam itu. Jadi tentu saja, saya
akan membaca Paper Town dan An Abundance of Katherines setelah
ini.
|
No comments:
Post a Comment