![]() |
Cr: self doc |
Author: Winda Krisnadefa
Editor: Rini Nurul Badariah
Pages: 264 pages
Publisher: Qanita
Published year: March, 2013
Pernah berpikir akan seperti apa rasanya jatuh cinta
untuk pertama kalinya di usia hampir separuh abad kehidupanmu? Jika tidak,
bertanyalah pada Magali. Si nyentrik yang—sedang
freelancing di sebuah majalah gratisan ini—benci
keseragaman, benci segala hal yang disukai kebanyakan
orang, dan menyukai segala hal yang tidak
disukai kebanyakan orang. Termasuk
sikapnya yang terlalu membesar-besarkan perkara namanya yang tidak biasa. Padahal Magali—nama pemberian
ayahnya—memiliki arti yang indah dan filosofis.
Karena itulah Magali hanya memiliki satu sahabat. Itu pun dari kalangan sendiri: saudara sepupunya yang—sama anehnya dengan dirinya—bernama Beau (untuk mengetahui bagaimana mengucapkan nama itu, silakan baca Macaroon Love J). Tapi ketika merasa bahwa sepertinya ia sedang jatuh cinta, ia pun menanyakannya pada Nene, “Jatuh cinta itu rasanya seperti apa, Nene?”
Karena itulah Magali hanya memiliki satu sahabat. Itu pun dari kalangan sendiri: saudara sepupunya yang—sama anehnya dengan dirinya—bernama Beau (untuk mengetahui bagaimana mengucapkan nama itu, silakan baca Macaroon Love J). Tapi ketika merasa bahwa sepertinya ia sedang jatuh cinta, ia pun menanyakannya pada Nene, “Jatuh cinta itu rasanya seperti apa, Nene?”
Rasanya mustahil. Jika Magali tiba-tiba kehilangan
sinisme pada seseorang. Tapi Ammar memang tidak saja tampan. Dia juga menyukai french fries cocol sundae seperti Magali. Dan meski Magali tidak yakin mengapa dia
mendadak salah tingkah saat lelaki itu menatapnya dalam-dalam ketika berbicara
padanya, dia juga tidak ingin percaya pada apa yang ia dengar dari Nene tentang
rasa jatuh cinta.
“Saat jatuh cinta, kamu akan berpikir seratus kali apa yang salah dengan dirimu. Padahal selama ini kamu merasa tidak ada yang salah dan begitu nyaman dengan hidupmu apa adanya” (page 115).
Mau
tahu bagaimana reaksi si Sinis Magali?
“Wah, ngerepotin, dong kalau gitu!” (page 115).
Kisah cinta seorang cewek—maaf!—urakan, dan cowok
keren bersenyum ekstra manis memabukkan (ini hanya menurut Magali lho, ya!), bukan hal yang baru dalam roman-roman
dewasa muda. Tetapi, akan selalu ada yang segar
dalam cerita-cerita yang lahir dari naskah unggulan sayembara penulisan yang
dihelat penerbit besar. Trust me! Yang
menarik dari Macaroon Love adalah ceritanya
dijalin pada kanvas dunia jurnalistik—dengan
spesifikasi kulinari. Sebuah poin plus yang membuka wawasan pembaca. Hal menarik
lainnya adalah, setting restauran
Ammar, Suguhan Magali, yang merupakan setting real. Restauran ini memang
terletak di bilangan Fatmawati seperti yang diceritakan di dalam Macaroon Love. Dan, meski novel ini
berlabel roman, Macaroon Love tidak mainstream—seolah
ingin memadu-padankan dengan karakter Magali—seperti novel roman kebanyakan, yang bertabur diksi-diksi akrobatis atau bait-bait
puitis persembahan sang lelaki pada kekasihnya. So, don’t forry for being hangover with those stuffs :).
Sebuah refreshing yang cukup
mengasyikkan bagi saya, dari tipikal cerita-cerita roman tanah air. Namun begitu,
novel roman mungil ini tetap tidak
kehilangan cita rasa manis-nya. Buktikan saja dengan kejutan dari Ammar untuk
Magali! ;)
![]() |
Cr: www.themacaronmaster.com |
Sayangnya, Macaroon
Love tidak begitu berhasil menunjukkan eksentrisme tokoh-tokohnya. Di banyak
tempat, sisi unik tokoh-tokohnya hanya dijabarkan
dengan deskripsi pendek—yang terjadi berulang kali—alih-alih menunjukkannya
dengan lakon atau dialog. Mungkin jika buku ini berdimensi sedikit lebih lebar
dan panjang, atau memiliki halaman yang lebih banyak, tuntutan akan
detil-detilnya yang miss bisa terpenuhi.
Nene dan Jodhi itu manusia nyentrik, kalau kata orang-orang. Walaupun menurutku mereka ya normal, normal menurut penilaianku yang selama ini dibesarkan dalam keluarga aneh seperti mereka (Magali, page 202).
Diceritakan dengan bahasa yang ringan, menikmati Macaroon Love tidak membutuhkan usaha
keras untuk mengikuti alur ceritanya yang nyaris tanpa puncak klimaks menjulang. Dikemas dengan packaging yang menarik—kecuali cover hijau
pupus dengan tiga potong macaroon mengapung
di lautan dan terguyur hujan gerimis yang tampak muram, sendu, dan kurang menyolok (layout hijau pucuk dengan bingkai cupcake, ukuran font yang
pas sehingga nyaman di mata, minim kesalahan tipografi, dan dimensi yang mungil
dan ringan), naskah unggulan Lomba Penulisan Romance penerbit Qanita ini asyik
dibawa ke mana pun untuk dibaca mengisi waktu di sela-sela menunggu antrian
atau teman janjian, atau mengalihkan perhatian dari perjalanan membosankan yang
seringkali menguras energi.
2,5 out of 5 stars, anyway!
No comments:
Post a Comment