Jumlah halaman: 256 halaman paperback
Penulis: Sinta Yudisia
Tahun terbit: September 2014
Penerbit: Indiva Media Kreasi
ISBN13: 9786021614334
Penghargaan sastra: Pemenang III Kompetisi Tulis Nusantara
Penghargaan sastra: Pemenang III Kompetisi Tulis Nusantara
Penolakan mentah-mentah terhadap proposalnya
untuk menerapkan model terapi transpersonal bagi pasien skizofrenia, tidak
lantas membuat Nararya menyerah. Harapannya memang mengendur, tapi dia belum
sama sekali berniat untuk mengubur cita-cita itu. Untuk sementara, dia akan
tetap mempercayakan segala kendali pada Bu Sausan, pengambil keputusan
tertinggi atas semua masalah di klinik kesehatan mental tempatnya bekerja. Bagaimanapun juga, Nararya tidak bisa mengabaikan pengalaman
kerja Bu Sausan, atasannya yang supertegas itu. Sebagai terapis di sentra penanganan kasus-kasus skizofrenia, hari-hari Nararya adalah pengerahan upaya terbaik untuk perkembangan positif kondisi klien-kliennya. Adalah Yudhistira, Sania, dan Pak Bulan. Yudhistira yang digugat cerai oleh istrinya dan hampir ditinggalkan oleh ibu dan kakak-kakak perempuannya. Sania, gadis yang sedang beranjak remaja dengan riwayat kekerasan dalam keluarga dan lingkungannya. Dan Pak Bulan, lelaki paruh baya sebatangkara yang bertani mawar di klinik. Nararya, secara perlahan, telah terhubung secara emosional dengan ketiga pasiennya itu. Dan hal itu membuat energinya terkuras habis-habisan. Di tengah semua itu, Nararya harus berhadap-hadapan lagi dengan Angga, mantan suaminya, lelaki yang masih dicintainya, yang tiba-tiba saja didapati Nararya sedang menjalin kasih dengan Moza, gadis cantik dan cerdas yang merupakan rekan kerja sekaligus sahabatnya.
kerja Bu Sausan, atasannya yang supertegas itu. Sebagai terapis di sentra penanganan kasus-kasus skizofrenia, hari-hari Nararya adalah pengerahan upaya terbaik untuk perkembangan positif kondisi klien-kliennya. Adalah Yudhistira, Sania, dan Pak Bulan. Yudhistira yang digugat cerai oleh istrinya dan hampir ditinggalkan oleh ibu dan kakak-kakak perempuannya. Sania, gadis yang sedang beranjak remaja dengan riwayat kekerasan dalam keluarga dan lingkungannya. Dan Pak Bulan, lelaki paruh baya sebatangkara yang bertani mawar di klinik. Nararya, secara perlahan, telah terhubung secara emosional dengan ketiga pasiennya itu. Dan hal itu membuat energinya terkuras habis-habisan. Di tengah semua itu, Nararya harus berhadap-hadapan lagi dengan Angga, mantan suaminya, lelaki yang masih dicintainya, yang tiba-tiba saja didapati Nararya sedang menjalin kasih dengan Moza, gadis cantik dan cerdas yang merupakan rekan kerja sekaligus sahabatnya.
Bulan Nararya adalah karya Sinta Yudisia pertama yang saya baca, setelah saya
akhirnya berhenti membaca Rinai beberapa
waktu lalu (tiba-tiba saja seorang junior saya di kampus ingin meminjam Rinai, dan saya sama sekali tidak bisa
menolak). Seperti halnya Rinai yang nampaknya
berusaha mem-portrait psikologi dalam
frame fiksi, Bulan Nararya pun ditulis dengan semangat yang sama. Namun, Sinta
telah mengerucutkannya pada skizofrenia di Bulan Nararya. Sangat menarik, menemukan hal-hal serumit dunia skizofrenik di
dalam sebuah fiksi. Tidak banyak novelis Indonesia yang mau bersusah payah
mengemas tema-tema semacam ini dalam alur fiktif. Selain karena risetnya yang
pasti gila-gilaan, penulis juga akan
menempuh resiko untuk sekali waktu terjebak dalam teknik penarasian yang
terlalu deskriptif sehingga merusak cita rasa fiksional—kemampuan bercerita
yang luwes, menyenangkan, menghibur—sekaligus mengayakan pembaca dalam beberapa
aspek. Dan saya menyesalkan karena Sinta Yudisia harus mengalaminya. Bulan Nararya yang dinarasikan lewat
suara Nararya, terasa didaktif. Beberapa kali Sinta terpeleset sehingga tanpa
sadar menumpahkan dirinya ke dalam Nararya. Beberapa kali informasi seputar
skizofrenia dituturkan seperti gaya penulisan buku teks referensi mahasiswa
jurusan psikologi di universitas. Hal-hal semacam ini, sebenarnya persoalan
editorial yang masih sangat bisa dibenahi. Bagaimanapun juga, buku sederhana
ini, telah disajikan dengan sangat informatif. Saya menuliskan beberapa kutipan
yang sangat menarik perhatian saya, sebagai bahan kontemplasi. Saya berniat
menuliskannya di post-it dan
menempelkannya pada sterefoam wall di
kamar saya.
Setiap pagi selepas sarapan bersama, semua penghuni klinik diminta berbaris di halaman rumput luas. Senam diiringi alunan musik riang, bermandikan cahaya matahari hangat yang bebas sengatan. Cahaya matahari di waktu pagi dianggap meningkatkan endorfin, meningkatkan rasa bahagia dan semangat untuk beraktivitas. Penderita skizophrenia kekurangan beberapa unsur kimiawi dalam sel-sel saraf, menyebabkan mereka tak dapat menanggapi suatu rangsangan dengan perilaku yang akurat. Selain asupan gizi, olahraga dan pilihan-pilihan aktivitas yang tepat dapat membantu kerja kimiawi lebih baik, memberikan perasaan senang yang bermanfaat bagi emosi (hal 148).
Membaca hal-hal yang berbau psikologi, kita
akan selalu terbawa pada titik-titik familier tertentu. Karena pada dasarnya,
psikologi adalah elemen dasar dari diri kita. Maka beberapa hal akan terasa
sangat kita kenali, karena sangat diri
kita.
Membaca Bulan Nararya, mau tidak mau, saya akan membandingkannya dengan novel bertema
serupa. Di tahun 2011, saya menemukan Therapy karya Sebastian Fitzek, penulis
bergenre misteri dan suspense asal
Jerman. Therapy juga berkisah tentang pasien skizofrenia bernama
Viktor. Menariknya, Viktor adalah seorang psikiater ternama yang seringkali
menangani kasus-kasus skizofrenia. Dan Therapy dieksekusi dengan baik
sekali. Sebastian berhasil mengajak pembaca menyelami alam pikiran seorang
skizofrenik yang kelam, berkabut, dan misterius dengan cara yang sangat
menyenangkan dan thrilling. Meski Bulan Nararya lebih dimaksudkan untuk
mengajak pembaca berempati terhadap pasien skizofrenia dan memberi pesan yang
positif bagi masyarakat—dan terutama keluarga pasien serta lingkungan di mana
pengidap skizofrenia berdiam, saya berharap cerita dengan nilai seluhur ini
dapat disajikan dengan lebih luwes dan baik lagi.
Dalam buku ini, Sinta menghadirkan
tokoh-tokoh yang sangat humanis. Tidak ada tokoh yang benar-benar putih atau benar-benar hitam. Anehnya, meski Nararya adalah
karakter utama di buku ini, saya lebih menyukai karakter Diana yang keras
kepala, memiliki rasionalitas mirip lelaki, tetapi memiliki cinta
seorang perempuan yang seolah tanpa titik jenuh. Saya juga mengagumi Bu Sausan,
atasan Nararya yang sangat keras kepala, cerdas, namun tegas dan memiliki
kemampuan mengendalikan bahaya-bahaya vital yang berkenaan dengan kepentingan
orang lain. Dan dengan sikap kerasnya, Bu Sausan tetap dapat menunjukkan
kehangatan seorang senior, atasan, sekaligus ibu yang menenangkan. Nararya sendiri
hadir sebagai tokoh protagonis yang tidak luput dari ketidaksempurnaan. Tampil
sebagai terapis dengan penguasaan teori psikologi yang mengesankan, Nararya
tidak bisa mengendalikan dirinya dari kerapuhan akibat keretakan rumah
tangganya. Di balik kekuatan dan dedikasinya yang teramat besar di bidang
kerjanya, Nararya tetaplah seorang perempuan yang bisa tertekan, sangat
bisa rapuh, dan sekali waktu harus kehilangan kemampuan menerapkan
teori akademis untuk menenangkan dirinya sendiri. Tetapi, dengan besar hati,
Nararya pun dapat membuka diri kepada orang lain untuk mendapatkan nasehat dan
bantuan moril. Sayangnya, sebagai pembaca biasa, ego saya menginginkan Nararya
dapat mempertahankan Angga.
Ada hal yang terasa cukup mengganggu bagi
saya tentang Bulan Nararya. Keterlibatan
tokoh-tokoh minor dalam konflik rasanya agak terlalu dominan, sehingga hampir
menutupi dominasi Nararya sebagai karakter utama. Alih-alih menunjukkan
kelebihan Nararya sebagai terapis yang dedikatif, saya justru melihat Nararya
sebagai terapis yang tidak professional, karena terlalu emosional. Dia terlalu
banyak menenggelamkan diri dalam kehidupan pasien-pasiennya.
Sebagai salah satu pemenang Sayembara Tulis
Nusantara yang mensyaratkan eksplorasi ciri lokal, saya kira, Bulan Nararya tidak cukup berhasil mengeksplorasi
Surabaya dan Sulawesi Tengah. Meski menyebutkan item-item pariwisata dan kuliner dengan seadanya dan konflik
kesukuan yang pernah begitu menghentak bangsa ini, buku ini, nampaknya tidak
cukup berhasil memetik kearifan lokal daerah tertentu untuk menyematkannya pada
tokoh tertentu dan kehidupannya.
Di samping itu semua, ada beberapa
hal-yang-tampak-sepele-namun-penting lainnya yang cukup mengganggu dari Bulan Nararya. Setiap babnya tidak diberi judul, padahal judul-judul setiap
bab sudah tertera di halaman daftar isi. Atau mungkin itu cacat produksi yang
hanya terjadi di buku yang saya miliki. Saya juga menemukan kata farmakologi yang terasa janggal
penempatannya. Dalam kalimat semacam itu, saya lebih familier dengan istilah medikasi. Saya berharap, buku-buku
semacam ini, kelak diproduksi dengan kuantitas yang lebih tinggi, dan
dieksekusi dengan lebih baik oleh penulis maupun tim editorial penerbitnya.
Terlepas dari kekurangan-kekurangannya, saya
mengapresiasi lahirnya buku ini. Semoga menjadi pemicu bagi lahirnya roman-roman
bartendens lainnya di tanah air. Saya sudah mendapat banyak nasehat yang baik
sekali dari buku ini.
“Tak usah mencari apa makna yang tersirat,” Bu Sausan seolah membaca pikiran. “Kesukaanmu mencari apa yang tersembunyi di belakang, akan menyulitkan. Pakai saja konsep here and now. Apa yang ada di hadapanmu, itu saja (Bu Sausan kepada Nararya: 93).
“Semakin banyak menarik diri, semakin lemah pertahanan mentalmu. Kali ini kamu masih mampu bedakan halusinasi, ilusi, atau bayangan. Kali lain, kamu akan campur aduk semuanya. Dan kesadaranmu berada dalam titik koma” (Bu Sausan kepada Nararya: 139).
“Ibarat imunitas, manusia perlu disuntik virus tertentu. Tubuhnya akan membentu antibodi. Jika suatu saat terpapar lagi, tubuhnya lebih kuat mengantisipasi. Begitupun kepribadian kita. Coba nikmati setiap rasa sakit agar setiap perasaan-ingatan-pengetahuan kita belajar dari apa yang terjadi. Kepribadian menjadi kuat, dan kita siap dalam periode yang akan datang” (Farida kepada Nararya: 225).
Monolog Nararya dan dialog Nararya dengan
tokoh lain sangat informatif. Beberapa kali, saya tidak bisa menahan diri untuk
mencocokkan simtom tertentu dengan yang (mungkin) sedang saya rasakan.
Lebih cepat lelah. Sulit memejamkan mata. Fokus berkurang. Cepat lupa. Sering terkejut oleh hentakan suara yang sebetulnya tak terlalu menyentak. Apa aku demikian tertekan? Apa aku memiliki ilusi tak wajar dari tirai yang melambai di jendela, seperti seseorang tengah mengintai? Saat menajamkan penglihatan, sosok itu menghilang, hanya bayang di kegelapan (hal. 73).
Dengan cara yang menyenangkan, saya merasa
dapat terhubung dengan klinik tempat Naraya bekerja beserta protokol kerjanya. Dan
saya menjadi semakin antusias dengan topik transpersonal.
Dunia dalam buku ini terasa sangat familier bagi saya, dan seperti membawa
kembali memori berharga saya saat melakukan penelitian tugas akhir pendidikan
sarjana di Poliklinik Psikiatri sebuah Rumah Sakit Jiwa di kota saya beberapa
waktu silam.
Ini buku yang baik untuk mengenal dunia
skizofrenik. Buku yang berisi semangat positif bagi keluarga pengidap
skizofrenia, dan anjuran berharga bagi dunia psikologi dan psikiatri.
Kredit Gambar |
No comments:
Post a Comment