Pages

Sunday, May 08, 2016

MANEKEN: Sebuah Upaya Sederhana Menyingkap Manusia

Judul buku: Maneken
Jumlah halaman: 181 halaman
Penulis: S.J. Munkian
Penerbit: Republika
Tahun terbit: 23 September 2015
ISBN13: 9786029474060
Kompleksitas manusia tampaknya akan terus menjadi obyek pengamatan yang menarik perhatian banyak orang. Disajikan dalam begitu banyak medium dan ragam ungkapan. Lukisan. Sketsa. Warna. Jurnal ilmiah. Buku-buku psikologi. Lagu. Puisi. Kisah-kisah. Novel sepanjang kurang dari dua ratus halaman ini berupaya merekam ketakterdugaan yang menghuni jiwa manusia melalui sudut pandang benda. Disajikan dengan unik, Maneken bercerita dari sudut pandang sepasang boneka maneken—yang saling jatuh cinta—di sebuah butik di Inggris.
Pada akhirnya aku mengetahui bahwa sebenarnya manusa tak cuma tercipta dari segumpal darah saja. Lebih dari itu, manusia juga tercipta dari kumparan ego paling murni yang bisa-bisa tak tertahankan (Fereli: 171).
Sophie Claudia Fleur, seorang gadis cerdas dan ambisius, pengelola butik Medilon Shakespeare, menciptakan sepasang maneken yang adalah replika dirinya dan kekasihnya, Bailey Fereli. Kedua maneken itu pun dinamai dengan nama keduanya: Claudia dan Fereli. Pertemuan canggung dan tak menyenangkan mengawali perkenalan maneken Claudia dan Fereli. Namun, kesabaran Fereli dan hal-hal menarik yang dikatakannya pada Claudia mencairkan kebekuan Claudia. Menjadi bintang etalase utama yang dipajang di bagian terdepan dari Medilon Shakespeare, memungkinkan keduanya untuk mengamati sekeliling mereka. Orang-orang yang berlalu lalang, dan orang-orang yang mengunjungi sebuah kafe yang tak jauh dari sana. Pengamatan Claudia dan Fereli atas manusia melahirkan perenungan-perenungan bendawi yang makin mengakrabkan keduanya. Lalu Claudia pun jatuh cinta kepada Fereli. Lalu Sophie patah hati kepada Bailey Fereli. Maneken Fereli kemudian menjadi sasaran kemarahan Sophie. Claudia pun dipisahkan dari Fereli, tak lama setelah cinta mereka merekat erat.
Cerita ini dengan serta merta mengingatkan saya pada buku karangan Jostein Gaardner, Cecilia & Malaikat Ariel. Meski tidak sedalam kontemplasi Jostein Gaardner dalam buku tersebut, Maneken adalah buku yang ditulis dengan semangat kontemplatif yang cukup kental, saya kira. Sehingga Maneken tak sekadar tampil sebagai kisah cinta antarsepasang boneka.
Jangan sekali-kali menyatakan diri sebagai entitas yang paling malang di muka bumi. Pernah mendengar ungkapan ‘Engkau adalah bidadari suci dari kayangan dengan mahkota cahaya, sedangkan aku gelandangan dari perkumuhan jorok dengan sandal bunting dan jeblok’? (Fereli: 99).
Dikisahkan dengan gaya bertutur puitis yang khas, saya cukup menikmati Maneken. Meski di beberapa bagian saya menemukan penggunaan kata yang terasa aneh bagi saya, dan gaya dialog Fereli dan Claudia yang terasa kaku dan tidak natural di beberapa bagian. Tapi saya tetap bisa menikmati percakapan Fereli dan Claudia yang mencoba menyibak misteri manusia. Keluguan mereka yang mengklasifikasikan manusia ke dalam empat tipe: tipe pemerhati, tipe curi-curi, tipe lurus, dan tipe Capulatte.
Tingkat kesulitan menuliskan novel semacam ini, saya kira, terletak pada upaya penulisnya untuk membuatnya tidak terkesan menggurui dan membosankan untuk diikuti. Terlebih jika mengingat, tokoh sentral dalam Maneken adalah sepasang boneka—benda mati—yang nyaris tidak bergerak, sehingga mereka hanya memiliki daya jangkau pandang yang sempit dan daya nalar yang teramat sangat terbatas tentang hal-hal di sekelilingnya. Karakter-karakternya juga haruslah menyenangkan dan kuat sehingga pembaca tidak rela mengalihkan sedetik saja pandangan dari mereka. Sayangnya, saya hampir tidak memiliki karakter favorit dalam buku ini. Kecuali, Fereli. Maneken ini berpembawaan menyenangkan. Ia ramah, dewasa, bijaksana, dan mengetahui banyak hal. Sangat bertolak belakang dengan Claudia—yang merupakan narator di separuh bagian awal buku—yang tampil sinis, berprasangka negatif, dan sempit hati. Saya cukup menyukai Sophie, sebenarnya. Dia gadis ambisius yang tangguh dan sangat tahu apa yang dia lakukan. Saya terkejut dengan sikap buruknya—yang tanpa isyarat awal—di pertengahan buku. Tapi saya menyukai cara penulis membuat Sophie tampak sangat manusiawi. Seolah hendak menegaskan, tak ada protagonis murni di dunia ini. Selagi kau manusia, kau akan selalu memiliki sisi hitam.  
Maneken tampil dengan pace yang teramat lambat di awal. Nyaris terasa membosankan, andai saja saya tidak cukup penasaran dengan akhir kisah cinta antara Fereli dan Claudia. Cerita mulai terasa dinamis dan menarik untuk diikuti ketika konflik akhirnya meledak. Petualangan Fereli terasa cukup menyenangkan untuk diikuti.
Sayang sekali, novel ringkas ini kurang mampu mengeksplorasi beberapa aspek dengan lebih dalam. Misalnya saja, tentang dunia maneken. Meski di awal, Fereli membeberkan kemampuan-kemampuan maneken kepada Claudia. Saya tidak bisa berhenti bertanya-tanya, mengapa Claudia tidak secerdas Fereli untuk mengenali dirinya sendiri: potensi-potensinya. Juga perihal batas pemahaman maneken atas manusia. Dalam waktu penciptaan yang sedemikian singkat, bagaimana Fereli bisa memahami manusia dengan begitu baik?
Bagaimanapun juga, Maneken merupakan sebuah upaya sederhana untuk menyingkap misteri manusia: sikap, perilaku, watak,emosi-emosi terpendamnya, serta pilihan-pilihannya: untuk menjadi atau tidak menjadi sesuatu. Sedikit banyak, saya menemukan diri saya dalam Fereli, Claudia, dan Sophie.

2 comments:

  1. lihat covernya jadi tertarik makin tertarik mau baca, penasaran *jgnmi dulu baca resensinya deeh :D

    ReplyDelete
  2. di antara smua karakter justru saya paling suka karakter sophie, menarik :)

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...