Judul Buku: The Girl on The
Train
Halaman: Paperback, 440 pages
Penulis: Paula Hawkins
Penerbit: Noura Books
Tahun terbit: September 4th 2015
ISBN: 6020989976 (ISBN13: 9786020989976)
Penghargaan: Audie Award for
Audiobook of the Year (2016), Goodreads Choice
Award for Mystery & Thriller (2015), Waterstones Book
of the Year Nominee (2015), Woman & Home
Reader's Choice Award for Best Thriller Of The Year (2016)
Rachel, single-cerai, tidak punya anak, tidak punya rumah, tidak punya
pekerjaan. Setiap hari dia menaiki kereta menuju London Tengah, hanya untuk
menghabiskan waktu. Sesekali dia akan mampir ke rumah mantan suaminya (yang
sudah menikah), untuk sekadar mencari kesibukan. Mengetuk pintu, memanjat pagar
halaman belakang, meletakkan surat dalam kotak pos, bermaksud menemui suaminya
untuk mengatakan hal-hal yang dipikirkannya. Dalam perjalanan kereta itu,
Rachel menyimpan satu hal favoritnya: mengawasi sepasang suami istri yang
(dalam kepalanya) bernama Jess dan Jason. Keduanya tampan dan cantik. Tampak serasi.
Terlihat harmonis dan
romantis. Sangat mengingatkan Rachel pada kehidupannya
dengan Tom, mantan suaminya, dulu. Rachel juga memiliki fantasinya sendiri
ketika Jess dan Jason tidak terlihat di halaman atau tidak tertangkap jangkauan
pandangannya saat keretanya melintasi rumah mereka. Lalu suatu hari, Rachel
membaca kabar hilangnya Jess (yang
ternyata bernama Megan), di surat kabar. Waktu menghilangnya Megan adalah waktu
yang sama dengan ketika Rachel pulang dari menemui Tom (yang rumahnya terletak
tidak begitu jauh dari rumah Megan), dan kepalanya terluka parah. Ironisnya,
Rachel tidak bisa mengingat apa yang sudah terjadi. Seolah satu momen penting
sengaja dihapus dari pita ingatannya. Ketika akhirnya polisi menginterogasi
Rachel, dia pun melihat peluang itu sebagai upaya
mencari kesibukan. Pengalih perhatian.
Rachel menemukan lagi sebuah tujuan hidup. Kesempatan untuk merasa
berarti dan dibutuhkan.
Setelah hype Gone Girl karya
Gillian Flynn di Indonesia, dan tiba-tiba buku ini muncul, public ramai
beropini mengenai kemiripan keduanya. Setelah menyelesaikan The
Girl on The Train, saya akhirnya mengerti, kenapa kedua buku ini kerap
dibandingkan satu sama lain. Meski secara personal saya lebih menyukai nuansa noir versi Gone Girl, namun, saya
juga tidak bisa menampik pesona khas The Girl On The Train. Paula Hawkins
mengetengahkan tokoh-tokoh rekaannya dalam intensitas tinggi. Begitu detail dan
dalam. Sehingga saya bisa merasakan sensasi hidrofobik
akibat menyelam terlalu dalam ke dasar emosi tokoh-tokoh tertentu—terutama Rachel.
Aku takut, tapi tidak yakin apa yang kutakutkan, dan ini malah mempertajam ketakutan itu. Aku bahkan tidak tahu apakah ada sesuatu yang harus ditakuti. Aku memandang ke sekeliling kamar. Ponselku tidak berada di meja di samping ranjang. Tas tanganku tidak berada di lantai, tidak menggantung di punggung kursi, tempatku biasa meninggalkannya (halaman 51).
Pesona The Girl on The Train lainnya
adalah, tokoh-tokohnya yang tidak bisa dipercaya. Semua tokoh tampak bersalah. Tapi
semuanya memiliki pembenarannya masing-masing. Lucunya, saya bahkan meragukan
spekulasi yang sudah saya bangun sendiri—tentang apa yang sebenarnya terjadi:
mungkinkah Rachel bersalah, patutkah suami Megan dicurigai, dan seterusnya. Tokoh-tokoh
yang hadir pun sangat realistis, penuh cacat-cela, salah dan benar pada saat
yang bersamaan. Saya benci mereka, tapi saya bisa bersimpati dengan tindakan
yang mereka ambil. Saya sedikit menyukai mereka, tapi lalu membencinya tidak
lama kemudian. Sehingga, meski cerita bergerak begitu lamban di dua per tiga
bagian awal, saya tetap tidak bisa meninggalkan buku ini. Teka-teki lantas terkuak
secara perlahan di sepertiga bagian akhir. Tepat ketika saya sudah cukup
mengenali semua tokoh-tokoh yang dihadirkan Paula. Saya kesal, karena baru bisa
menebak pelaku kekacauan di
lembar-lembar terakhir. Ini jelas salah penulisnya, ‘kan? (Hahaha).
Jika dikonversi ke dalam
bentuk grafik garis, plot The Girl on The Train ibarat garis
yang naik-turun dalam jeda yang cukup rapat. Oke, jadi dia penjahatnya! Bukan, tunggu dulu! Rachel mencurigakan.
Tidak, Rachel bukan jenis orang yang
seperti itu. Kata siapa? Kalau dia pernah memukulkan tongkat golf pada
suaminya, dia bisa memukulkan tongkat logam ke kepala Megan! Tapi suami Megan juga mencurigakan. Tidak,
dia sangat mencintai istrinya. Pasti ulah psikiaternya. Omong kosong! Pendengar yang sabar dan lelaki yang bersikap lembut
tidak mungkin …. Begitulah. Saya menikmati gejolak emosi saya sendiri ketika
membalik halaman demi halaman buku ini. Mendengarkan diri saya bertengkar
dengan diri saya sendiri.
The Girl on The Train
adalah kisah thriller yang membungkus
nilai-nilai yang begitu dekat dengan kita dan reflektif. Beranjak dari cinta
lama. Mencari nilai keberartian diri sendiri. Kekuatan diri sendiri untuk
mengubah situasi. Serta keberanian untuk menemukan kebenaran pahit. Di atas
segalanya, saya menyukai akhir cerita ini. Sangat solutif. Saya menyukai gagasan Paula Hawkins yang membetulkan
kekacauan dalam hidup Rachel, dengan kekacauan yang lain. Saya semilyar persen
yakin, semua tokoh utama membutuhkan hal semacam itu dalam hidup mereka. Terutama,
untuk sebuah akhir.
Keren reviewnya :D makasih sharingnya :)
ReplyDeleteMakasiih, Hana ^_^
DeleteCukup membantu, thanks...
ReplyDeleteYou're welcome :)
Delete