Judul
buku: CINE US
Penulis:
Evi Sri Rezeki
Jumlah
halaman: 304 halaman
Editor:
Dellafirayama
Tahun
terbit: 2013
Penerbit:
Noura Books
Lena, Dania, dan Dion, bertemu
karena hobi pada videografi, dan akhirnya, bertiga mereka membentuk Klub Film
di sekolah. Seperti halnya semua hal baru di dunia ini, pembentukan Klub Film pun
mendapat tantangan besar: tidak satu siswa pun, di luar Lena-Dania-Dion, yang
ingin bergabung!
Klub Film membutuhkan satu tahun
untuk merekrut tujuh siswa kelas X sebagai anggota baru, dan memiliki sebuah basecamp—yang lebih pantas disebut gudang. Meski begitu, Klub Film tetap
saja tidak bisa sepopuler klub-klub sekolah lainnya. Jangankan untuk terdengar
gaungnya, tidak ada satu siswa pun yang berminat menonton film pendek buatan
mereka, meski DVD-nya dibagi-bagikan secara gratis. Klub Film kehabisan
strategi mempromosikan diri. Sampai
suatu hari, Lena mendapatkan sebuah telepon dari panitia Festival Film Remaja
yang mengajaknya mengirimkan skenario film untuk kompetisi.
Lena tiba-tiba menemukan kesempatan untuk menunjukkan kemampuan Klub Film. Klub bentukannya bersama dua sahabat karibnya, berkesempatan mengikuti kompetisi film yang dapat membuat Klub Film dikenal jika mereka memenanginya. Pada saat yang sama, Adit, mantan kekasih Lena, datang kembali dengan tawaran sebuah taruhan arogan yang membuat Lena panas. Lena bertekad akan memenangi kompetisi penulisan skenario film dan membuat Klub Film memenangkan kompetisi film di Festival Film Remaja itu. Pertemuan tak disengaja Lena dengan si cowok chubby ajaib dan misterius, Rizki, menerbitkan harapan bagi Lena dan Klub Film. Lena bertekad akan menemukan cowok itu, setelah menghilang begitu saja di malam pertemuan pertama mereka, dan mencuri bakatnya. Cowok itu, benar-benar memiliki apa yang Lena inginkan, dan Klub Film butuhkan.
Lena tiba-tiba menemukan kesempatan untuk menunjukkan kemampuan Klub Film. Klub bentukannya bersama dua sahabat karibnya, berkesempatan mengikuti kompetisi film yang dapat membuat Klub Film dikenal jika mereka memenanginya. Pada saat yang sama, Adit, mantan kekasih Lena, datang kembali dengan tawaran sebuah taruhan arogan yang membuat Lena panas. Lena bertekad akan memenangi kompetisi penulisan skenario film dan membuat Klub Film memenangkan kompetisi film di Festival Film Remaja itu. Pertemuan tak disengaja Lena dengan si cowok chubby ajaib dan misterius, Rizki, menerbitkan harapan bagi Lena dan Klub Film. Lena bertekad akan menemukan cowok itu, setelah menghilang begitu saja di malam pertemuan pertama mereka, dan mencuri bakatnya. Cowok itu, benar-benar memiliki apa yang Lena inginkan, dan Klub Film butuhkan.
Cine
Us bertutur
dengan ringan, ceria, dan cenderung lugas, sangat khas teenlit. Namun, karena
dikisahkan dengan latar belakang klub film, Cine Us tampil sebagai teenlit yang beda. Lebih bergizi, tentu saja. Jika biasanya saat mendengar kata
teenlit, yang terbayang di benak kita adalah kisah cinta remaja yang dipenuhi
warna-warna pastel, keping-keping bunga merah jambu, dan romantisme putih abu-abu yang khas. Tapi ketika
membaca Cine Us, stigma itu pun
terpatahkan. Bukan berarti, Cine Us tidak
memuat unsur romansa remaja. Tetapi plot yang mengalirkan kisah perjuangan Klub
Film mencapai titik eksistensi yang diinginkan para pendirinya, menjadikan Cine Us didominasi oleh kisah jatuh
bangun klub film sekolah yang berjuang untuk eksis di sekolah. Mulai dari
mencari anggota baru, mengajak siswa-siswa sekolah untuk nonton bareng film
kreasi Klub Film, pengajuan proposal permohonan pembinaan dan dana pembuatan
film pendek, hingga lahirnya klub film saingan yang tidak tahu caranya bermain sportif.
Bercerita soal remaja, Cine Us tetap dibumbui konflik-konflik
emosional yang khas. Dari konflik persahabatan, konflik dengan guru, konflik
dengan gebetan, kenakalan/kebandelan remaja, hingga ambisi memenangkan
persaingan demi gengsi. Mengetengahkan karakter-karakter muda yang unik, Cine Us pun tampil dengan keseruan khas
remaja yang menghibur. Ada Lena, si Drama Queen yang heboh dan lucu. Lalu
Dania, sang leader Klub Film yang tenang,
tegas, dewasa, dan sahabat yang sangat solider. Ada juga Dion, sang
kameragrafer Klub Film. Cowok pengidap ADHD (Attention
Deficit Hyperactivity Disorder) yang meski sulit diajak ngobrol dengan nyambung, tetapi sangat menyayangi Lena
dan Dania. Dan, ada duo Rizki-Ryan, partner
in crime yang selalu siap menjadi Superhero
bagi Klub Film.
“Lihat, sebentar lagi, aku bakalan bikin film paling keren sepanjang sejarah!” Aku berapi-api. Aku berdiri, mengentak-entakkan satu tangan ke dada, lalu merentangkan kedua tangan ke atas. Angin berdesir diiringi suara petir menggelegar. Langit mencatat tekadku! Dania, dion, dan anak-anak kelas X bertepuk tangan. Wajahku semringah bangga. Jantungu berdegup kencang. Sepertinya seluruh alam semesta mendukung impianku.Oke, ini agak berlebihan. Sebenarnya, suara petir itu Cuma kedengaran olehku saja dan tidak ada yang menyimak gaya dramatisku barusan. (Tentang Lena: 15)“Yaaahhh … kok, sudahan adegan sedihnya?” sahut Dion kecewa. Dion terus-menerus mengambil gambar kami, seakan-akan adegan-adegan barusan adalah shooting belaka. Saat tegang seperti ini, aku merasa Dion penyelamat bagi kami. Setidaknya, membuat suasana sedikit ceria. Membuatku bisa tersenyum kecil (Lena, tentang Dion: 114).
Cine
Us dikisahkan
dari sudut pandang orang pertama tunggal, yakni melalui mata tokoh Lena. Tidak
mudah mengisahkan cerita dari sudut pandang jenis ini. karena penulis sangat
mudah terjebak untuk mendikte pembaca dengan deskripsi, alih-alih menunjukkan
emosi dan karakter lewat lakon tokoh-tokoh di luar sang Aku. Evi Sri Rezeki
cukup berhasil memainkan peran Lena sebagai pencerita, lewat karakter khasnya
yang lincah, ambisius, dan pengkhayal kelas berat. Jenis karakter yang loveable, yang jika tidak mampu diramu
dengan baik, akan menghasilkan efek sebaliknya. Menyebalkan. Dan, hasilnya,
saya menyukai Lena. Sayangnya, dominasi Lena sebagai narator, seringkali
menutupi peran tokoh lain yang didesain sebagai orang penting. Dania, misalnya. Dania adalah ketua Klub Film. Namun,
Lena selalu tampil dominan. Lena merencanakan banyak hal (seolah-olah) seorang
diri. Menjalankan rencana A, B, C, D, seolah tanpa komando Dania dan koordinasi
dengan Klub Film. Meski begitu, flaw yang
dimiliki setiap tokoh protagonisnya, membuat karakter-karakter ini sangat akrab
dengan pembaca. Karena kita seolah bisa melihat mereka pada diri kita, dan
orang-orang di sekitar kita.
Cine
Us didesain
untuk bercerita dengan ritme alur yang
cepat. Teknik bercerita yang seperti ini, membutuhkan plotting yang cerdas, untuk tetap memikat pembaca dari lembar
pertama hingga halaman terakhir. Untuk pace
yang seperti ini, sebuah cerita membutuhkan alur yang padat dan dinamis. Evi
memilih penulisan dialog yang dominan dalam strategi dinamisasi cerita. Dan itu
cukup berhasil. Dialog-dialog pilihan Evi adalah dialog yang segar, kombinasi
elemen humor, dramatisasi filmis, dan emosional. Sayangnya, kelebihan ini
kurang didukung oleh plotting yang
padat. Pada chapter pertama, kita
akan menemukan plot cerita yang renggang. Hal ini, adalah sebuah pemborosan. Padahal,
energi dinamika cerita itu sangat dibutuhkan untuk konflik-konflik pembangun
klimaks cerita. Alhasil, beberapa konflik berlangsung sangat cepat, dan
diselesaikan dengan sama cepatnya. Padahal, konflik-konflik tersebut sangat
berhasil menyulut adrenalin pembaca. Saya mengepalkan tangan dan bisa merasakan
kemarahan Lena saat Romi mengambil alih basecamp
Klub Film. Saya mengentakkan kaki saat Klub Film hampir kehilangan
kesempatan mengikuti kompetisi film. Saya ingin menggebrak meja saat Pak Kandar
meremehkan Klub Film dan menolak proposal yang mereka ajukan. Dan saya ingin melemparkan
Adit ke bulan saat cowok itu terus-menerus meneror Lena di social media.
Cine Us sendiri menggunakan alur campuran. Saat cerita bergerak maju, sesekali
Lena, akan mem-flashback kejadian di
masa lalu, dan memberikan informasi kepada pembaca mengenai hal-hal tertentu.
Mengapa ini begini, dan itu begitu. Sayangnya, kejadian flash back seringkali dikisahkan dengan sangat ringkas, sehingga
mengurangi detail cerita. Padahal teknik flashback
dapat dimanfaatkan untuk memadatkan alur cerita, dan menambal plothole (misanya) dari prolog ke
chapter 1. Mengapa tujuh anak kelas X mau bergabung dengan Klub Film saat klub
itu bahkan tidak dilirik oleh para senior mereka yang populer di sekolah?
Kekurangan
lain yang cukup mengganggu adalah banyaknya kesalahan tipografi dalam buku ini.
Ada beberapa mis-spasi, minus-aksara, dan plus-aksara. Setting-nya yang memilih kota Bandung dan Jakarta juga hanya
dieksplorasi seadanya. Padahal, Bandung yang selalu diidentikkan dengan sarang komunitas seni, adalah setting tempat yang ideal untuk
dikaitkan dengan dunia sinematografi—yang menjadi highlight cerita ini. Namun, terlepas dari segala kekurangan itu, Cine
Us memiliki banyak kelebihan. Penuturan Evi yang lancar dan rapi (minus
kesalahan tipografi tadi), adalah hal penting untuk membawa pembaca menikmati
cerita ini hingga tuntas. Kecuali, deskripsi mengenai ADHD yang mengurangi
estetika bercerita karena gaya deskripsinya lebih mirip artikel. Dari segi packaging, Cine Us tampil dengan
ilustrasi sampul yang cantik, dan model sampul yang unik. Ilustrasi dalam
bukunya pun menarik.
Setiap perpindahan bab
ditandai dengan gambar seorang gadis berpakaian sekolah (yang saya asumsikan
sebagai Lena) yang sedang memegang clapper
juga terbelit film roll, dan
dengan judul yang diawali dengan “Who”. Ini adalah teknik pemberian judul yang
cerdas, karena memancing curiousity pembaca.
Who’s the creator? Who’s the loser? Who are you? Who’s obsessed? Who’s coming? Who’s
knocking? Who’s challenging? Who survived? Who’s lost? Who fallin in love? Who’s
the winner? Who’s searching? Who’s behind? Ini adalah teknik pemberian judul yang cerdas, karena
memancing curiousity pembaca. Who’s
the creator? Who’s the loser? Who are you? Who’s obsessed? Who’s coming? Who’s
knocking? Who’s challenging? Who survived? Who’s lost? Who fallin in love? Who’s
the winner? Who’s searching? Who’s behind? Setiap kali memulai sebuah chapter, pembaca akan bertanya-tanya, “Siapa ya, yang dimaksud? Akan bagaimana
kisahnya?”
Sebagai cerita yang diperuntukkan
bagi remaja, Cine Us mendeskripsikan
emosi tokoh sesuai dengan mental usia tokohnya. Misalnya, saat Rizki tiba-tiba
menghilang dari keseharian Lena. Lena mengungkapkan perasaannya dengan gaya
khas remaja. Remaja kita, idealnya, mengasup bacaan-bacaan yang kontennya
sesuai dengan usianya.
Aku berguling-guling di atas kasur. Membolak-balik beberapa komik. Yang kulihat hanya wajah Rizki. Aku mendengarkan musik, yang kudengar hanya suara jelek Rizki. Menonton film, yang kulihat juga kelakuan norak Rizki (259).
Di awal
review, saya melabeli Cine Us dengan “beda” dan “bergizi”. Hal
ini karena tema besar yang diusung buku fiksi ini. Berlatar belakang dunia
sinematografi, Cine Us menjadi teenlit
yang sangat informatif. Pembaca dapat menyelami dunia yang—seingat saya—belum
pernah diketengahkan dalam fiksi remaja sebelumnya. Dunia film amatir. Dengan fun, pembaca diajak mengikuti sesi
pra-produksi, produksi, dan pasca-produksi film pendek bersama Lena dan
kawan-kawannya. Suasana brainstorming ide
yang menguras energi dan emosi karena perbedaan pandangan, interpretasi ide
cerita, dsb, sangat menarik untuk diikuti.
Saya pernah tergabung dalam
proyek pembuatan film semi-dokumenter amatir. Membaca kisah Lena dan klub filmnya
membuat saya merasakan kembali atmosfer selama pengerjaan proyek film itu. Setelah
film selesai pun, ternyata segala sesuatunya belum selesai. Tidak jarang, film-maker justru merasa bahwa pekerjaan
yang sebenarnya baru saja dimulai setelah film selesai. Bagaimana film akan
dipasarkan? Seimbangkah apresiasi penonton dengan kerja keras selama proses
produksi film garapan kita? Lena dan kawan-kawannya pun mengalami hal ini. Film
mereka tidak saja gagal menarik minat siswa-siswi sekolahnya. Tetapi juga
mendapatkan kritik pedas dari pembuat web
series laris. Dan, ah, omong-omong tentang web series, tanpa membaca Cine
Us, saya tidak akan pernah mengenal frasa ini :). Saya pun meng-googling dengan keyword web
series. Dan, saya mem-bookmark beberapa
situs penyedia web series gratis
untuk saya tonton, nanti. Saya berharap, karya Evi selanjutnya khusus mengulik
tentang web series.
Di Indonesia
sendiri, film pendek belum mendapat apresiasi yang layak dari pemirsa. Menurut beberapa
sumber, film pendek di Indonesia
mulai mencuat ke permukaan saat munculnya pendidikan sinematografi di IKJ
(Institut Kesenian Jakarta). Dan hal ini cukup mengundang perhatian dari para film-enthusiasts di
era tahun 70-an. Dewan Kesenian Jakarta pun telah mengadakan Festival Film Mini setiap tahunnya,
sejak tahun 1974. Meski saat itu, format film yang diterima hanyalah seluloid
8mm. Sayangnya, pada tahun 1981 Festival Film Mini berhenti karena kekurangan dana. Lalu
pada tahun 1975, muncullah sebuah paguyuban yang menamakan diri sebagai
Kelompok Sinema Delapan, yang
dimotori Johan Teranggi dan
Norman Benny. Kelompok ini secara simultan dan giat mengkampanyekan
seluloid 8mm yang dapat digunakan sebagai media ekspresi kesenian, kepada masyarakat.
Dan akhirnya, hubungan internasional para film-maker
Indonesia dengan Eropa—terutama dengan Festival Film Pendek Oberhausen—pada
tahun 1984, membuat film pendek mulai berani unjuk gigi di pentas dunia. Peristiwa
ini pun memicu lahirnya Forum Film Pendek
di Jakarta, yang berisikan para seniman, praktisi film, mahasiswa dan penikmat
film dari berbagai kampus untuk secara intensif membangun networking yang baik
di kalangan pemerhati film. Forum Film Pendek pun hanya bertahan selama dua
tahun saja. Kondisi memprihatinkan film
pendek Indonesia ini dikarenakan kurangnya ajang-ajang eksibisi sebagai
salah satu metode memasyarakatkan film pendek kepada masyarakat luas. Jatuh bangun
kondisi film pendek di Indonesia ini mulai berbuah manis. Kompetisi film pendek
semakin marak diadakan. Festival Film Pendek bergengsi di tanah air pun telah
mengantarkan sineas-sineas muda Indonesia ke panggung film internasional (Disarikan
dari berbagai sumber).
Di kota
saya, pembuatan film pendek telah
dijadikan tugas wajib sekolah bagi siswa SMK, dan tugas rutin mahasiswa jurusan
ilmu komunikasi. Jelas ini adalah kabar gembira bagi perfilman tanah air. Hadirnya
Cine Us turut menyemarakkan geliat
perfilman bagi kaum muda di tanah air. Jika di kota saya komunitas film didirikan oleh
pegiat-pegiat sinema lepas yang berasal dari berbagai latar belakang
pendidikan, Cine Us telah memprovokasi remaja Indonesia untuk
menjadikan klub film sebagai bagian dari kegiatan ekstrakurikuler—dan ini pasti
akan terdengar sangat keren. Remaja adalah fase di mana menjadi pusat perhatian adalah minat terbesar mereka. Berjalan ke
sana kemari di lingkungan sekolah dengan handycam
atau kamera DSLR di tangan dan jinjingan tas tripod di punggung, siapa yang
akan menyangkal bahwa itu tidak keren? :)
Saya yakin, pembaca akan
mendapatkan banyak hal dari Cine Us. Tidak
saja mengenai satu sisi dunia sinematografi, tetapi juga hal-hal berharga lain-nya yang penulisnya ingin agar disimpan oleh
pembacanya. Cine Us mengajarkan arti
penting sahabat yang menemani perjalanan kita menuju harapan dan mimpi-mimpi
kita.
Kembalinya Dion telah melengkapi formasi kami. Aku terus menggenggam tangan Dion, takut dia hilang lagi. Sahabat pasti akan kembali sekalipun bertengkar hebat. Sahabat sejati selalu punya tempat di hati, kehilangan mereka akan menyisakan ruang kosong yang tak bisa ditambal lagi (215).
Cine Us juga
mengajarkan betapa berbahayanya sebuah kemarahan, betapa pentingnya sepotong
kejujuran, pengakuan akan kelemahan diri, dan mental baja dalam menghadapi
kritikan demi pembaikan kualitas diri. Dan di atas segalanya, Cine Us mengajak remaja Indonesia, yang
setiap diri mereka diisi oleh semangat muda yang memungkinkan segala kemustahilan menjadi sangat mungkin, untuk bermimpi.
Bermimpilah. Setinggi-tingginya. Beranikanlah diri menentang segala aral yang
merintangi jalan menuju mimpi-mimpi itu. Dan percayalah, bahwa mimpi-mimpimu
akan mewujud.
Setinggi apa pun impianmu, kamu hanya butuh percaya. Seperti aku memercayai impianku. Sertakan orang-orang yang kau cintai dalam impianmu. Karena mereka adalah sumber kekuatan bagimu.
Satu hal lagi, Tuhan bersama kita yang berjuang. (280)
Kamu juga punya klub film di sekolah? Atau baru ingin membentuk klub film? Jadiin Cine Us salah satu referensi fun-mu, yuk! :)
No comments:
Post a Comment