Pages

Friday, January 06, 2017

Rachel & Kekacauan yang Membetulkan Kekacauan Hidupnya


Halaman: Paperback, 440 pages
Penulis: Paula Hawkins
Penerbit: Noura Books
Tahun terbit: September 4th 2015
ISBN: 6020989976 (ISBN13: 9786020989976)
Rachel, single-cerai, tidak punya anak, tidak punya rumah, tidak punya pekerjaan. Setiap hari dia menaiki kereta menuju London Tengah, hanya untuk menghabiskan waktu. Sesekali dia akan mampir ke rumah mantan suaminya (yang sudah menikah), untuk sekadar mencari kesibukan. Mengetuk pintu, memanjat pagar halaman belakang, meletakkan surat dalam kotak pos, bermaksud menemui suaminya untuk mengatakan hal-hal yang dipikirkannya. Dalam perjalanan kereta itu, Rachel menyimpan satu hal favoritnya: mengawasi sepasang suami istri yang (dalam kepalanya) bernama Jess dan Jason. Keduanya tampan dan cantik. Tampak serasi. Terlihat harmonis dan
romantis. Sangat mengingatkan Rachel pada kehidupannya dengan Tom, mantan suaminya, dulu. Rachel juga memiliki fantasinya sendiri ketika Jess dan Jason tidak terlihat di halaman atau tidak tertangkap jangkauan pandangannya saat keretanya melintasi rumah mereka. Lalu suatu hari, Rachel membaca kabar hilangnya Jess (yang ternyata bernama Megan), di surat kabar. Waktu menghilangnya Megan adalah waktu yang sama dengan ketika Rachel pulang dari menemui Tom (yang rumahnya terletak tidak begitu jauh dari rumah Megan), dan kepalanya terluka parah. Ironisnya, Rachel tidak bisa mengingat apa yang sudah terjadi. Seolah satu momen penting sengaja dihapus dari pita ingatannya. Ketika akhirnya polisi menginterogasi Rachel, dia pun melihat peluang itu sebagai upaya mencari kesibukan. Pengalih perhatian.  Rachel menemukan lagi sebuah tujuan hidup. Kesempatan untuk merasa berarti dan dibutuhkan.
Setelah hype Gone Girl karya Gillian Flynn di Indonesia, dan tiba-tiba buku ini muncul, public ramai beropini mengenai kemiripan keduanya. Setelah menyelesaikan The Girl on The Train, saya akhirnya mengerti, kenapa kedua buku ini kerap dibandingkan satu sama lain. Meski secara personal saya lebih menyukai nuansa noir versi Gone Girl, namun, saya juga tidak bisa menampik pesona khas The Girl On The Train. Paula Hawkins mengetengahkan tokoh-tokoh rekaannya dalam intensitas tinggi. Begitu detail dan dalam. Sehingga saya bisa merasakan sensasi hidrofobik akibat menyelam terlalu dalam ke dasar emosi tokoh-tokoh tertentu—terutama Rachel.
Aku takut, tapi tidak yakin apa yang kutakutkan, dan ini malah mempertajam ketakutan itu. Aku bahkan tidak tahu apakah ada sesuatu yang harus ditakuti. Aku memandang ke sekeliling kamar. Ponselku tidak berada di meja di samping  ranjang. Tas tanganku tidak berada di lantai, tidak menggantung di punggung kursi, tempatku biasa meninggalkannya (halaman 51).
Pesona The Girl on The Train lainnya adalah, tokoh-tokohnya yang tidak bisa dipercaya. Semua tokoh tampak bersalah. Tapi semuanya memiliki pembenarannya masing-masing. Lucunya, saya bahkan meragukan spekulasi yang sudah saya bangun sendiri—tentang apa yang sebenarnya terjadi: mungkinkah Rachel bersalah, patutkah suami Megan dicurigai, dan seterusnya. Tokoh-tokoh yang hadir pun sangat realistis, penuh cacat-cela, salah dan benar pada saat yang bersamaan. Saya benci mereka, tapi saya bisa bersimpati dengan tindakan yang mereka ambil. Saya sedikit menyukai mereka, tapi lalu membencinya tidak lama kemudian. Sehingga, meski cerita bergerak begitu lamban di dua per tiga bagian awal, saya tetap tidak bisa meninggalkan buku ini. Teka-teki lantas terkuak secara perlahan di sepertiga bagian akhir. Tepat ketika saya sudah cukup mengenali semua tokoh-tokoh yang dihadirkan Paula. Saya kesal, karena baru bisa menebak pelaku kekacauan di lembar-lembar terakhir. Ini jelas salah penulisnya, ‘kan? (Hahaha).
Jika dikonversi ke dalam bentuk grafik garis, plot The Girl on The Train ibarat garis yang naik-turun dalam jeda yang cukup rapat. Oke, jadi dia penjahatnya! Bukan, tunggu dulu! Rachel mencurigakan. Tidak, Rachel bukan jenis orang yang seperti itu. Kata siapa? Kalau dia pernah memukulkan tongkat golf pada suaminya, dia bisa memukulkan tongkat logam ke kepala Megan! Tapi suami Megan juga mencurigakan. Tidak, dia sangat mencintai istrinya. Pasti ulah psikiaternya. Omong kosong! Pendengar yang sabar dan lelaki yang bersikap lembut tidak mungkin …. Begitulah. Saya menikmati gejolak emosi saya sendiri ketika membalik halaman demi halaman buku ini. Mendengarkan diri saya bertengkar dengan diri saya sendiri.
The Girl on The Train adalah kisah thriller yang membungkus nilai-nilai yang begitu dekat dengan kita dan reflektif. Beranjak dari cinta lama. Mencari nilai keberartian diri sendiri. Kekuatan diri sendiri untuk mengubah situasi. Serta keberanian untuk menemukan kebenaran pahit. Di atas segalanya, saya menyukai akhir cerita ini. Sangat solutif. Saya menyukai gagasan Paula Hawkins yang membetulkan kekacauan dalam hidup Rachel, dengan kekacauan yang lain. Saya semilyar persen yakin, semua tokoh utama membutuhkan hal semacam itu dalam hidup mereka. Terutama, untuk sebuah akhir. 

4 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...