Judul buku: Dua Saudara
Penulis: Jhumpa Lahiri Penyunting: Anton W.P.
Jumlah halaman: 68 halaman paperback
Tahun terbit: January 2014
Penerbit: BukuKatta
ISBN13: 9789791032766
Penerbit: BukuKatta
ISBN13: 9789791032766
Subhash dan Udayan hanya terpaut lima
belas bulan jarak kelahiran. Sehingga mereka tumbuh dalam keakraban yang
membuat keduanya tampak tidak berbeda. Mereka bahkan bersekolah ditingkatan
yang sama agar bisa selalu bersama. Mereka melakukan hampir segalanya
bersama-sama. Mengumpulkan bola golf secara sembunyi-sembunyi di lapangan golf
yang terlarang untuk anak-anak yang tidak berkepentingan, menyembunyikan telur
burung hering, menualangi tempat-tempat baru yang jauh dari
rumah, meringkas
pelajaran di buku catatan dan menggambar peta dunia, juga membedah
elemen-elemen penting dalam ilmu fisika, kimia, dan biologi di satu meja. Meski
begitu, meski terlahir dengan ciri genetik yang nyaris identik, keduanya
memiliki sifat yang paradoksal bagi satu sama lain. Kelak, hal ini menentukan
takdir mereka di masa depan. Subhash sangat taat aturan, patuh kepada ibunya, dan
sangat anak-baik. Berbanding terbalik dengan Udayan yang senang
melanggar aturan dan berjiwa pemberontak. Udayan tidak takut memprotes gurunya
di kelas, dia kerap menghilang tiba-tiba dari kamarnya dan sulit tertemukan,
dia bahkan berani menghentikan polisi yang memukuli Subhash saat mereka
tertangkap basah melakukan kenakalan. Subhash selalu berpuas diri dengan
hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Sedang Udayan memiliki dahaga akan hal-hal
yang jauh dari jangkauan gagasan dan keinginan orang lain. Saat ditanya apa yang mereka inginkan sebagai hadiah, Subhash meminta papan catur baru sedangkan Udayan menginginkan radio. Dia ingin mengetahui berita dunia yang lebih banyak daripada yang tercetak di koran harian Bengali, gulungan tipis bak ranting yang dilempar di atas tembok halaman di pagi hari (hal. 15).
Di akhir masa SMU, mereka memilih
jurusan berbeda di universitas yang juga berbeda. Mereka mulai kehilangan
waktu-waktu bersama. Mereka berkembang, mendewasa, dengan prinsip hidup yang
jauh berbeda. Subhash sangat berfokus pada aktivitas akademiknya selagi Udayan
menunjukkan sikap kritisnya pada situasi politik di negerinya.
Pada tahun 1967, pemberontakan buruh
tani terjadi. Dua tokoh komunis Bengali ikut serta mengorganisir mereka.
Gerakan anti-pemerintah di India tumbuh di mana-mana. Disemangati oleh gerakan
komunisme China. Pemuda-pemuda India mengadaptasi pemikiran Mao Tse Tung,
lantas membuat slogan-slogan pemberontakan. Udayan adalah salah satunya, yang
tentu saja ditentang oleh ayahnya, dan juga Subhash.
Retorika ini bukan hal baru, kata ayah mereka sambil membalik-balik halaman majalah itu. Generasi kami juga membaca Marx. Generasi kalian tak memecahkan apa pun, kata Udayan.Kami membangun sebuah negara. Kita merdeka. Negara ini milik kita. Itu tak cukup, Baba. Apa negara menerima kita? Siapa yang ditolongnya? (hal. 19).
Kamu pikir itu ada manfaatnya? Subhash bertanya. Apa yang dilakukan petani-petani itu?Tentu saja itu berguna. Mereka bangkit. Mereka mengambil segala risiko. Manusia yang tak memiliki apa-apa. Penguasa tak melakukan apa-apa untuk melindungi mereka (hal. 18).
Setelah menamatkan pendidikan di
universitas, Subhash bercita-cita mengambil gelar doktoral di Amerika. Sedang
Udayan telah berpuas diri dengan mengabdikan diri sebagai akademisi di sebuah
sekolah teknik di kota mereka yang kecil. Lalu babak baru ke sekian dari
kehidupan mereka dimulai. Namun kali ini, segalanya jelas jauh berbeda dari
yang sudah-sudah.
Beda yang jauh terus saja membayangi
kehidupan Subhash dan Udayan. Ketika Subhash membayangkan wanita seperti apa
yang akan dipilihkan ibunya untuk dirinya, Udayan mengabarkan bahwa dia telah
menikahi seorang gadis pilihannya sendiri. Gauri yang cerdas, mahasiswi
filsafat yang lebih menggemari buku dibanding kain sari. Meski tidak pernah
berpikir untuk menentang tradisi, Subhash jelas merasa iri pada kebebasan yang
selalu dipilih Udayan dan bagaimana dia memperjuangkannya dengan berani. Tapi
tanpa disadari, hal-hal itu semakin menjauhkan Subhash dari Udayan dan
sebaliknya.
Lalu tibalah suatu ketika di mana Subhash
menerima telegram yang mengabarkan kematian Udayan. Subhash terbelah, antara
keinginan untuk pulang dan keengganan untuk mengetahui kronologi tewasnya
Udayan, yang dia duga, disebabkan oleh pandangan politiknya yang berbahaya.
Dua Saudara dirilis
dengan judul Brotherly Love. Cerita pendek ini sebenarnya adalah
ringkasan dari novel Jhumpa Lahiri yang berjudul Lowland—yang di tahun 2013 menjadi nominee
Man Booker Prize.
Dua Saudara dikisahkan dengan alur progresif
dan pace yang cepat. Dengan lompatan waktu yang membuat kisah ini
fasetik. Kita akan melihat kehidupan Subhash dan Udayan pada fase-fase penting
dalam kehidupan mereka: masa kanak-kanak, remaja, dewasa muda, lalu dewasa
penuh. Meski fakta bahwa kisah ini adalah ringkasan dari sebuah novel sehingga
membuat saya merasa kehilangan aspek-aspek penting dalam kisah utuhnya, saya
tidak terlalu merasa banyak kehilangan. Saya sudah cukup mengenal
karakter-karakter penting dalam kisah ini, dan merasakan dengan jelas
emosi-emosi tertentu yang membuat saya merasa terikat dengan tokoh-tokoh
tertentu, juga ironi yang dialami tokoh-tokohnya.
Pengisahan Jhumpa Lahiri yang intens,
dengan detil yang teliti, memang menjanjikan ruang plot yang lebih lebar.
Cerita pendek ini membuat saya bertanya-tanya tentang bagaimana Jhumpa Lahiri
mengisi fase-fase kehidupan Subhash dan Udayan yang hanya dia beberkan pada
pokok-pokok tertentu, dalam format novelnya. Kisah dua saudara ini kemudian
diakhiri dengan terbuka, selebar berbagai kemungkinan yang bisa terjadi pada
Subhash dan Gauri—Subhash menunjukkan ketertarikan yang tidak biasa terhadap
Gauri. Sebuah upaya Jhumpa Lahiri memancing rasa ingin tahu pembaca yang sukses
besar. Sangat membuat penasaran. Saya berharap Lowland segera diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia.
Kredit gambar |
Cerita pendek ini telah diterbitkan oleh The New Yorker, dan Anda dapat membacanya secara gratis di sini.
Review ini diikutsertakan pada baca
bareng BBI
No comments:
Post a Comment