Penulis: Yoko Ogawa
Halaman: Paperback, 252 halaman
Penerbit: Qanita
Tahun terbit: 1 Maret
2016 (diterbitkan pertama kali tahun 2003)
ISBN13: 9786021637906
Di antara tak terhingga hal yang aku dan
anakku pelajari dari sang Profesor, arti akar kuadrat adalah salah satu yang
terpenting. Tidak diragukan lagi, dia pasti kesal oleh penggunaan tak terhingga
yang kugunakan—terlalu ceroboh, karena dia percaya bahwa asal mula jagad raya
ini bisa dijelaskan dengan bahasa angka yang eksak—tetapi aku tak tahu
bagaimana lagi mengungkapkannya. Dia mengajari kami tentang bilangan-bilangan
prima yang jumlahnya telah melebihi seratus ribu, dan bilangan terbesar di
antara semuanya, yang digunakan dalam pemecahan-pemecahan soal matematika dan
dimuat dalam Guinness Book of
Records, serta ide tentang sesuatu yang
lebih besar daripada tak terhingga (halaman 5 – 6).
Seorang
pengurus rumah baru bekerja di rumah sang Profesor. Sebelumnya, sudah Sembilan
pengurus rumah yang mengundurkan diri dari pekerjaan itu. Sang Profesor adalah
ahli matematika jenius yang, akibat sebuah kecelakaan belasan tahun sebelumnya,
ia kehilangan kemampuan untuk mengingat dengan normal. Ingatan sang Profesor
berhenti di tahun 1975. Setelah kecelakaan yang menimpanya, dia hanya sanggup
mengingat peristiwa yang terjadi selama delapan puluh menit terakhir. Karena
kecintaannya terhadap matematika, sang Profesor hanya membicarakan hal-hal yang
berkaitan dengan matematika. Itu juga terjadi ketika dia pertama kali bertemu
si pengurus rumah yang baru. Alih-alih menanyakan namanya, sang Profesor
menanyakan nomor sepatu si Pengurus Rumah. Lalu mengalirlah obrolan tentang
bilangan ukuran sepatu si Pengurus Rumah: berapa faktorialnya, bagaimana
bilangan itu berhubungan dengan teori mengenai bilangan asli dan bilangan
prima. Tapi anehnya, si pengurus rumah yang baru, selalu antusias jika sang
Profesor mengajaknya mengobrol tentang matematika. Dan hubungan keduanya pun
berkembang menjadi lebih dari sekadar pengurus rumah dan majikan. Dengan cara yang
aneh, keduanya menjadi sahabat, menjadi seperti orang tua dan anak, menjadi apa
pun yang bisa terasa hangat dan berarti.
The Housekeeper & The
Professor adalah kisah yang hangat dan
menghangatkan hati. Nuansa ‘Drama Jepang’-nya sangat terasa sejak kalimat
pertama: lembut, sabar, adegan-adegannya filmis dan kuat. Tidak heran jika
akhirnya buku ini diadaptasi menjadi film. Meski nilai matematika saya tidak
pernah buruk-buruk amat, selama bersekolah, saya tidak pernah merasa matematika
bisa seberarti dan sefilosofis ini. Sewaktu SMA, saya berpikir, seharusnya anak
sekolah hanya belajar dasar-dasar matematika yang bisa mereka terapkan dalam
kehidupan sehari-hari—agar tidak mudah dibodohi pedagang-pedagang di pasar,
agar tidak keliru menghitung kembalian setelah belanja di warung, agar bisa
merencanakan belanja bulanan yang antiboros sehingga bisa menjadi menantu
kesayangan mertua.
“Kebenaran abadi jelas tidak kasatmata, dan kau tak akan menemukan itu dalam hal-hal material atau fenomena alam, atau bahkan dalam emosi manusia. Namun, matematika, bisa menerangi mereka, bisa memberi mereka ekspresi….”
(Sang Profesor kepada si pengurus rumah: halaman 161)
Meski
ingatan saya bagus dan saya lumayan pandai menghafalkan angka atau teori atau
definisi apa pun, saat masih sekolah, saya tidak mengerti kenapa saya harus
menghafalkan definisi berbagai jenis bilangan dan mana saja yang tergolong
bilangan jenis yang mana. Dan yang paling tidak bisa saya pahami adalah,
bagaimana guru-guru matematika saya bisa mendapat gelar sarjana pendidikan
matematika. Bagaimana bisa ada orang yang bisa begitu mencintai matematika?
Kenapa di dunia ini ada orang yang rela menghabiskan empat tahun kehidupannya
untuk menyusut deret bilangan untuk mendapatkan hasil tertentu dari sejumlah
operasi aritmatika yang rumit? Membaca buku ini, saya jadi iri pada si pengurus
rumah. Andai saja guru matematika saya saat SMP atau SMA seperti sang Profesor,
mungkin saya bisa tumbuh menjadi remaja yang lebih baik dan pemberani. Lebih
pemimpi dan gila dan keren.
…isi buku-buku itu sepertinya di luar pemahaman manusia. Halaman demi halaman perhitungan kompleks yang tak dapat dimengerti mungkin mengandung rahasia alam semesta, disalin dari buku catatan Tuhan (halaman 173).
Menyimak
obrolan sang Profesor dan Pengurus Rumah, saya mendapati diri saya mencari-cari
kertas bekas dan pulpen, dan ikut menemani Pengurus Rumah memecahkan soal-soal
matematika yang diberikan sang Profesor.
Aku ingin tahu mengapa kata-kata biasa bisa terdengar begitu eksotis saat digunakan berkaitan dengan angka-angka. Istilah bilangan-bilangan bersahabat atau bilangan-bilangan prima kembar memancarkan kualitas tertentu tentang diri mereka sendiri, tetapi mereka terdengar bagaikan dikutip langsung dari sebuah puisi. Dalam benakku, bilangan-bilangan kembar itu mengenakan pakaian serasi, berdiri sambil bergandengan tangan saat menunggu di antrean angka (halaman 89).
Saya
tidak pernah suka disebut cengeng, tapi saya tidak bisa menahan air mata saya
menitik saat membaca buku ini. Dengan adegan-adegan yang tampak sederhana, dan
dialog yang yang sama sederhananya, Yoko Ogawa menghadirkan cerita yang
menyentuh tanpa berusaha keras bercerita dengan dengan narasi-narasi yang didaktik.
Hubungan sang Profesor dengan Pengurus Rumah dan anak lelakinya yang berusia
sepuluh tahun mengalir dengan alami. Segalanya terasa tidak mudah pada awalnya.
Pengurus Rumah harus beradaptasi dengan tabiat sang Profesor yang tidak bisa
diganggu jika sedang berpikir. Juga dengan kebiasaan sang Profesor yang
menanyakan hal yang sama setiap pagi ketika Pengurus Rumah datang. Saya
menyukai Pengurus Rumah yang sabar dan tulus. Saya menyukai Root, putra
Pengurus Rumah yang perlahan menyayangi sang Profesor layaknya kakeknya
sendiri. Dan tentu saja, tidak bisa tidak, saya juga ikut menyayangi sang
Profesor yang bijaksana dan tidak pernah gengsi mengakui ketidaktahuannya akan
suatu hal jika dia benar-benar tidak tahu. Sang jenius yang akan merasa panik
saat berada di keramaian, dengan pakaiannya yang lusuh dan ditempeli berbagai macam
kertas memo untuk mengingatkannya pada hal-hal penting.
Catatan sang Profesor yang paling penting—tulisan yang berbunyi “Ingatanku hanya bertahan selama delapan puluh menit”—hampir terlepas, dan aku mengulurkan tangan untuk membenarkan klipnya (halaman 65).
The Housekeeper & The
Professor adalah kisah yang lembut dan
melembutkan hati, tentang bagaimana kasih sayang melampaui segala batas dan
keterbatasan. Cerita ini akan membuatmu mengambil jeda sesaat untuk berdialog
dengan dirimu sendiri, merenungi lagi hidupmu: sudahkah kau menghabiskan waktu
dengan orang-orang terdekat dan tersayang sebelum segalanya tak bisa lagi
berjalan sebagaimana yang kau inginkan? Sudahkah kau mengasihi dengan cara yang
semestinya?
Dan pada
akhirnya, saya menyukai akhir cerita ini. Yah, ternyata saya bukan jenis
penyuka cerita yang berakhir sedih. Jadi, tentu saja, 4.5 bintang untuk cerita
yang sangat menyentuh ini.
No comments:
Post a Comment