Judul buku: The Hunger Games
Jumlah halaman: 406 halaman
Penulis: Suzanne Collins
Penerjemah & Editor : Hetih Rusli
Tahun terbit: Oktober 2009 (Dipublikasikan pertama kali
tahun 2008)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Hari
Pemilihan tiba! Semua remaja merasakan keresahan yang sama. Terlebih jika usia
mereka baru menginjak 12. Mereka akan dilanda gugup dan kecemasan luar biasa.
Itu akan menjadi Hari Pemilihan mereka yang pertama. Katniss Everdeen,
mengenakan gaun biru milik ibunya. Yang terindah yang dimiliki keluarga miskin
seperti mereka. Katniss tampil cantik untuk Hari Pemilihan siang itu. Rambutnya
dikepang dan itu membuatnya jauh berbeda dari Katniss yang mahir memanah rusa
di hutan bersama Gale. Ia enam belas tahun sekarang. Jumlah namanya dalam
toples undian empat kali lipat lebih banyak. Hari itu Primrose, adiknya, akan
mengikuti pemilihan untuk pertama kalinya. Ia juga tampil cantik dan sangat
gugup. Padahal tahun ini, namanya di dalam toples undian hanya 1. Sedang Katniss,
memiliki 20 nama di dalam toples mengerikan itu. Mengejutkan saat mengetahui
bahwa Primlah sang Terpilih. Dialah yang akan berdiri di panggung sebagai
perwakilan Distrik 12 dari Negara Panem.
Katniss
maju ke tengah barisan, membuat keributan kecil, menawarkan diri menjadi
sukarelawan yang akan menggantikan adiknya. Ia naik ke panggung dengan ekspresi
berani yang dibuat-buat (siapa yang berani menjadi calon terbunuh? Terlebih
jika kau tahu, kau akan meninggalkan dua orang keluarga yang selama ini
menggantungkan hidupnya kepadamu). Permintaan sukarelanya dikabulkan. Beberapa
saat kemudian , Peeta Mellark, cowok yang pernah menolong Katniss dan
memberikan roti gosong saat gadis itu begitu kelaparan, juga naik panggung.
Peeta berdiri di sisi Katniss, menjadi pasangannya untuk berangkat ke Capitol,
menjadi peserta Hunger Games ke-74.
Seperti
namanya, Hunger Games adalah permainan menahan lapar. Sebuah acara
televisi yang disaksikan di seantero Panem, dan menjadi ajang pertaruhan oleh
warga Capitol yang kaya raya. Keduabelas peserta Hunger Games akan
dilempar ke sebuah arena dengan banyak tantangan dan perbekalan—makanan dan
senjata—seadanya. Di tahun ketujuh puluh empat perhelatannya, medan Hunger
Games adalah hutan belantara. Apa saja bisa ada di dalamnya. Pepohonan
tinggi yang bisa digunakan untuk tidur, danau yang bisa begitu dingin dan juga
membara, lebah bersengat mematikan, buah yang kaupikir kau mengenalnya dengan
baik namun nyatanya itu beracun, dan kucing hutan buas yang haus darah. Tapi
biar bagaimanapun, hutan adalah medan yang sangat dikuasai Katniss. Jika tidak
pandai berburu, atau berkelahi dengan peserta yang lebih kuat untuk mengambil
bahan makanan, seorang peserta bisa saja tewas. Bisa karena kelaparan, tapi
lebih mudah dengan terbunuh dalam perkelahian. Pilihan bertahan hidupnya tidak
banyak. Kau bisa menahan lapar lalu mencari makanan sendiri, atau merebut
makanan milik peserta lain dengan membunuhnya. Hunger Games ini adalah
cara Capitol—pusat kekuasaan Panem—untuk menghukum keduabelas distrik di Panem
atas pemberontakan mereka di masa lalu. Dan sebagai peringatan, agar mereka
selalu mengingatnya dengan baik bahwa, pemberontakan hanya akan membawa mereka
berakhir pada hukuman yang kejam itu: diadu di arena Hunger Games.
The
Hunger Games adalah buku pertama dari Trilogi
The Hunger Games. Mengabaikan dua buku lainnya—Catching Fire dan
Mockingjay, yang juga bestselling mengikuti nasib pendahulunya—The
Hunger Games memiliki ide yang tidak sekadar liar. Melainkan juga buas.
Bergenre teenlit yang segmentasi pembacanya jelas remaja muda, buku
ini sebenarnya tidak layak dibaca para remaja muda. Pembunuhan seolah merupakan
peristiwa lumrah. Dipikirkan, direncanakan, dan diucapkan dengan mudah oleh
para peserta Hunger Games. Meski disisipi dengan percik romansa khas
remaja, pesan moral tentang keberanian dan perjuangan hidup, aturan main Hunger
Games—membunuh atau dibunuh karena hanya akan ada satu pemenang di akhir
permainan—adalah hal yang ganjil jika harus disandingkan dengan elemen
moralitas itu. Dua belas anak muda berbakat—dalam hal penggunaan senjata
dan mempertahankan diri—dilatih untuk bertarung dan membunuh. Semua itu demi
memuaskan warga Capitol berkostum aneh yang akan bersorak-sorai di depan layar
televisi, bertaruh besar-besaran untuk jagoan mereka yang berjuang memberikan
tontonan terbaik. Sejarah perhelatan Hunger Games, bahkan setelah kisah
ini berakhir, tidak cukup rasional untuk diterima. Terlepas dari genrenya—fiksi
fantasi. Permainan adu manusia, dalam pikiran siapa pun—kecuali seorang
psikopat, tetaplah sangat tidak manusiawi.
Di
lain sisi, Suzanne Collins memiliki kemampuan bercerita yang akan membawa
pembaca sulit untuk menolak saat digiring memasuki cerita dan menuju akhir
permainan. Menunggu setiap kejadian tak terduga di dalam arena dan bagaimana
Katniss—sang Heroin—menghadapinya. Dengan ritme bercerita yang cepat—khas kisah
fantasi—dan gaya bercerita yang ringan, Hunger Games akan menggoda rasa
ingin tahu siapa saja yang sudah memulai kisah ini.
Tapi
pada akhirnya, saya masih berpikir untuk membaca sekuel-sekuelnya atau tidak.
Dan saya memastikan, akan menjauhkan buku ini dari remaja mana pun yang
mendekati rak buku saya. Sulit untuk merekomendasikannya kepada seseorang.
Kredit gambar di sini |
Aku penasaran sama filmnya. Udah ada 3 season. OST.nya juga bagus
ReplyDeleteSaya baru nonton Hunger Games-nya. Lebih dulu nonton filmnya baru baca bukunya :) Belum pernah merhatiin original soundtracknya. Apa aja judulnya, Ping?
Delete