Jumlah halaman: 220 halaman paperback
Penulis: Mitch Albom
Tahun terbit: Juli 2014
(terbit pertama kali tahun 1997, pertama kali tditerbitkan di Indonesia tahun 2001)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN13: 9786020306810
Dalam kehidupan universitasnya yang kering,
Mitch secara tidak sengaja menemukan oase. Oase itu berwujud profesor tua yang
ramah, lembut hati, dan bijaksana, bernama Morrie Schwartz. Dalam hari-hari
persahabatan mereka yang menyenangkan, Mitch memanggilnya Coach, dan Profesor
favorit itu memanggilnya Player. Mereka kerap menghabiskan waktu di hari Selasa,
dan berbincang tentang mimpi, cita-cita, dan kehidupan di sekeliling mereka.
Morrie adalah pendengar yang baik, dan pada gilirannya untuk berbicara, dia pun
seorang pembicara yang menyenangkan. Kalimat-kalimatnya menenangkan sekaligus
mengusik Mitch. Mitch menyukai Profesor itu, meski nampaknya itu tidak akan sebesar
rasa sayang sang Profesor kepadanya.
Di hari wisudanya, Morrie meminta Mitch
untuk mengunjunginya lagi. Tetapi belantara yang kejam telah menelan Mitch
dalam gerlapnya yang membutakan. Mitch mengejar kehidupan layak dalam standard
umum yang disepakati budaya Amerika yang dianutnya. Lalu suatu hari, Morrie
melintas dalam kehidupan Mitch yang mapan dan jauh lebih kering dari yang dia
sadari. Mitch tersadar, sudah tiba saatnya bagi dirinya untuk kembali kepada
sang Profesor. Memenuhi permintaannya untuk mengunjunginya lagi. Dan ketika itu
terjadi, Mitch merasa upayanya itu terasa nyaris terlambat. Untunglah, di
penghujung kehidupan Morrie, Mitch berhasil menyelesaikan kuliah terpenting
dalam hidupnya, dalam bimbingan sang Profesor, di belasan hari Selasa paling
berarti bagi Mitch. Sebuah kuliah tentang Makna Hidup.
Kuliah terakhir dalam hidup sang professor yang sudah berusia lanjut itu berangsung sepekan sekali di rumahnya, di dekat jendela ruang kerja tempatnya dapat menikmati keindahan kembang sepatu yang bunganya merah jambu. Kuliahnya dijadwalkan tiap Selasa. Mulainya tepat seusai sarapan. Judulnya Makna Hidup. Bahan-bahannya digali dari pengalaman.Kuliah itu tak diberi nilai, tetapi setiap minggu ada ujian lisan. Kita diharapkan dapat menjawab semua pertanyaannya, begitu pula kita diharapkan melakukan pekerjaan fisik seperti memindahkan letak kepala sang profesor ke tempat yang lebih nyaman pada bantalnya atau menaruh kacamata pada punggung hidungnya. Memberinya ciuman selamat tinggal bisa mendapat kredit tambahan.Buku tak diperlukan, namun banyak topik yang diperbincangkan, antara lain cinta, kerja, kemasyarakatan, keluarga, menjadi tua, semangat memaafkan, dan, akhirnya, kematian. Ceramah terakhirnya singkat, cuma beberapa patah kata.Upacara wisuda diganti dengan upacara pemakaman (hal.1).
Mitch Albom menyebut Tuesdays With Morrie sebagai
makalah bagi mata kuliah terakhirnya bersama sang Profesor. Maka bab-bab di
buku ini pun diberi judul unik. Dimulai dengan kurikulum, silabus, lalu bab-bab
yang merangkum percakapan-percakapan Morrie dan Mitch dengan topik yang
berbeda-beda di setiap Selasanya. Dunia.
Mengasihani Diri Sendiri. Penyesalan Diri. Kematian. Keluarga. Emosi. Takut
Menjadi Tua. Uang. Cinta yang Tak Padam. Perkawinan. Budaya. Maaf. Hari yang
Paling Baik. Mengucapkan Kata Perpisahan.
Tuesdays With Morrie dituliskan dari
kisah nyata yang dialami sendiri oleh penulisnya. Saya rasa, inilah titik
kekuatan buku ini dalam menggugah dan menggerakkan emosi pembacanya. Saya
terkejut ketika mendapati mata saya basah, padahal saya baru tiba di halaman
dua puluh. Tentu saja, saya sama sekali tidak kesulitan untuk mengagumi dan
menjatuhcintai Profesor Morrie Schwartz. Tapi saya tidak menyangka akan langsung
menyukainya bahkan sejak awal kemunculannya. Keramahan dan kerendahan hati
Morrie langsung terasa begitu namanya disebut. Kehangatan Morrie terasa
mengalir di sepanjang kisah ini. Saya tidak bisa menahan haru di beberapa
bagian. Kebersahajaan dan kebaikan hati Morrie mengguncang saya dengan
kelembutan yang meruntuhkan. Dalam dialog-dialog antara Morrie dan Mitch, hampir
tidak ada kalimat-kalimat fantastis yang terlontar dari Morrie. Namun,
kesederhanaan tuturnya telah berhasil menguak hal-hal yang begitu akrab namun
nampaknya sudah terlalu lama kita abaikan. Hal-hal yang diam-diam kita rindukan
namun kesulitan untuk menggapainya karena kehidupan di sekeliling kita sudah
menenggelamkannya jauh di dasar kesadaran kita. Dengan cara yang paling
sederhana, hal yang hilang itu bisa kita sebut sebagai kejernihan pandang, sebentuk
kemurnian, yang dengannya, kita akan dengan memudah memaafkan orang-orang,
melelehkan dendam yang menggumpal-gumpal di dalam diri kita, dan satu-satunya
hal yang kita inginkan hanyalah memberi. Memberi yang sebanyak-banyaknya. Jika
kita menganggap itu tidak masuk akal, kita hanya perlu mengingat Morrie. Karena
Morrie yang begitu halus perasaannya, dan penuh kasih sayang, bukanlah anak
yang bergelimang cinta kasih di masa kanak-kanaknya. Saya kagum kepada
bagaimana Morrie membangun kehidupan paradoksal dari masa kecilnya yang suram.
Padahal dia hidup dalam kungkungan rantai budaya individualistik yang sangat
erat membelit dunia di sekelilingnya.
“Ya, pertama, kita orang Amerika hidup dalam budaya yang tidak membuat kita sendiri merasa nyaman. Peradaban ini mengajarkan banyak hal yang keliru. Dan kita harus cukup tangguh untuk berani mengatakan bahwa bila budaya itu tidak sesuai dengan hati, jangan diteruskan. Ciptakan budaya kita sendiri. Kebanyakan orang tidak sanggup melakukannya. Mereka lebih tidak bahagia ketimbang aku—bahkan dalam kondisiku seperti sekarang (hal. 37-38).
“Aku memberi kesempatan kepada diriku untuk menangis kalau itu perlu. Tapi setelah itu aku memusatkan perhatianku kepada segala hal yang masih baik dalam hidupku. Kepada orang-orang yang datang menjengukku. Kepada kisah-kisah yang akan kudengar. Kepadamu—setiap Selasa.“Mitch, aku tidak membiarkan diriku hanyut dalam rasa kasihan berlebihan kepada diriku sendiri. Setiap pagi kubiarkan diriku menangis sedikit, tapi hanya itu” (Bab Mengasihani Diri Sendiri: 61).
Selasa-Selasa Mitch bersama Morrie selalu
menjadi hari yang saya nantikan selama membaca buku ini. Saya ingin mengetahui
keadaan Morrie karena Amyotrophic Lateral
Sclerosis yang sudah merenggut kebebasan dan kegesitannya. Saya tidak sabar
ingin mendengar kuliahnya untuk Mitch yang setiap minggu menjadi semakin
singkat. Saya tidak bisa menahan haru setiap kali mengetahui di Selasa
berikutnya, Morrie sudah kehilangan satu lagi kemampuan hidupnya yang penting,
tetapi berjuang untuk tidak kehilangan kemampuannya untuk menunjukkan kasih
sayang kepada Mitch.
“Cinta adalah sesuatu yang penting. Seperti kata penyair besar Auden, ‘Saling mencintai, atau punah dari muka bumi’” (Hal. 97).
Kelenjar airmata saya berkerja otomatis di
banyak bagian. Salah satunya adalah ketika Morrie sedang melakukan wawancara
dengan sebuah program TV Amerika dengan jutaan pemirsa, yang dipandu seorang
lelaki-terlalu-ceria bernama Ted. Betapa saya tersentuh oleh optimisme dan daya
hidup Morrie sehingga dia dapat memberi lebih banyak makna untuk orang lain.
Bagaimana cara Anda beramal andaikata Anda tidak mampu bicara lagi?”Morrie mengangkat bahu. “Barangkali saya akan meminta orang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya ya atau tidak” (hal. 74-75).
Setelah menyelesaikan buku ini, saya terkejut
karena mendapati bahwa saya sudah melipat sebagian besar dari halaman-halaman
buku. Ada banyak halaman yang memuat kutipan-kutipan penting yang ingin saya
ingat lebih lama. Sebisa mungkin, selama-lamanya. Tapi, lebih dari itu semua,
buku ini berhasil mencapai tujuannya dengan sangat gemilang. Cara pandang saya
mulai bergeser secara perlahan, bergerak menuju kemurnian, yang akan melarutkan
segala kemurungan. Bergerak menuju kehangatan yang sanggup melelehkan segala
kebencian dan kemarahan. Saya pikir, setiap orang harus memiliki buku ini di
rak buku mereka, agar mereka dapat dengan segera membukanya ketika mereka merasa
cemas dan takut tentang kehidupan yang semakin keras di luar rumah mereka, atau
ketika mereka takut kepada kematian, atau ketika mereka lupa caranya mencintai, atau ketika mereka mulai mengabaikan arti
penting pemberian-pemberian kecil mereka kepada orang lain, atau ketika mereka marah,
atau merasakan kebencian yang menghancurkan.
Kredit Gambar |
No comments:
Post a Comment