Pages

Saturday, November 08, 2014

Dua Puluh Empat Jam Krusial Mia

Judul buku: If I Stay
Jumlah halaman: 200 halaman
Penulis:
Penerjemah:
Tahun terbit: September 2014 (cetakan VII); Pertama kali terbit di Indonesia 8 Februari 2011
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN13: 9789792266603
Penghargaan sastra: An ALA/YALSA Quick Pick for Reluctant Young Adult Readers (2010), South Carolina Book Award Nominee for Young Adult Book Award (2011), Pennsylvania Young Readers' Choice Award Nominee (2011), YALSA Teens' Top Ten (2010), Milwaukee County Teen Book Award Nominee (2010) Florida Teens Read Nominee (2010), Delaware Blue Hen Award (2011), Abraham Lincoln Award Nominee (2012), NAIBA Book of the Year for Children's Literature (2009), Goodreads Choice Nominee for Young Adult Fiction (2009)
Harga beli: Rp.19.000 dari Kobu (15 September 2014)


Kehidupan Mia Hall yang nyaris sempurna berakhir di suatu pagi musim dingin, sewaktu dia dan keluarganya (ibu, ayah, dan Teddy, adik laki-laki tunggalnya) berkendara untuk menghabiskan hari libur di rumah sahabat keluarga mereka. Salju berkabut menelan kebersamaan mereka yang terakhir. Tapi Mia masih bisa melihat segalanya. Bagian-bagian dari diri orang tuanya, yang berserakan di jalan raya, seperti harapan-harapannya sendiri. Adam. Kim. Karir musiknya. Beasiswa Julliard-nya. Segalanya menjadi buram, seperti kabut yang mengacaukan orientasi ayahnya saat mengemudi.
          Sebelum If I Stay, saya sudah lebih dulu membaca sekuelnya: Where She Went. Meski agak kecewa karena tidak menemukan buku ini lebih awal, saya cukup senang bisa mendapatkan cetakan termutakhir If I Stay.  Tidak seperti Where She Went yang sangat emosional, If I Stay sedikit lebih tenang dan sederhana. buku ini dinarasikan oleh Mia, yang kemudian berubah wujud: dari seorang gadis remaja enerjik yang hangat dan nyata, menjadi gadis rapuh yang putus asa dan tak terlihat. Gadis yang terakhir itu pada akhirnya harus membuat keputusan penting yang rumit: haruskah dia tinggal? Ataukah sebaiknya dia pergi?
If I Stay juga diceritakan dengan teknik flashback—seperti halnya Where She Went—demi memperkenalkan kehidupan masa lalu Mia Hall. Masa SMA-nya yang hampir tidak istimewa karena dia hanya seorang cewek pendiam yang tidak supel. Kecuali bahwa dia dianugerahi oleh kemampuan musikalitas yang seperti berasal dari surga, dan dengan sungguh-sungguh dijatuhcintai oleh seorang cowok anggota band yang ganteng dan seksi. Untuk hal yang terakhir itu, tidak akan serta merta membuat cewek-cewek pembaca buku ini akan bercita-cita menjadi Mia, jika mengingat kemalangannya.
Aku tidak tahu apakah setelah meninggal kau akan mengingat hal-hal yang terjadi padamu ketika masih hidup. Rasanya sangat logis jika kau tidak mengingatnya. Bahwa meninggal akan terasa seperti sebelum kau dilahirkan, yang artinya ketidakberadaan. Namun, setidaknya bagiku, masa-masa sebelum kelahiranku tidak sama sekali kosong. Sering Mom atau Dad bercerita tentang sesuatu, tentang Dad menangkap salmon pertamanya dengan Gramps, atau Mom mengingat konser spektakuler Dead Moon yang disaksikannya bersama Dad pada kencan pertama mereka, dan aku mendapatkan déjà vu yang mengentakku (hal. 180).
Uniknya, If I Stay mengisahkan Mia dalam rentang dua puluh empat jamnya yang krusial, dalam dinding tipis yang membagi ruang dan waktunya menjadi hidup dan mati. Gayle Forman menguraikan helai demi helai kenangan Mia dalam jam demi jam masa kritisnya. Mia dan cello kebanggannya, Mia dan persahabatannya yang aneh sekaligus manis dengan cewek nyentrik bernama Kim, Mia dan Adam yang memesona yang telah mencuri hatinya, dan lebih dari itu semua, Mia dan keluarganya yang sederhana tapi juga sempurna. Semua itu silih berganti mengemuka, hingga jam-jam ketidakpastian Mia berputar penuh sebanyak dua puluh empat kali.
Gayle memiliki kemampuan menakjubkan untuk menghidupkan suasana suram dan menguraikan nyeri tak kasat mata yang melingkupi Mia. Saya seolah melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana Mia merosot jatuh dari grafik kebahagaiannya, dan menjadi berkeping-keping ketika tubuhnya menghantam tanah. Gayle merunut segala detil penting kehidupan Mia Hall dengan ketabahan seorang wanita yang sedang merajut baju-baju hangat untuk anak-anaknya. Sangat terampil, dan penuh perhitungan. Gayle menciptakan narasi yang lembut dan penuh kehati-hatian. Benar-benar jenis narasi yang “sangat Mia”.
Saya menyukai cara Gayle membedakan voice Mia dari Adam—yang adalah narator di Where She Went. Sehingga terasa nampak sangat jelas bahwa If I Stay adalah segala tentang Mia dan Where She Went adalah segala tentang Adam. Yang lebih mengagumkan adalah, cara Gayle menuliskan musik. Membuat narasi tertentu seolah tidak kita nikmati dengan membaca, melainkan mendengar. Saya seolah mendengar musik itu mengalun di telinga saya dengan begitu jelas. Dan meski saya tidak berhasil untuk lebih menyukai If I Stay dibanding Where She Went, saya tidak bisa tidak, mengagumi kepiawaian seorang Gayle Forman dalam menenun kisah ini.
Setelah sekitar seminggu, harmoni mulai terbentuk dan aku merasakan pertama kalinya menjadi roda penggerak di mesin. Membuatku mendengar cello dengan cara yang sama sekali baru, bagaimana nada-nada rendah menyatu dengan nada-nada viola yang lebih tinggi, bagaimana cello menyediakan fondasi bagi alat tiup di sisi lain relung orkestra (hal. 115).
Lewat If I Stay, Gayle mengajak kita bersama dirinya, menyusuri lagi tahun-tahun kehidupan kita yang sudah lewat, dengan spekulasi: bagaimana jika semua tiba-tiba berakhir sebelum kita benar-benar siap? Bagaimana jika kita kehabisan waktu sebelum kita benar-benar menyadari bahwa kita sudah meniti waktu itu, hanya saja dengan begitu singkat? Dan bagaimana jika ternyata kita memiliki satu kesempatan untuk memilih?
Ini akan menjadi buku yang digemari para remaja muda. Sederhana, ringan, namun padat berisi. Manis, sekaligus pahit pada saat yang sama. Akhirnya, saya menyematkan tiga setengah bintang untuk kisah yang dituliskan dengan cantik ini.
Kredit Gambar

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...