Pages

Monday, April 14, 2014

Novel Impor vs Novel Lokal [A Guest Post by Esti Sulistyawan]



           Saya sudah suka membaca buku cerita sejak kecil, apalagi Ibu sangat mendukung hobi membaca saya dengan berlangganan majalah anak-anak dan membelikan buku bacaan sejak saya sudah bisa membaca. Ketika duduk di kelas 3 sekolah dasar, saya mulai bertandang ke perpustakaan sekolah. Waktu itu buku-buku kesukaan saya berbentuk ensiklopedia. Paling tertarik dengan flora dan fauna. Semakin bertambah usia, ragam bacaan saya mulai berkembang. Dari mulai majalah remaja, koran, hingga novel.

Ketika itu novel-novel saya pinjam dari perpustakaan sekolah, karena memang dana untuk membeli buku sangat terbatas. Perkembangan novel pun belum sedahsyat sekarang. Sehingga novel-novel yang saya baca kebanyakan novel yang ‘aman’ untuk dikonsumsi remaja seusia saya dan kebanyakan adalah karya sastra jaman dulu, karena disesuaikan dengan kebutuhan untuk menunjang pelajaran di sekolah.
Ketika memasuki bangku kuliah, bacaan saya mulai memasuki babak baru. Literatur dalam bahasa Inggris adalah makanan sehari-hari. Novel-novel karya sastra para pujangga hebat dari berbagai belahan negara berbeda adalah ‘teman-teman’ tidur saya saat itu *tsaaaah. Awalnya memang agak kerepotan, karena cara bertutur mereka yang beragam dan bahasa Inggris juga bukanlah bahasa yang saya kuasai dengan mahir. Tetapi, lama-kelamaan saya bisa menikmati ‘menelanjangi’ novel-novel itu. Bahkan, saya menemukan sebuah perpustakaan yang semua buku-bukunya dalam bahasa Inggris. Wow, seperti di surga deh rasanya kalau ke perpustakaan itu. Seminggu dua kali saya ke perpustakaan itu. Setiap ke sana saya pasti meminjam paling tidak 2 novel. Karena terbiasa membaca novel, yang kemudian saat ini disebut sebagai novel impor, saya agak kagok ketika sempat membaca karya penulis Indonesia. “Ah, cuma begini aja” Atau “Kok seperti ini, sih” adalah komentar yang selalu saya berikan ketika itu. Bahkan ketika saya membaca novel yang mendapat label best-seller sekali pun serta sudah difilmkan, saya masih merasa ada ‘sesuatu’ yang membuat saya kurang puas dengan novel tersebut. Hingga ada satu masa saya enggan bersentuhan dengan novel-novel yang ditulis penulis dalam negeri. Jadi, kalau toh saya membaca novel berbahasa Indonesia, novel-novel tersebut adalah novel terjemahan. Yang notabene di negeri asalnya sono sudah kondang atau meraih penghargaan.
Hal ini membuat saya berpikir bahwa saya kurang ‘cinta’ produk-produk Indonesia, kurang nasionalisme nih. Duh, tapi mau bagaimana lagi, saya benar-benar tidak bisa menikmati membacanya novel lokal. Bagaimana dengan karya-karya sastrawan Indonesia? Saya suka membaca karya sastrawan jaman dulu, tetapi bukan sastrawan saat ini. Karena saat ini, sastra bagi mereka itu cukup membingungkan bagi saya. Diksinya terlalu bombastis, alur serta cerita ‘sastra’ yang ditawarkan sangat tinggi untuk level saya. Level saya mah masih ecek-ecek jreng ya. Sekali lagi kembali ke selera, bukan?
Bukan sekali dua kali saya mencoba membandingkan novel impor dan novel lokal. Dari segi cerita, novel impor yang saya baca justru banyak bercerita hal-hal sederhana yang berkaitan dengan keseharian. Sedangkan novel lokal justru di bagian konflik lebih rumit. Akan tetapi, mungkin karena lebih rumit itu justru yang membuat saya berpikir “ini terlalu mengada-ada”. Belum lagi tokoh selalu digambarkan memiliki penampilan fisik yang tak tercela, kemudian salah satu tokohnya adalah orang kaya. Yah, beda tipis deh dengan sinetron-sinetron yang menawarkan mimpi.
Bagaimana dengan sekarang? Ketika saya mulai aktif menulis di blog 2 tahun lalu, saya mulai berkenalan dengan banyak teman yang juga suka menulis. Entah itu di blog atau penulis-penulis yang sudah menelurkan banyak buku. Sedikit demi sedikit saya mulai membaca karya-karya mereka, awalnya atas nama pertemanan J Lama-kelamaan, saya mulai lebih bisa menghargai para penulis Indonesia. Apalagi kemudian saya banyak membaca karya-karya hebat dari Tere Liye, Andrea Hirata, Tasaro, Dewi Lestari, dan masih banyak yang lainnya.
Sekarang, saya tidak lagi anti terhadap novel-novel lokal. Karena saya menyadari untuk bisa menulis seperti mereka, sangat dibutuhkan kerja yang tidak mudah, mengolah data, mencari dan menuangkan ide dengan bahasa yang bisa dimengerti pembaca, serta bisa dinikmati dalam bentuk novel. Mereka bekerja keras untuk itu semua dan untuk menghargai itu, saya mulai membaca karya-karya mereka.
Apakah sudah cukup puas membaca novel lokal? Wah, kalau ditanya itu, jujur menjadi kritikus memang yang paling mudah :D. Menghargai karya penulis dalam negeri adalah salah satu apresiasi saya terhadap perkembangan novel-novel yang saat ini sangat berkembang di Indonesia. Jika bukan kita, siapa lagi yang akan menghargai karya anak bangsa?

Nah, itu dia kisah Mbak Esti Sulistyawan tentang pengalaman membacanya. Yang awalnya lebih doyan novel karya pengarang luar, sejak berkenalan dengan blogging, sekarang Mbak Esti memiliki respektasi tersendiri tentang pengarang dalam negeri dan mulai betah membaca karya anak negeri sendiri. Yuk, kenalan lebih jauh dengan Mbak yang ramah dan menggemari variety show asal negeri Cheoseon ini! ^_^

Amaya:  Halo, Mbak Esti. Terima kasih sudah menuliskan kisah yang asyik ini. Menulis cerita sendiri memang nggak segampang membaca cerita orang lain, Mbak ^_^ Ngomong-ngomong soal menulis, pernah nggak Mbak Esti terbetik gagasan untuk menjadi penulis fiksi suatu ketika nanti? Yang buku-bukunya kelak akan direview teman-teman blogger buku Indonesia?
Esti:         Pernah dan satu saat nanti saya juga ingin menerbitkan buku solo. Tapi entah fiksi atau non fiksi :)

Amaya:   Amin .... Semoga segera tercapai ya, Mbak. Oh ya, share dong, novel impor dan novel Indonesia yang paling berkesan buat Mbak Esti? Buku yang meski udah lama dibaca, kesannya masih membekas jelas.
Esti:        Novel impor yang saya suka adalah karya dari Pearl S Buck, seperti The Good Earth, The New Year, mungkin karena saya juga menyukai historical fiction, jadi karya-karya beliau cocok dengan selera saya. Sedangkan, untuk penulis lokal, saya suka karya-karya Tere Liye. Paling berkesan ya ... Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah. Alasannya, karena novel itu menceritakan tanah kelahiran saya, Pontianak :D. Tere Liye punya gaya bahasa yang puitis tapi tidak bombastis. Latar/setting cerita juga detil, jadi pembaca bisa berimajinasi dengan baik

Amaya:  Aku penasaran nih, soal kecepatan membaca Mbak Esti. Orang yang rajin membaca itu pasti terlatih memahami narasi dalam waktu cepat. Istilah sederhananya, lincah ^_^ Sehari, Mbak Esti biasanya bisa membaca seberapa banyak?
Esti:        Kalau untuk novel berbahasa Indonesia setebal 300-an halaman, bisa saya selesaikan selama 2-3 jam, sedangkan kalau novel impor sekitar 5-6 jam. Karena kadang penasaran dengan artinya, jadi kebanyakan buka kamus :D Tetapi ini dengan catatan kalau saya sedang rajin ya. Karena saya ini pembosan :D

Amaya:   Mbak Esti itu tipe pembaca yang mana? Pelahap segala atau pemilih? Kenapa seperti itu?
Esti:        Saya tertarik dengan banyak hal, jadi jika saat itu saya sedang ingin tahu tentang pendidikan, maka saya akan mencari buku tentang pendidikan. Akhir-akhir ini sedang suka dengan roman. Jadi, ya ... saya cari novel roman. Karena di rumah juga banyak buku-buku tentang kepemimpinan dan motivasi milik suami. Kadang kalau iseng, saya juga membacanya 
Amaya:   Mau tahu dong, gimana Book Treatment (perlakuan khusus untuk buku yang dikoleksi di rumah) dan Reader Life Style ala Esti Sulistyawan?
Esti:         Saya ini agak malas menata rumah *ngaku*. Jadi untuk menaruh buku dan lain-lain, saya gak punya perlakuan khusus. Buku pun tidak harus disampul. Asal buku-buku punya tempat khusus dalam hal ini, rak buku, bagi saya sudah cukup Seperti yang saya ungkapkan tadi, bahwa saya tertarik akan banyak hal. Jadi buku-buku saya pun beragam. Bahkan buku-buku keuangan karya Safir Senduk pun saya koleksi. Beberapa buku memang saya simpan karena saya suka atau mempunyai banyak manfaat. Untuk buku langka yang dikoleksi, sepertiny saya gak sampai seperti itu. Hanya yang bernanfaat saya yang saya simpan

Amaya:    Wah ... Safir Senduk, ya? :) Yang terakhir, Mbak. Tambah satu lagi, nggak akan bikin Staf Divisi Event marah, kan? ^_^ Mbak Esti kalo nggak salah, suka dengan tontonan asal negeri Timur Jauh Korea Selatan. Dalam dua tahun terakhir, penerbit-penerbit besar dalam negeri banyak menerbitkan novel terjemahan asal Korea Selatan. Bahkan sebelum K-Pop nge-hype di Indonesia, sebut saja GPU, sudah menerbitkan novel grafis terjemahan yang ditulis oleh penulis Korea. Mbak Esti pernah nggak ngebaca buku-buku terjemahan Korea? Kalau pernah, gimana pendapat Mbak? Suka nggak sama bukunya? Paling suka buku apa? Kira-kira, lebih suka bukunya apa variety show-nya?
Esti:      Menurutku bagus ya kalau kita bisa menikmati hasil penulis Korea. Jadi kita bisa tahu juga bagamana perkembangan karya penulis Korea. Sekalian kita bisa tahu nilai-nilai yang ada Korea sana dari penutur aslinya. Pernah baca salah satunya dan lumayan suka. Cuma lupa judulnya. Kalau saya sih, lebih suka nontonnya. Karena bagaimanapun, namanya terjemahan pasti rasanya juga beda dari aslinya. Apalagi kalau nonton kan bisa melihat aktor-aktornya yg ganteng-ganteng  :D

Amaya:    ^_^ Sip deh, Mbak Esti. Terima kasih banyak untuk sharing pengalamannya dan kesediaannya berbagi hal-hal private di sini. Semoga nanti BBI ngasih kesempatan lagi untuk Mbak Esti berkunjung ke Teritori Dongeng sebagai tamu, ya. Read a lot and enjoy review ya, Mbak! *warm hug* ^_^



5 comments:

  1. Sama mbak, karena dari dulu bacanya buku terjemahan, jadi standar buat baca buku lokal juga

    ReplyDelete
  2. samaa.. saya juga lebih banyak baca buku terjemahan XD apalagi karena buku2 yang sukai itu buku2 macam karya enid blyton, rasanya susah mencari yang lokal dengan 'rasa' yang sama :D

    ReplyDelete
  3. :) iya mbak. Bahkan teenlit pun yang dicari yg terjemahan.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...