Kredit gambar |
Seperti biasa, saya pikir, saya bisa membaca
cukup banyak buku di periode September - Oktober. Tapi typhoid
saya lumayan bandel, dan stamina saya menurun drastis. Saya harus menjalani
bed rest membosankan tanpa terganggu
buku bacaan atau bahkan ponsel sama sekali. Tapi tidak terlalu buruk juga.
Lumayan, saya bisa membaca lima buah buku dari penulis yang karyanya baru saya baca untuk pertama kalinya.
Di September saya membaca seri pertama dari Percy Jackson & The Olympians, The Lightning Thief karya Rick Riordan dan Cecilia & Malaikat Ariel dalam waktu yang bersamaan. Saya membaca buku-buku ini bergantian. Jika pagi saya membaca The Lightning Thief, malamnya saya pasti membaca Cecilia & Malaikat Ariel, dan sebaliknya. Rasanya cukup mengasyikkan. The Lightning Thief adalah bacaan yang ringan, seru, fun, dibumbui humor yang menyenangkan di antara petualangan yang cukup menegangkan. Sedang Cecilia & Malaikat Ariel adalah buku yang sangat filosofis. Meski tokoh utamanya adalah seorang remaja, ini buku yang juga akan membuat orang dewasa berpikir keras.
Di minggu ketiga September, saya membaca For One More Day. Sebenarnya saya hanya menamatkannya dalam 2 hari. Tapi saya harus beristirahat banyak sehingga tidak bisa banyak membaca buku. Buku ini lantas membuat saya menjatuhcintai karya Albom tanpa kesulitan. Di minggu terakhir September, saya membaca The Giver yang tahun ini juga dialihwahanakan—meskipun saya
juga belum menonton filmnya. Saya agak kesulitan menyukai buku ini. Mungkin karena alurnya yang sangat lamban. Rasanya, buku ini menyimpan misteri di sepanjang bagian cerita. Dan menebak-nebak sesuatu bukan permainan
favorit saya sejak kecil. Bagaimanapun juga, saya tetap memaksakan diri membacanya hingga tuntas. Dan akhirnya saya sadar, ini buku yang brilian. Semoga saja penerbitnya segera
menerbitkan sekuel-sekuelnya yang berjumlah tiga (mungkin), sehingga saya bisa
berhenti bermain tebak-tebakan dan mulai melakukan hal yang lebih serius:
bernapas kembali.
Sedang di Oktober, saya membaca hanya membaca 4 buah buku, namun hanya 1 di antaranya yang merupakan karya penulis yang karyanya baru saya baca untuk pertama kalinya. Ya, The Fault In Our Stars adalah satu-satunya buku yang saya baca untuk New Authors Reading Challenge.
Saya
sangat percaya, saya memiliki intuisi istimewa tentang buku-buku bagus ^_^
Ini kepercayaan diri yang berlebihan dan akan sulit dimaafkan, saya kira. Tapi memang saya agak sulit menghilangkannya. The Fault In Our Stars terbit di Indonesia sejak 2012, dan saya
sudah menginginkannya semenjak itu. Setelah hak ekranisasinya dibeli, dan
film-nya cukup hipe di Indonesia,
akhirnya saya bisa mendapatkan cetakan terbarunya (yang sepertinya cetakan keempat.
Tapi sepertinya juga ketujuh?) dengan cover movie tie-in. Saya membaca ini di awal
Oktober saat saya begitu jatuh cinta pada outline
novel young adult saya sendiri. The
Fault in Our Stars, saya pastikan, adalah bacaan young adult terbaik saya tahun ini. Dituliskan dengan cerdas,
dengan teknik “menjejalkan-hal-hal-filosofis-tanpa-membuat-remaja-Indonesia-yang-malas-belajar-muntah-karena-serangan-kebencian-tidak-tertahankan”
yang mengagumkan, dengan sisipan humor yang luar biasa menyenangkan ketika saya
mencoba membacanya dengan suara keras. Betapa saya sangat menghormati John
Green karena buku ini. Dan saya tidak ragu membeli Looking For Alaska dan Paper
Town sebagai bacaan saya menyambut NaNoWriMo
2014. Saya berjanji akan me-review
buku-buku ini secepatnya.
Sebenarnya, di Oktober, saya juga membaca 2 buku lain dari penulis yang karyanya belum pernah saya nikmati. Sayangnya saya tidak berhasil menyelesaikan kedua buku-buku ini.
The Unknown Errors of Our Lives,
adalah sebuah kumpulan cerita pendek karya seorang penulis bestseller, Chitra
Banerjee Divakaruni. Saya mengenal buku ini dari review di blog buku
teman-teman BBI. Buku ini berisi 9 cerita pendek yang berkisah tentang
perempuan-perempuan India dengan polemiknya masing-masing. Buku ini sangat sehari-hari, namun ditulis dengan
sangat cemerlang. Saya menemukan
dimensi-dimensi lain dari “bagaimana kau menuliskan cerita biasa dengan cara
luar biasa”. Nampaknya ini memang bukan jenis buku yang bisa dibaca ketika lelah. Ini buku yang membutuhkan
stamina prima karena nutrisinya sangat berbobot.
Lalu, The
Maze Runner. Buku ini sudah masuk wishlist
saya sejak tahun lalu. Dan lagi-lagi, saya baru mendapatkannya setelah
sampulnya berubah menjadi versi movie
tie-in. Tidak masalah. Saya tidak
pernah benar-benar membaca sampul buku. Saya membaca buku ini sejak awal Oktober
tapi terpaksa stuck di halaman seratus
sekian karena alasan yang agak konyol: saya takut monster, Demi Tuhan! Meski mereka hidup jauh di dalam buku. Tapi
buku ini memang sangat pintar membuat orang penasaran. Saya akan meladeni rasa
penasaran ini secepatnya.
No comments:
Post a Comment