Pages

Thursday, September 26, 2013

Ngobrol Buku IFC #1 (MEMENTO, 22 September 2013)


Saya menerima Memento 6 September 2013. Paket Memento harus saya susul ke kantor cabang JNE Kendari karena Mbak yang lagi jaga asrama menolak paket ini tanpa saya :). Hanya membutuhkan dua hari untuk mendistribusikan keenam Memento pada penerimanya. Namun, sangat tidak mudah menemukan Minggu sore yang lowong untuk menyatukan enam cewek supersibuk ini. Mala, Nurul, dan Intan, yang sibuk sama kegiatan akademik dan ekskul kampusnya, Awi yang sibuk dengan aktivitas kantor dan kekarantinaan pelabuhan, Leea yang sibuk dengan aktvitas misteriusnya (nggak pernah dipublikasi soalnya), dan Amaya yang baru menyelesaikan penelitian tugas akhir. Sebenarnya, ada satu member lagi. Nafilah. Sayangnya, karena kelelahan, Nafilah ketiduran dan tidak sempat hadir. Nafilah hanya menjanjikan review Memento yang kemudian diberikan pada saya untuk saya selipkan dalam liputan ini.
Sebelum program Arisan Buku Gagasmedia-Bukune, saya tidak pernah membayangkan bagaimana serunya mengobrolkan buku untuk didokumentasikan dalam bentuk liputan. Dan khusus untuk "Ngumpul Ngobrol Memento" ini, saya merekam obrolan kami. Hasilnya, kami terdengar seperti ibu-ibu bergosip. Bedanya, kalau di sini, kita ngegosipin buku ^_^
Awalnya, liputan ini saya rencanakan untuk dibuat dalam format audio-visual. Sayang sekali, saya tidak memiliki cukup waktu untuk men-direct klip video rekaman obrolan kami. Selain karena obrolan berlangsung natural wthout script dan nggak bisa pakai "pause", tripod yang dibawa Leea juga nggak ada locker-nya.

So, pengin tahu serunya obrolan kami? Yuk, let's check this summary out! ;)

Dari kiri ke kanan: Mala, Awi, Nurul, Amaya, Intan, Leea

Amaya membuka sesi obrolan tanpa basa-basi, dan langsung mengingatkan bahwa obrolan kali ini tdak akan jauh jauh dari unsur intrinsik (penokohan, alur, akhir cerita, dan pesan) dan ekstrinsik (layout dan cover) Memento.
“Jadi, siapa dulu nih yang mau ngasih pendapat soal Memento?” tanya Amaya.
Secara spontan, Leea mengacung tangan, menawarkan diri untuk menuturkan kesan-kesannya.
“Saya duluan, deh. Saya pengin cerita semua yang saya rasakan,” kata Leea, dengan gayanya yang cuek, yang langsung disambut riuh member yang lain.
“Sebenarnya prolognya saya suka. Bab 1, bab 2 membosankan. Untuk opening, tidak bikin penasaran. Tapi di pertengahan, sejak  Harmein meninggal, saya merasakan emosi.
“Meskipun novel ini tidak bisa saya katakan luar biasa, saya suka Shalom. Meski saking tenangnya, dia tidak tampak emosional. Dan kurang bisa memengaruhi pembaca. Hanya sesekali Shalom bikin kita merasakan emosi. Tapi saya suka karakter Shalom yang tdak biasa. Diam-diam menghanyutkan.
“Sebenarnya, tidak selamanya tenang itu tidak bisa menampilkan emosi. Tapi Shalom, tenangnya itu, tenang yang sama sekali tanpa emosi.
“Lalu di sini ada banyak tokoh yang tidak penting.
Ending-nya jauh dari harapan. Saya pikir, ending-nya bisa meledak. Kedatangan Wirya di akhir sedikit dipaksakan.”
Mala membalas dengan tepuk tangan dan menyatakan idem sama Leea.
“ Ada lagi yang mau nambahin soal karakter?” Amaya mengambil alih.
“Saya tidak suka Elgar,” celetuk Intan, dan langsung disambut tawa members yang lain. “Terlalu cepat dia katakan cintanya.“
Amaya juga menyatakan keheranannya dengan karakter Elgar yang pemurung, tapi begitu mudah jatuh cinta pada gadis yang tidak banyak berbicara padanya.
Kelima members sepakat bahwa chemistry antara Elgar dan Shalom belum terbentuk utuh, namun keduanya sudah saling jatuh cinta. Meski begitu, hampir semua members menyukai karakter Shalom yang anti-mainstream. Amaya sendiri merasa menyukai Shalom karena alasan yang cukup emosional. Alasan yang sama yang membuatnya betah membalik halaman demi halaman Memento hingga selesai, setelah memasuk bab-bab pertengahan. Dalam beberapa hal, Amaya merasa membaca dirinya sendiri ketika membaca tentang Shalom (uhuk!).
"Karakter Shalom dengan latar peternakan itu match really well menurut saya,” tutur Leea.
Berbeda dengan Nurul, yang menyukai sisi tegar dalam diri Shalom ketika harus melepaskan Elgar tanpa banyak bertanya. 
“Shalom itu tegar sekali,” ungkap Nurul.
   Sedang menurut Nafilah, halaman-halaman awal membuatnya jatuh cinta pada karakter Shalom. Karena kesan dark-nya sangat terasa. 
"Tapi setelah kematian kekasihnya menyusul kepindahannya, pelan-pelan saya merasa kehilangan feel terhadap Shalom," tulisan Nafilah dalam review-nya.
Nafilah juga mengungkapkan ketidakpuasannya yang lain mengenai penokohan Memento. Menurutnya, dari segi deskripsi tokoh, serba nanggung. 
          "Saya tidak mendapatkan penjelasan yang terang tentang mengapa Wirya sampe segitunya terobsesi pada Shalom? Proses hubungan Elgar-Shalom lumayan sangat cepat. Dan lagi-lagi saya tidak merasakan emosi apa-apa dari kedua tokoh ini. Intinya adalah kurang mendetailnya konflik, penokohan, tema utama yang hendak disampaikan penulis kepada pembaca," komentarnya.
Menariknya, semua members kompak menyukai Harmein Khagy yang ternyata bukan tokoh utama lelaki dalam Memento.
“Saya senang karakter Harmein. Paling memancing emosi,” kata Awi.
Mala menyepakati hal itu. “Iya, iya. Munculnya cepat tapi karakternya diingat terus.”
“Harmein kesannya terasa dari awal sampai akhir,” sahut Intan.
Sedang Amaya dan Nurul menyukai sisi romantsme Harmein Khagy, dan menyayangkan usia Harmein Khagy yang tidak menjangkau akhr cerita.
“Romantis banget gak sih, dia suka ngebawain makanan,” tutur Nurul.
 “Iya. Saya suka Khagy yang ke mana-mana pake kaos oblong dan sepeda. Sayang banget umurnya pendek,” sahut Amaya.

Cr: Amaya's self doc

Lalu obrolan pun beranjak pada plotting dan akhir cerita.
“Ternyata cowok di prolog itu Elgar,” Awi menyeletuk. Dan langsung disambut Leea.
“Nah, itu salah satu hal yang bikin saya suka prolog-nya,” katanya.
Nurul tiba-tiba mengungkapkan bahwa Memento memendam begitu banyak konflik yang tidak terselesaikan pada waktunya. Hal ini senada dengan yang dungkap Nafilah dalam kiriman review-nya. Bahwa ada terlalu banyak konflik dalam Memento yang segera diakihri sebelum konflik itu sempat menanjak pada klimaks, sehingga hanya menyisakan kesan flat.
Sedang Awi, tampaknya belum bisa melupakan perihal penokohan. Menurutnya, selain konflik, juga ada terlalu banyak tokoh dalam Memento, tapi sebagian besarnya tidak begitu penting. Ada atau tidaknya mereka tidak banyak memengaruhi alur cerita. Tokoh Mohesa misalnya, karena perannya yang cukup banyak, Awi sempat berpikir bahwa Mohesa adalah tokoh utama pria dalam cerita ini.
“Ah, saya pikir Shalom bakal sama Mohesa,” ungkap Awi.
Sedangkan Mala dan Intan berpikir, akan terjalin cinta terlarang antara Shalom dan Dika.
Memski begitu, Awi mengakui bahwa ia menyukai detil latar yang dituturkan Wulan Dewatra, yang bagi Nurul dan Intan terasa nyata dan seolah bisa merasakan berada di sana. Hal ini dibenarkan oleh


  Terlepas dari segala kekurangan yang dirasakan members IFC tentang Memento, ada banyak hal menarik yang menggugah interest kami. Kalau Nurul, mengaku menyukai cara Wulan Dewatra menggambarkan adegan-adegan "xxx" yang  disamarkan, tapi pembaca bisa memvisualisasikan sisanya.
"Iya, saya juga suka bagian itu. Rasanya seperti nonton film. Pas adegan "xxx", cuma ditampilkan siluet, tapi penonton bisa mengetahui adegannya," ungkap Leea.
Bagi hampir seluruh members, satu kalimat yang paling berkesan selama pengalaman membaca Memento adalah ... mereka yang pergi tidak bertanggung jawab atas sisa kenangan yang tidak mereka bawa serta. Meski setuju, tapi Amaya memiliki kalimat favorit-nya sendiri, yakni perkataan yang ditujukan Shalom kepada Elgar saat lelaki itu akan meninggalkannya.

Elgar ... Jika aku masih rumah bagimu, Pulanglah.

Nurul pun  sangat memfavoritkan kalimat ini. Nurul mengungkapkan bahwa, jika ia menjadi Shalom, ia akan melakukan hal serupa. Amaya menyatakan ketidaksetujuannya.

"Nggak mau. Kalau jadi Shalom, saya nggak mau ditinggal Elgar begitu saja, nggak rela, setelah membuat saya begitu jatuh cinta." Perkataan ini sontak membuat semua members terbahak.

Nurul menanggapi dengan sikap sedingin Shalom, "Kalau saya, biarkan saja dia pergi. Saya sudah tahu alasannya. Saya ikhlas."

Ah, Nurul ... how cool you are!


Adapun Leea, dia punya adegan favoritnya sendiri. Yakni sikap Shalom memperlakukan Elgar dengan sebaik-baiknya perlakuan. Selain itu, hal yang disukai Leea dari Memento adalah diksi Wulan Dewatra.
"Yup!" komentar Amaya. "Rapi memang, meski nggak spektakuler.

Saat membahas soal ending, seluruh members menyatakan ketidakpuasannya.
"Hubungan Shalom dengan ibu Elgar tidak terselesaikan," Awi memberikan pendapatnya.
Sedang menurut Leea, hal itu memang itu sengaja dibiarkan terbuka. Intan dan Mala sepakat bahwa akhir ceritanya sangat cepat dan terburu-buru. Amaya mengungkapkan hal senada, dan berharap bisa menikmati emosi dari keputusan Elgar menyetujui euthanasia Shalom, namun Shalom sudah lebih dulu membuka mata.
"Iya. Cepat banget buka matanya. Hanya karena Elgar menangis," sesal Awi.
Meski demikian, karakter Shalom melekat kuat di kesan Awi.
"Dia mencintai tapi kelihatan tidak mencintai," tuturnya, menjelang akhir diskusi kami.

Obrolan kami berakhir hanya sesaat sebelum kumandang tarhib di masjid, ditutup dengan kebingungan Nurul tentang filosofi cover Memento dan curiousity-nya Amaya tentang arti Memento.
Butuh lima menit buat Nurul untuk menangkap kesan sesosok perempuan yang memegang setangkai bunga di cover MEMENTO, yang disusul bunyi "ah ... oh" dari members yang lain. Intan yakin bahwa gadis di cover Memento adalah Shalom. Sedang menurut Amaya, sosok transparan gadis pemegang setangkai bunga di cover adalah representasi Shalom yang tak lagi utuh setelah begitu banyak kehilangan dalam hidupnya.
"Omong-omong, Memento artinya apaan, sih?" celetuk Awi tiba-tiba.
"Ah, iya. Saya juga bertanya-tanya," sahut Amaya.
Nurul menjadi kunci menuju jawaban pertanyaan ini. Nurul yang penasaran dengan kata Memento mengaku menemukan arti Memento di kamus bahasa Inggris, yang ternyata berarti kenang-kenangan.
"Ahh ... kirain bahasa Amerika latin," Amaya berdecak.. "Kenang-kenangan ...."
Sesi obrolan baru benar-benar berakhir setelah sesi tukar-pinjam buku antarmember.


Finally, IFC mengucapkan banyak terima kasih atas sweet gift dari GagasMedia dan Bukune ini. Dan tak lupa, gagasan untuk menuliskan liputan hasil obrolan buku. Ini akan menjadi postingan perdana temu mingguan IFC, yang akan terus berlanjut hingga seterusnya, untuk menjadi posting mingguan. Semoga.
Terima kasih GagasMedia dan Bukune! ^_^
Review Memento oleh Amaya bisa dibaca di sini


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...