Pages

Sunday, June 26, 2016

Kisah Musim Panas Empat Pembohong & Tragedi Menghancurkan yang Benar-Benar Salah

Judul buku: We Were Liars
Jumlah halaman: 240 halaman ebook
Penulis: E. Lockhart
Penerbit: Random House
Tahun terbit: 31 Desember 2012
ISBN: 0385390092 (ISBN13: 9780385390095)
Penghargaan: Georgia Peach Book Award (2015), Milwaukee County Teen Book Award Nominee (2015), The Inky Awards Nominee for Silver Inky (2015), Bookworm Best Award for Best Fiction (2014)

Welcome to the beautiful Sinclair family.
No one is a criminal.
No one is an addict.
No one is a failure.
The Sinclairs are athletic, tall, and handsome. We are old-money Democrats. Our smiles are wide, our chins square, our tennis serves aggressive.

We are Sinclairs.
No one is needy.
No one is wrong.
We live, at least in summertime, on a private island off the coast of Massachusetts.
Perhaps that is all you need to know.

 Ingatan Cadence Sinclair Eastmen terhenti di musim panas kelima belas kehidupannya. Di musim panas ketujuh belas, ketika dia akhirnya kembali ke Beechwood--pulau pribadi milik kakeknya, Harris Sinclair, Cady mencoba mengingat lagi apa yang sudah hilang dari ingatannya di dua musim panas terakhir. Tapi upaya Cady tidak semudah yang semestinya. Karena ingatan itu memaksanya untuk melihat lagi tragedi paling mengerikan dalam hidupnya. Sesuatu yang teramat tragis untuk keluarga sesempurna The Sinclair.
We Were Liars adalah cerita tentang The Four Liars (Three of Sinclair + 1 relative of Sinclair): Cadence, Johnny, Mirren, Gat. Mereka bersahabat sejak kecil, dan bertemu setahun sekali di pulau pribadi Harris Sinclair, di setiap musim panas. Mereka menjalani hidup layaknya remaja kebanyakan: bersenang-senang dengan segala macam cara yang bisa mereka lakukan. Mengobrolkan masa depan, jatuh cinta, membaca buku, mempertanyakan hal-hal besar tentang hidup. Sementara itu, orang tua mereka sibuk menambal kerusakan dalam kehidupan mereka dan memperebutkan harta keluarga. Pada suatu ketika, The Four Liars menapaki titik jenuh mulai merasa jijik pada situasi yang mereka hadapi. Lalu sebuah pemberontakan pun tercetus, mengguncang keluarga Sinclair.
Sejak awal, We Were Liars sudah menstimulasi pembacanya untuk mengendus adanya ketidakberesan. Setiap babnya disajikan pendek-pendek, dalam narasi yang singkat dan lugas. Sehingga cerita ini sangat mudah dinikmati. Meski tidak mudah untuk megendalikan rasa penasaran tentang kejadian yang sedang ingin diceritakan Cady. We Were Liars dipenuhi hal-hal seputar gaya hidup aristokratik yang sangat detil. Pulau pribadi. Resort mewah yang tidak hanya satu. Kapal pesiar. Patung mahal. Lukisan mahal. Segala yang mahal. Benar-benar fairytale-like story Sehingga lembar demi lembarnya adalah  usaha untuk menunggu-nunggu sebuah ledakan besar. Ditambah lagi, E.Lockhart bercerita dengan langgam yang unik. Sesuatu yang sama sekali baru bagi saya. Saya terkesan dengan analogi tidak biasa yang dipilih Lockhart. Bagaimana Cady menganalogikan orang-orang penting dalam hidupnya dengan kata sifat dan dan kata benda dan hal-hal tidak dipikirkan semua orang untuk dipadankan dengan seseorang.
He was contemplation and ambition. Ambition and strong coffee. 
Lockhart menuliskan Cady dengan sangat cermat. Saya bisa dengan mudah bersimpati pada Cady dan terkadang, mereasa bisa berempati kepadanya. Pada keinginan Cady untuk mengingat sekaligus tidak mengingat tragedi yang menjadi penyebab migrain kronisnya. Pada cara Cady yang terkadang bercerita dengan cara yang membingungkan dan terasa ragu-ragu. Semua isyarat itu perlahan-lahan mengantarkan saya pada pemahaman mengenai emosi-emosi terpendam Cady.
Pertengahan cerita berjalan dengan sangat lamban dan cukup melelahkan untuk diikuti. Tapi misteri yang ingin diungkap Cady membuat saya bertahan untuk menunggu. Rasanya seperti menyusun puzzle dari beberapa pola yang mirip. Saya menduga-duga dengan teknik mencocokkan setiap keping puzzle pada setiap pola yang mungkin. Mengapa semua anggota keluarga Sinclair menyembunyikan jawaban dari pertanyaan Cady: Apa yang terjadi? Mengapa aku tidak bisa mengingat apa pun? Bagaimana aku bisa berakhir seperti ini? Mengapa ketiga Liars selain Cady bersikap aneh menjelang akhir cerita. Mengapa. Mengapa. Mengapa. Dan akhirnya, penantian saya terbayar. Kebenaran yang disembunyikan Cady adalah keping puzzle yang tidak cocok dengan pola mana pun. Itu benar-benar sebuah tragedi. Sebuah ledakan besar. Sebuah lubang hitam yang menghisap seluruh stok kebahagiaan sampai tak tersisa. Sebuah luka yag akan berdarah dalam waktu yang tidak bisa diduga siapa pun.
Dalam beberapa hal, bagi saya, Keluarga Sinclair adalah keluarga yang mengesankan sekaligus menakutkan. Mereka tidak saja mewariskan kekayaan, tetapi juga martabat yang tinggi, harga diri yang sukar digoyahkan, dan kerapuhan tak terbayangkan. Hal itu tidak saja tercermin dalam moto yang selalu didengungkan Harris Sinclair kepada putri-putri dan cucu-cucunya yang rupawan. Melainkan juga pada bagaimana keluarga Sinclair menyikapi tragedi menghancurkan yang menimpa keluarga mereka.
Don't take no for an answer. Never take a seat in the back of the room. Winners sit up front. Be decisive. No one likes a waffler. Never complain, never explain. 
Saya menyukai karakter-karakter yang diciptakan Lockhart. Harris Sinclair yang keras hati sekaligus lembut. Gat yang muda dan penuh rasa ingin tahu dan berpikiran besar. Johnny yang menyebalkan sekaligus charming dan cerdas. Mirren yang selalu blak-blakan dengan cara menyebalkan tapi penyayang. Saya menyayangkan apa yang terjadi pada Cady. Saya membayangkan hal-hal besar yang bisa dilakukan The Liars di masa depan. Mereka bisa menjadi mahasiswa cemerlang di universitas ternama dan melakukan sesuatu yang signifikan untuk dunia. We Were Liars membuat saya patah hati bersama Cady. Rasanya, apa yang menimpa Keluarga Sinclair adalah sesuatu yang benar-benar salah.
We Were Liars bukan sekadar kisah tentang disfungsi keluarga. Ini juga cerita tentang penerimaan, dan upaya seorang gadis remaja memenangkan pertentangan dengan dirinya sendiri. Bagaimana ia menyembuhkan sisi dirinya yang satu, dan berdama lalu memaafkan sisi dirinya yang lain. Tiga setengah bintang untuk kisah yang meremukkan hati ini.
Pic's credit is here

6 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...