Judul
buku: Hana (Delirium #1.5)
Penulis: Lauren Oliver
Jumlah
halaman: 64 halaman
ebook
Penerbit:
HarperCollins Publishers
Tahun
terbit: February 28th 2012 (first
published December 19th 2011)
ISBN: 0062124366 (ISBN13: 9780062124364)
Strangely enough, this is what I dream about now, the summer before my cure, during the last summer that will ever be truly mine to enjoy. I dream about sledding. That’s what it’s like to barrel forward toward September, to speed toward the day when I will no longer be troubled by amor deliria nervosa.
Tidak seperti persangkaan
Lena di buku pertama, bahwa Hana adalah representasi kesempurnaan yang bahagia.
Cantik, cerdas, kaya, bermasa depan cerah, diliputi kebahagiaan. Lena benar
soal kesempurnaan, tapi tidak untuk bahagia. Hana, tentu saja, pernah bahagia. Setidaknya
sampai dia tahu, bahwa Steve Hilt adalah cowok berengsek yang tidak paham
sedikit pun tentang
cinta. Dan juga, dipasangan dengan calon lelaki nomor satu di kota, sehingga membuat kedua orang tuanya berbangga. Tapi jauh di dasar dirinya, Hana memiliki mimpinya sendiri. Mimpi yang pada akhirnya diraih oleh Lena.
cinta. Dan juga, dipasangan dengan calon lelaki nomor satu di kota, sehingga membuat kedua orang tuanya berbangga. Tapi jauh di dasar dirinya, Hana memiliki mimpinya sendiri. Mimpi yang pada akhirnya diraih oleh Lena.
Side story Hana ini mengungkapkan banyak sisi tentang Hana yang
tidak dikisahkan oleh Lena di buku pertama serial Delirium. Hal-hal yang tidak
pernah diketahui Lena: rahasia-rahasia dan alasan-alasannya. Kisah cintanya. Kisah
patah hatinya. Pikiran-pikirannya tentang Lena. Kecemburuannya pada Lena. Apa yang,
tanpa sepengetahuan Lena, dilakukannya sehingga berdampak jauh lebih buruk dari
kematian bagi Lena.
Hana mengingatkan
saya pada karakter Annabel. Periang, enerjik, berjiwa bebas, dan (pernah)
percaya pada cinta—meski sangat
disayangkan, dia tidak seberani Annabel untuk mengubah nasibnya. Hana lah yang
lebih dulu mengenal dunia para invalid, dunia
yang diselubungi amor deliria nervosa. Dialah
yang memperkenalkan Lena pada dunia itu. Dia juga lah yang lebih dulu jatuh
cinta, dan lantas merasakan patah hati—hingga akhirnya mempertanyakan cinta yang pernah dia yakini. Antagonisme Hana membuat saya terkejut berkali-kali. Pertama, karena dia adalah orang terakhir yang saya pikir akan mengkhianati Lena (Saya yakin, Hana adalah orang yang akan membiarkan dirinya mati untuk menggantikan Lena jika sebuah peluru ditargetkan mengenai jantung Lena). Kedua, saya tidak bisa membenci Hana, sekeras apa pun saya memaksakan diri. Ketiga, saya baru tahu, jika tokoh antagonis bisa diciptakan dengan cara seperti itu (Lauren Oliver, betapa saya menghormati Anda).
The line from The Book of Shhh comes back to me: there is no love, only disorder.
Karena sudah lama sejak saya
meninggalkan Delirium, saya harus membuka itu lagi untuk menemukan beberapa
adegan yang diceritakan kembali oleh Hana dari sudut pandangnya. Tentang pertengkarannya
dengan Lena, dan pertemuannya dengan Alex di toko tempat Lena bekerja. Saya sungguh
berharap, Hana bisa sebahagia Lena. Menemukan cinta sejati, dan bukannya berakhir
dengan perjodohannya dengan Fred Hargrove, sang calon walikota baru. Tapi pada
akhirnya, pilihan lah yang mengubah
nasib orang-orang. Kisah Hana mengingatkan saya pada nasehat lama: benih yang
kau tanam pada kehidupan, adalah apa yang akan kau panen darinya, sebagai
balasan dari kehidupan atas usahamu—baik, pun buruk.
No comments:
Post a Comment