Jumlah
halaman: 240 halaman
Penulis:
Dewi Kharisma Michellia
Editor :
Donna Widjajanto
Tahun
terbit: Juni 2013
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Penghargaan sastra: Pemenang Unggulan Sayembara Novel Dewan Kesenian jakarta 2012, Nominee Khatulistiwa Literary Award 2013
Seorang
gadis jatuh cinta kepada sahabat kecilnya. Lalu mereka tumbuh dan menjalani
fase lumrah dari orang dewasa:
berjalan menuju arahnya sendiri dan membangun kehidupan baru. Sang Pemuda larut
dalam kesibukannya yang kelak menjadi masa depannya, tanpa pernah tahu bahwa
sang Sahabat yang jatuh cinta diam-diam kepadanya telah tertinggal jauh di
belakangnya, di garis kenangan yang mengunci langkahnya.
Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun
Cahaya adalah novel unggulan Dewan Kesenian Jakarta 2012, yang
merupakan novel perdana Dewi Kharisma Michellia. Sebagai sebuah debut, novel yang
dinominasikan dalam daftar pendek Khatulistiwa Literary Award 2013 ini adalah sebuah
buku yang cukup mengesankan. Novel ini dikemas dengan gaya
epistolari—surat-surat yang dikirimkan sang Gadis kepada Pemuda pujaan
hatinya—yang mana keseluruhan kisah terjalin di dalam surat itu. Melalui surat
itu pembaca diajak menyelami pikiran dan perasaan sang Gadis. Bagaimana ia
menjalani hidupnya, apa alasannya meninggalkan kuliahnya yang hampir tuntas
tapi malah berkuliah di jurusan berbeda, bagaimana hari-harinya sebagai
jurnalis, bagaimana mulanya sehingga ia jatuh cinta pada Tuan Alien—begitulah
sang Gadis memanggil sang Pemuda, betapa kecewanya saat ia menerima undangan
pernikahan Tuan Alien, bagaimana berat hari-hari yang ia jalani sebagai
pengidap kanker, dan bagaimana ia menulis surat-surat untuk Tuan Alien. Sang
Gadis dalam surat-suratnya, menceritakan banyak rahasia yang tak pernah ia bagi
kepada orang lain. Ia juga bercerita tentang pengalaman jatuh cintanya yang
lain. Tapi keberadaan surat-surat itu, yang kemudian dikirimkan kepada Tuan
Alien berkat bantuan salah seorang teman sang Gadis—anak pemilik toko buku
langganannya, menunjukkan betapa sang Gadis memiliki cinta yang istimewa kepada
Tuan Alien. Pembaca akan memahami, bahwa setiap kali mengalami peristiwa
tertentu—yang kemudian dicurahkan sang Gadis dalam surat-suratnya—sang Gadis
berharap bisa meluahkannya kepada Tuan Alien seketika itu terjadi. Dan bahwa
setiap ingatan sang Gadis selalu menyertakan Tuan Alien. Benar-benar sebuah
epistolari yang sendu.
Uniknya,
tokoh-tokoh di dalam novel ini tidak akan pernah kita ketahui namanya. Sang
Narator, menyebut tokoh tertentu dengan julukan. Tuan Pemilik Toko Buku, pria
itu, Nyonya Pemred, kekasihku, dan sebagainya. Cara ini seolah menguatkan
karakter sang Gadis narator yang anti-vonis, anti-pelabelan. Sang Aku sendiri
terlahir dari orang tua yang berbeda agama. Ayahnya yang keturunan Bali adalah
pemeluk Hindu, dan ibunya adalah perempuan muslim yang taat. Sang Aku dan
saudara-saudaranya sejak kecil telah memahami kontras di antara kedua
orangtuanya itu sebagai sinyal kebebasan yang kelak akan dipercayakan kepada
mereka. Dengan kebebasan itu, sang Aku tumbuh menjadi tokoh yang tidak menyukai
pelabelan. Tidak hanya penamaan
tokoh, di buku ini bertebaran lagu, komposisi musik, dan buku-buku favorit sang
Aku, yang kerap ia gunakan untuk menganalogikan peristiwa atau emosi tertentu.
Karakter
sang Aku yang dingin, menajamkan aura sendu buku ini. Kepedihan, kesendirian,
kerinduan, dan kekecewaan, seringkali tidak terkatakan, melainkan berbahasa
dengan cara yang abstrak tapi jelas terasa dan dipahami dengan begitu saja.
Sebagai novel yang diajukan dalam kompetisi sayembara novel Dewan Kesenian
Jakarta, dengan tokoh yang berprofesi sebagai jurnalis dan penerjemah lepas, serta
dibumbui elemen-elemen dunia sastra yang tajam, Dewi Kharisma Michellia tidak tergoda
untuk bernarasi dengan akrobatis dan berbunga-bunga. Anehnya, diksi yang begitu
lugas itu, membuat sang Aku terasa begitu dekat dengan pembaca. Ia seperti
tetangga di sebelah rumah yang kerap bertaut pandang dengan kita ketika membuka
pintu di pagi hari, atau famili jauh yang setiap tahu mengirim kartu ucapan
untuk berbagai perayaan disertai bingkisan kue-kue buatan tangannya sendiri.
Dewi
Kharisma Michellia mengambil resiko yang jarang ditempuh penulis-penulis
Indonesia: menulis tanpa sebaris pun dialog. Untuk buku yang sepert itu,
seringkali konsekuensinya hanya dua: karya itu akan benar-benar disukai atau
benar-benar dibenci. Fiksi full-narasi
bisa begitu memikat dan sulit dilepaskan sebelum menyelesaikannya hingga akhir,
jika cerita itu bergerak dengan dinamis, menjanjikan kejutan besar, dan
melahirkan keingintahuan yang semakin menjadi-jadi dari waktu ke waktu. Tetapi
fiksi semacam itu bisa jadi begitu membosankan, jika pace-nya berjalan lamban. Meski tidak bisa dikategorikan pada jenis
yang pertama, buku ini juga tidak bisa dimasukkan pada kotak yang kedua.
Suasana kelam, emosi sang Aku yang hampir tidak pernah terbaca, dan
pengisahannya yang bolak balik yang terasa bergerak begitu lamban, tetap asyik
dinikmati dan ditunggu karena kekuatan karakter sang Aku. Sesosok tokoh
sempurna untuk ketidaksempurnaannya. Dia bukan tokoh yang putih, tetapi dia memiliki ego yang tidak jarang menyeballkan. Ia
bisa mengundang simpati dengan tiba-tiba, dan di kesempatan lain menjadi
representasi dari karakter banyak perempuan masa kini.
Kepiawaian
Dewi dalam bercerita tak ubahnya kepiawaian seorang pendongeng ulung yang berhasil
menjerat perhatian seorang anak bandel—yang sebelumnya memberontak karena tidak
mendapatkan mainan mahal yang diidamkannya dari ibunya—untuk kemudian duduk di
sisinya dan membiarkan dirinya terbang jauh ke dunia baru yang belum pernah
disebutkan siapa pun. Anak Bandel itu adalah saya. Saya duduk di hadapan Dewi,
membiarkan diri saya dekat dengan sang Aku hingga pada saat tertentu saya
hampir yakin bahwa sang Gadis itu tak lain adalah diri saya sendiri. Saya
membiarkan diri saya menyerah pada kekaguman seorang anak kecil tentang
keajaiban negeri dongeng yang jauh. Saat Dewi menceritakan mimpi-mimpi buruk
sang Gadis, saya akhirnya tahu bagaimana menceritakan mimpi-mimpi buruk saya
ketika demam atau sedang tertekan oleh banyaknya pekerjaan yang belum saya
tuntaskan. Narasi sureal Dewi mengingatkan saya pada absurditas yang dilukiskan
Ryunosuke Akutagawa dalam Kappa. Bukan pada kemiripan warnanya. Melainkan pada
kesannya yang membekas dalam benak saya hingga hari ini. Keruwetan yang alih-alih
membuat saya menutup bukunya, saya menenggelamkan diri saya ke dalamnya, sejauh
mungkin.
Membaca Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang
Jutaan Tahun Cahaya tak ubahnya sebuah pengalaman kontemplatif. Pengalaman
dan buah pikir sang Gadis pada beberapa titik mengingatkan saya pada diri saya
atau orang-orang dekat saya. Pada bagaimana kami merenung, berpikir, lalu
mengambil keputusan saat menghadapi peristiwa tertentu. Saya takjub pada
bagaimana Dewi Kharisma Michellia yang masih belia, bisa dengan begitu intens
mengurai helai-helai gagasan gadis dewasa berusia kepala empat—yang tentunya
kaya akan pengalaman hidup dan telah memaknai banyak hal dalam kehidupan
itu—lalu memintalnya menjadi sebuah epistolari cinta yang sarat emosi dan
renungan hidup ini. Dinginnya kesunyian, hangatnya cinta yang baru mekar,
ganjilnya rasa ditinggalkan, ajaibnya hidup yang begitu singkat, menakutkannya
kematian yang asing, dan betapa lemahnya manusia yang tak punya kendali sedikit
pun atas akhir kehidupannya.
[Resensi ini memenangkan
Sayembara Resensi Novel Sulawesi Tenggara 2014]
No comments:
Post a Comment