Judul
buku: Maneken
Jumlah
halaman: 181 halaman
Penerbit:
Republika
Tahun
terbit: 23 September 2015
ISBN13:
9786029474060
Kompleksitas
manusia tampaknya akan terus menjadi obyek pengamatan yang menarik perhatian
banyak orang. Disajikan dalam begitu banyak medium dan ragam ungkapan. Lukisan.
Sketsa. Warna. Jurnal ilmiah. Buku-buku psikologi. Lagu. Puisi. Kisah-kisah. Novel
sepanjang kurang dari dua ratus halaman ini berupaya merekam ketakterdugaan
yang menghuni jiwa manusia melalui sudut pandang benda. Disajikan dengan unik,
Maneken bercerita dari sudut pandang sepasang boneka maneken—yang saling jatuh
cinta—di sebuah butik di Inggris.
Pada akhirnya aku mengetahui bahwa sebenarnya manusa tak cuma tercipta dari segumpal darah saja. Lebih dari itu, manusia juga tercipta dari kumparan ego paling murni yang bisa-bisa tak tertahankan (Fereli: 171).
Sophie Claudia Fleur,
seorang gadis cerdas dan ambisius, pengelola butik Medilon Shakespeare,
menciptakan sepasang maneken yang adalah replika dirinya dan kekasihnya, Bailey
Fereli. Kedua maneken itu pun dinamai dengan nama keduanya: Claudia dan Fereli.
Pertemuan canggung dan tak menyenangkan mengawali perkenalan maneken Claudia
dan Fereli. Namun, kesabaran Fereli dan hal-hal menarik yang dikatakannya pada
Claudia mencairkan kebekuan Claudia. Menjadi bintang etalase utama yang
dipajang di bagian terdepan dari Medilon Shakespeare, memungkinkan keduanya
untuk mengamati sekeliling mereka. Orang-orang yang berlalu lalang, dan
orang-orang yang mengunjungi sebuah kafe yang tak jauh dari sana. Pengamatan
Claudia dan Fereli atas manusia melahirkan perenungan-perenungan bendawi yang
makin mengakrabkan keduanya. Lalu Claudia pun jatuh cinta kepada Fereli. Lalu
Sophie patah hati kepada Bailey Fereli. Maneken Fereli kemudian menjadi sasaran
kemarahan Sophie. Claudia pun dipisahkan dari Fereli, tak lama setelah cinta mereka
merekat erat.
Cerita ini
dengan serta merta mengingatkan saya pada buku karangan Jostein Gaardner, Cecilia
& Malaikat Ariel. Meski tidak sedalam kontemplasi Jostein Gaardner
dalam buku tersebut, Maneken adalah buku yang ditulis dengan
semangat kontemplatif yang cukup kental, saya kira. Sehingga Maneken tak sekadar tampil sebagai kisah
cinta antarsepasang boneka.
Jangan sekali-kali menyatakan diri sebagai entitas yang paling malang di muka bumi. Pernah mendengar ungkapan ‘Engkau adalah bidadari suci dari kayangan dengan mahkota cahaya, sedangkan aku gelandangan dari perkumuhan jorok dengan sandal bunting dan jeblok’? (Fereli: 99).
Dikisahkan dengan gaya
bertutur puitis yang khas, saya cukup menikmati Maneken. Meski di beberapa bagian saya
menemukan penggunaan kata yang terasa aneh
bagi saya, dan gaya dialog Fereli dan Claudia yang terasa kaku dan tidak
natural di beberapa bagian. Tapi saya tetap bisa menikmati percakapan Fereli dan
Claudia yang mencoba menyibak misteri manusia. Keluguan mereka yang mengklasifikasikan
manusia ke dalam empat tipe: tipe pemerhati, tipe curi-curi, tipe lurus, dan
tipe Capulatte.
Tingkat kesulitan menuliskan
novel semacam ini, saya kira, terletak pada upaya penulisnya untuk membuatnya
tidak terkesan menggurui dan membosankan untuk diikuti. Terlebih jika
mengingat, tokoh sentral dalam Maneken adalah sepasang boneka—benda mati—yang
nyaris tidak bergerak, sehingga mereka hanya memiliki daya jangkau pandang yang
sempit dan daya nalar yang teramat sangat terbatas tentang hal-hal di sekelilingnya.
Karakter-karakternya juga haruslah menyenangkan dan kuat sehingga pembaca tidak
rela mengalihkan sedetik saja pandangan dari mereka. Sayangnya, saya hampir tidak
memiliki karakter favorit dalam buku ini. Kecuali, Fereli. Maneken ini
berpembawaan menyenangkan. Ia ramah, dewasa, bijaksana, dan mengetahui banyak
hal. Sangat bertolak belakang dengan Claudia—yang merupakan narator di separuh bagian
awal buku—yang tampil sinis, berprasangka negatif, dan sempit hati. Saya cukup
menyukai Sophie, sebenarnya. Dia gadis ambisius yang tangguh dan sangat tahu
apa yang dia lakukan. Saya terkejut dengan sikap buruknya—yang tanpa isyarat
awal—di pertengahan buku. Tapi saya menyukai cara penulis membuat Sophie tampak
sangat manusiawi. Seolah hendak menegaskan, tak
ada protagonis murni di dunia ini. Selagi
kau manusia, kau akan selalu memiliki sisi hitam.
Maneken tampil dengan pace yang teramat lambat di awal. Nyaris terasa membosankan, andai
saja saya tidak cukup penasaran dengan akhir kisah cinta antara Fereli dan
Claudia. Cerita mulai terasa dinamis dan menarik untuk diikuti ketika konflik
akhirnya meledak. Petualangan Fereli terasa cukup menyenangkan untuk diikuti.
Sayang sekali, novel ringkas
ini kurang mampu mengeksplorasi beberapa aspek dengan lebih dalam. Misalnya
saja, tentang dunia maneken. Meski di awal, Fereli membeberkan
kemampuan-kemampuan maneken kepada Claudia. Saya tidak bisa berhenti
bertanya-tanya, mengapa Claudia tidak secerdas Fereli untuk mengenali dirinya
sendiri: potensi-potensinya. Juga perihal batas pemahaman maneken atas manusia.
Dalam waktu penciptaan yang sedemikian singkat, bagaimana Fereli bisa memahami
manusia dengan begitu baik?
Bagaimanapun juga, Maneken merupakan sebuah upaya sederhana
untuk menyingkap misteri manusia: sikap, perilaku, watak,emosi-emosi terpendamnya,
serta pilihan-pilihannya: untuk menjadi atau tidak menjadi sesuatu. Sedikit banyak,
saya menemukan diri saya dalam Fereli, Claudia, dan Sophie.
lihat covernya jadi tertarik makin tertarik mau baca, penasaran *jgnmi dulu baca resensinya deeh :D
ReplyDeletedi antara smua karakter justru saya paling suka karakter sophie, menarik :)
ReplyDelete