Penulis: Leila S.
Chudori
Jumlah halaman: viii
+ 464 halaman
Tahun terbit:
Desember 2012
Penerbit: Kepustakaan
Populer Gramedia
ISBN 13:
978-979-91-0515-8
Penghargaan Sastra: Khatulistiwa Literary
Award for Prosa (2013), Anugerah Pembaca Indonesia Nominee for Penulis dan Buku
Fiksi Terfavorit - Shortlist (2013)
Dua
puluh tahun selepas masa peperangan yang akhirnya berbuah kemerdekaan,
Indonesia memasuki masa kelam sejarah berwarna merah dan berbau amis darah.
Kekuasaan diktator Orde Baru telah membawa Indonesia pada krisis yang
mengkhawatirkan.
Sejarah yang manipulatif tetapi diajarkan di sekolah dan dijadikan tontonan wajib warga negara selama puluhan tahun, demi melanggengkan kekuasaan nyaris absolut yang mengantarkan Indonesia pada krisis moneter berkepanjangan. Kaum muda yang reaktif melakukan demonstrasi yang lantas pecah di mana-mana, yang memuncak dalam peristiwa kerusuhan 1998 yang kemudian membuka mata masyarakat Indonesia, dan menjadi mula dari runtuhnya diorama pembodohan dan pembohongan sejarah.
Sejarah yang manipulatif tetapi diajarkan di sekolah dan dijadikan tontonan wajib warga negara selama puluhan tahun, demi melanggengkan kekuasaan nyaris absolut yang mengantarkan Indonesia pada krisis moneter berkepanjangan. Kaum muda yang reaktif melakukan demonstrasi yang lantas pecah di mana-mana, yang memuncak dalam peristiwa kerusuhan 1998 yang kemudian membuka mata masyarakat Indonesia, dan menjadi mula dari runtuhnya diorama pembodohan dan pembohongan sejarah.
Leila
S. Chudori, merangkum sejarah berdarah tersebut dalam roman fiksi Pulang, yang
bernuansa kelam namun, dikisahkan dengan apik. Pulang berkisah tentang empat
eksil politik Indonesia di Perancis: Dimas Suryo—petualang yang anti segala hal
berbau kiri dan mengalami polemik
eksistensialisme, Nugroho Dewantoro—wartawan Kantor Berita Nusantara yang
sering dianggap sebagai pemimpin keempat sahabat ini karena sikap egaliter dan
optimismenya, Tjai Sin Soe—warga keturunan yang apolitis tetapi ikut terjebak
dalam situasi chaos politik kala itu,
dan Risjaf—sosok yang paling lugu dan penurut. Setelah sahabat mereka, Hananto
Prawiro, yang merupakan orang penting di
Kantor Berita Nusantara ditangkap intel di Indonesia, mereka berempat—yang
kehilangan hak untuk kembali ke Indonesia dan menjadi stateless karena paspor mereka dicabut, lalu akhirnya mendapat
suaka politik dari Perancis—memutuskan untuk membangun kehidupan baru di Paris,
setelah bertahun-tahun terdampar di sana dengan nyaris tanpa harapan. Di tengah
pengucilan politik, dan sinisme dari berbagai pihak karena dianggap pengkhianat Negara, Dimas, Nugroho,
Tjai, dan Risjaf, masih harus dihantui kesedihan dan kecemasan karena keluarga
mereka di Indonesia yang terus dimata-matai intel dan diinterogasi serta
mendapat perlakuan buruk. Puluhan tahun setelahnya, Lintang Utara Suryo, puteri
tunggal Dimas Suryo—buah pernikahannya dengan wanita Perancis bernama
Vivienne—mendapat izin masuk ke Indonesia untuk kebutuhan penelitian tugas akhir.
Lewat gadis itulah, Dimas, Nugroho, Tjai, dan Risjaf, menitipkan kerinduan
mereka untuk pulang ke tanah air.
Pulang
adalah roman dengan elemen kehidupan yang lengkap teramu di dalamnya:
eksistensialisme, kekeluargaan, persahabatan, dan cinta, yang dilatari oleh
peristiwa 30 September 1965 di Indonesia, demonstrasi Mei 1968 di Perancis, dan
kerusuhan Mei 1998 di Indonesia. Leila S. Chudori mengemasnya dalam pengisaihan
dengan narasi yang estetis, sesekali liris dan jernih, namun tetap dalam
tuturan yang mudah dipahami, dan dengan plot maju mundur yang kuat. Lewat sudut
pandang orang pertama yang bergantian dan meloncat dari satu garis waktu dan
peristiwa ke garis waktu dan peristiwa yang lain, pembaca tidak perlu khawatir
kehilangan pegangan dan kendali untuk menikmati Pulang. Pengisahan flashback yang berbaur dengan masa
sekarang, berpadu dengan solid, sehingga interval waktu pengisahan yang
panjang—karena lintas generasi—itu tidak menunjukkan kesenjangan yang
mengganggu. Pembaca akan mendapatkan gambaran utuh mengenai tokoh-tokohnya
sejak generasi Dimas hingga generasi Lintang tanpa perlu khawatir akan
melewatkan suatu hal penting. Leila S. Chudori menalikan masa lalu dan masa
kini dengan cara kerja permainan “menggenapkan puzzle”. Apa yang tidak terurai
di masa lalu, akan tertemukan jawabannya di masa sekarang, dan sebaliknya.
Hal-hal yang seperti muncul tiba-tiba di masa sekarang sebagai kelaziman yang
telah dimaklumi, benangnya telah diurai di masa lalu.
Leila
S. Chudori menyajikan Pulang dalam struktur pembabakan yang episodik, dengan
memilih tiga tokoh sentral yang ia jadikan penanda peralihan episode besar
dalam Pulang, yakni Dimas Suryo, Lintang Utara, dan Segara Alam—putera bungsu
Hananto Prawiro. Tiga tokoh sentral—dengan beragam polemik—ini kemudian menjadi
kumparan dari pertalian ketiganya dengan banyak tokoh penting yang paling
berwenang untuk bersuara demi
menjabarkan sudut pandangnya tentang berbagai hal. Tidak ada tokoh yang tampil
dengan sia-sia. Tokoh-tokoh yang bersuara dengan “aku…” akan mengisahkan lewat
matanya, meluruskan kekusutan peristiwa yang dialami aku-aku yang lain, dengan
penuturan yang dinamis dan sangat
sehari-hari. Sayangnya, suara beragam aku ini terasa senada. Sehingga sukar
membedakannya tanpa melihat penanda yang dipancangkan di awal bab untuk
menunjukkan siapa narrator yang akan kita dengarkan kisahnya.
Bagaimanapun
juga, Pulang adalah cerita fiksi yang
sukar untuk berhenti membalik halaman demi halamannya. Meski berlatar belakang
Eropa, Leila S. Chudori tidak tampak tergiur untuk bertutur dengan gaya
kebarat-baratan. Bahkan dalam penulisan dialog sekalipun, Leila mengonversinya dalam
versi suara penuturan-nya yang khas.
Membaca Pulang, telah membawa saya kembali pulang pada pengalaman membaca
roman-roman bartendens klasik seperti Layar Terkembang, Atheis, Namaku Hiroko,
dan Olenka. Bukan semata-mata karena nuansa klasiknya yang antik dan terasa vintage, tapi lebih kepada pola
kompleksitas konflik yang terbangun dan mengerucut pada akhir yang menggerakkan
pembaca untuk merasai beragam emosi.
Pulang
hadir dengan efek proses mengawinkan
fakta dan fiksi. Pembaca akan merasakan pengalaman membaca fiksi paling nyata
karena upaya tersebut. Leila tidak saja memetik fakta untuk menjaga keotentikan
sejarah yang ia terakan dalam buku ini, sesekali, ia juga menyamarkan fakta
tertentu dalam fiksi tanpa mengurangi nilai riilnya. Seperti Restoran Tanah Air
yang terkenal di Paris dan banyak ditulis di media Indonesia di masanya, adalah
versi semifiktif dari Restoran Indonesia yang memang riil.
Hal
paling menyenangkan dari menikmati Pulang adalah penghargaan Leila S. Chudori
kepada pembaca, dengan tidak mendiktekan terlalu banyak informasi yang beresiko
menciptakan citra “menguliahi” sehingga menyesatkan pembaca dari fokus cerita
karena terlalu overdefinisi. Sebaliknya, Leila menebarkan faktor pengaya
tersebut dengan menyisipkannya dalam narasi dan deksripsi yang tidak menor atau dialog yang wajar,
dengan membiarkan pembaca memperkaya dirinya lewat upaya lain yang sangat
personal.
Pulang,
bukan sekadar pengingat sejarah, atau sekadar kerinduan akan tanah air. Lebih
dari itu, Pulang, berusaha menularkan keteguhan mempertahankan eksistensi
sebagai Orang Indonesia yang wajib
menjaga warisan-warisan bangsanya, meluhurkannya dengan beragam cara luhur.
Meski sempat menuai polemik karena kritik dari beberapa sastrawan atas
penghargaan sebagai Prosa Terbaik Khatulistiwa Literary Award 2013 yang
diraihnya, buku yang juga masuk Daftar Pendek Nominasi Anugerah Pembaca
Indonesia untuk kategori Penulis Terfavorit dan Buku Fiksi Terfavorit 2013 ini,
saya kira, layak menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah menengah atas, dan
mendampingi karya-karya sastra kontemporer berkualitas lainnya dalam
lemari-lemari perpustakaan sekolah. Pulang, saya rekomendasikan kepada anak-anak
muda Indonesia yang belum sempat merekonstruksi sejarah bangsanya dalam
ingatan, dari sisa-sisa pemalsuan fakta sejarah, yang sempat menjadikannya
cacat di masa lalu.
kredit gambar |
keren nih review Pulang-nya :)
ReplyDeleteTerima kasih, Kak Helv :)
ReplyDelete