Pages

Thursday, July 26, 2018

Sebuah Kisah yang Lembut & Melembutkan Hati tentang Profesor Matematika & Pengurus Rumahnya

Judul buku: The Housekeeper & TheProfessor
Penulis: Yoko Ogawa
Halaman: Paperback, 252 halaman
Penerbit: Qanita
Tahun terbit: 1 Maret 2016 (diterbitkan pertama kali tahun 2003)
ISBN13: 9786021637906
Di antara tak terhingga hal yang aku dan anakku pelajari dari sang Profesor, arti akar kuadrat adalah salah satu yang terpenting. Tidak diragukan lagi, dia pasti kesal oleh penggunaan tak terhingga yang kugunakan—terlalu ceroboh, karena dia percaya bahwa asal mula jagad raya ini bisa dijelaskan dengan bahasa angka yang eksak—tetapi aku tak tahu bagaimana lagi mengungkapkannya. Dia mengajari kami tentang bilangan-bilangan prima yang jumlahnya telah melebihi seratus ribu, dan bilangan terbesar di antara semuanya, yang digunakan dalam pemecahan-pemecahan soal matematika dan dimuat dalam Guinness Book of Records, serta ide tentang sesuatu yang lebih besar daripada tak terhingga (halaman 5 – 6).

Seorang pengurus rumah baru bekerja di rumah sang Profesor. Sebelumnya, sudah Sembilan pengurus rumah yang mengundurkan diri dari pekerjaan itu. Sang Profesor adalah ahli matematika jenius yang, akibat sebuah kecelakaan belasan tahun sebelumnya, ia kehilangan kemampuan untuk mengingat dengan normal. Ingatan sang Profesor berhenti di tahun 1975. Setelah kecelakaan yang menimpanya, dia hanya sanggup mengingat peristiwa yang terjadi selama delapan puluh menit terakhir. Karena kecintaannya terhadap matematika, sang Profesor hanya membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan matematika. Itu juga terjadi ketika dia pertama kali bertemu si pengurus rumah yang baru. Alih-alih menanyakan namanya, sang Profesor menanyakan nomor sepatu si Pengurus Rumah. Lalu mengalirlah obrolan tentang bilangan ukuran sepatu si Pengurus Rumah: berapa faktorialnya, bagaimana bilangan itu berhubungan dengan teori mengenai bilangan asli dan bilangan prima. Tapi anehnya, si pengurus rumah yang baru, selalu antusias jika sang Profesor mengajaknya mengobrol tentang matematika. Dan hubungan keduanya pun berkembang menjadi lebih dari sekadar pengurus rumah dan majikan. Dengan cara yang aneh, keduanya menjadi sahabat, menjadi seperti orang tua dan anak, menjadi apa pun yang bisa terasa hangat dan berarti.
The Housekeeper & The Professor adalah kisah yang hangat dan menghangatkan hati. Nuansa ‘Drama Jepang’-nya sangat terasa sejak kalimat pertama: lembut, sabar, adegan-adegannya filmis dan kuat. Tidak heran jika akhirnya buku ini diadaptasi menjadi film. Meski nilai matematika saya tidak pernah buruk-buruk amat, selama bersekolah, saya tidak pernah merasa matematika bisa seberarti dan sefilosofis ini. Sewaktu SMA, saya berpikir, seharusnya anak sekolah hanya belajar dasar-dasar matematika yang bisa mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari—agar tidak mudah dibodohi pedagang-pedagang di pasar, agar tidak keliru menghitung kembalian setelah belanja di warung, agar bisa merencanakan belanja bulanan yang antiboros sehingga bisa menjadi menantu kesayangan mertua.
“Kebenaran abadi jelas tidak kasatmata, dan kau tak akan menemukan itu dalam hal-hal material atau fenomena alam, atau bahkan dalam emosi manusia. Namun, matematika, bisa menerangi mereka, bisa memberi mereka ekspresi….”

(Sang Profesor kepada si pengurus rumah: halaman 161)
Meski ingatan saya bagus dan saya lumayan pandai menghafalkan angka atau teori atau definisi apa pun, saat masih sekolah, saya tidak mengerti kenapa saya harus menghafalkan definisi berbagai jenis bilangan dan mana saja yang tergolong bilangan jenis yang mana. Dan yang paling tidak bisa saya pahami adalah, bagaimana guru-guru matematika saya bisa mendapat gelar sarjana pendidikan matematika. Bagaimana bisa ada orang yang bisa begitu mencintai matematika? Kenapa di dunia ini ada orang yang rela menghabiskan empat tahun kehidupannya untuk menyusut deret bilangan untuk mendapatkan hasil tertentu dari sejumlah operasi aritmatika yang rumit? Membaca buku ini, saya jadi iri pada si pengurus rumah. Andai saja guru matematika saya saat SMP atau SMA seperti sang Profesor, mungkin saya bisa tumbuh menjadi remaja yang lebih baik dan pemberani. Lebih pemimpi dan gila dan keren.
…isi buku-buku itu sepertinya di luar pemahaman manusia. Halaman demi halaman perhitungan kompleks yang tak dapat dimengerti mungkin mengandung rahasia alam semesta, disalin dari buku catatan Tuhan (halaman 173).
Menyimak obrolan sang Profesor dan Pengurus Rumah, saya mendapati diri saya mencari-cari kertas bekas dan pulpen, dan ikut menemani Pengurus Rumah memecahkan soal-soal matematika yang diberikan sang Profesor.
Aku ingin tahu mengapa kata-kata biasa bisa terdengar begitu eksotis saat digunakan berkaitan dengan angka-angka. Istilah bilangan-bilangan bersahabat atau bilangan-bilangan prima kembar memancarkan kualitas tertentu tentang diri mereka sendiri, tetapi mereka terdengar bagaikan dikutip langsung dari sebuah puisi. Dalam benakku, bilangan-bilangan kembar itu mengenakan pakaian serasi, berdiri sambil bergandengan tangan saat menunggu di antrean angka (halaman 89).
Saya tidak pernah suka disebut cengeng, tapi saya tidak bisa menahan air mata saya menitik saat membaca buku ini. Dengan adegan-adegan yang tampak sederhana, dan dialog yang yang sama sederhananya, Yoko Ogawa menghadirkan cerita yang menyentuh tanpa berusaha keras bercerita dengan dengan narasi-narasi yang didaktik. Hubungan sang Profesor dengan Pengurus Rumah dan anak lelakinya yang berusia sepuluh tahun mengalir dengan alami. Segalanya terasa tidak mudah pada awalnya. Pengurus Rumah harus beradaptasi dengan tabiat sang Profesor yang tidak bisa diganggu jika sedang berpikir. Juga dengan kebiasaan sang Profesor yang menanyakan hal yang sama setiap pagi ketika Pengurus Rumah datang. Saya menyukai Pengurus Rumah yang sabar dan tulus. Saya menyukai Root, putra Pengurus Rumah yang perlahan menyayangi sang Profesor layaknya kakeknya sendiri. Dan tentu saja, tidak bisa tidak, saya juga ikut menyayangi sang Profesor yang bijaksana dan tidak pernah gengsi mengakui ketidaktahuannya akan suatu hal jika dia benar-benar tidak tahu. Sang jenius yang akan merasa panik saat berada di keramaian, dengan pakaiannya yang lusuh dan ditempeli berbagai macam kertas memo untuk mengingatkannya pada hal-hal penting.
Catatan sang Profesor yang paling penting—tulisan yang berbunyi “Ingatanku hanya  bertahan selama delapan puluh menit”—hampir terlepas, dan aku mengulurkan tangan untuk membenarkan klipnya (halaman 65).
The Housekeeper & The Professor adalah kisah yang lembut dan melembutkan hati, tentang bagaimana kasih sayang melampaui segala batas dan keterbatasan. Cerita ini akan membuatmu mengambil jeda sesaat untuk berdialog dengan dirimu sendiri, merenungi lagi hidupmu: sudahkah kau menghabiskan waktu dengan orang-orang terdekat dan tersayang sebelum segalanya tak bisa lagi berjalan sebagaimana yang kau inginkan? Sudahkah kau mengasihi dengan cara yang semestinya?
Dan pada akhirnya, saya menyukai akhir cerita ini. Yah, ternyata saya bukan jenis penyuka cerita yang berakhir sedih. Jadi, tentu saja, 4.5 bintang untuk cerita yang sangat menyentuh ini.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...