Judul buku: The Lovely Bones
Jumlah halaman: 440 halaman
Penulis:
Alice Sebold
Penerjemah: Gita Yuliani K.
Editor : Lanny Murtihardjana
Tahun terbit: April 2008
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN10: 979-22-3656-2
ISBN13: 978-979-22-3656-9
Penghargaan Sastra: Bram Stoker Award for Best First Novel (2002), Book Sense Book of the Year Award for Adult Fiction (2003), South Carolina Book Award for Young Adult Book Award (2005), Iowa High School Book Award (2005), Puddly Award for Fiction (2003) Abraham Lincoln Award Nominee (2005)
Penghargaan Sastra: Bram Stoker Award for Best First Novel (2002), Book Sense Book of the Year Award for Adult Fiction (2003), South Carolina Book Award for Young Adult Book Award (2005), Iowa High School Book Award (2005), Puddly Award for Fiction (2003) Abraham Lincoln Award Nominee (2005)
Namaku Salmon, seperti nama ikan, dan nama depanku Susie. Umurku empat belas saat aku dibunuh pada tanggal 6 Desember 1973. Dalam foto-foto gadis hilang yang terpampang di koran-koran tahun tujuh puluhan, kebanyakan bertampang seperti aku: gadis kulit putih, dengan rambut kecokelatan seperti
warna tikus. Ketika itu masa sebelum anak-anak dari berbagai ras, baik laki-laki maupun perempuan, mulai bermunculan pada kemasan karton susu atau di surat kabar. Orang-orang masih percaya hal semacam ini tak mungkin terjadi.
Di
sebuah lubang hangat di bawah ladang jagung, Susie Salmon kehilangan hidupnya.
Dalam makna kiasan maupun harfiah. Tetangga mereka yang aneh dan nyentrik, George Harvey, berhasil
membawanya ke sana, memperkosanya, lalu membunuhnya. Susie Empat Belas Tahun
yang Malang tak pernah lagi ditemukan oleh keluarganya semenjak itu. Sementara
itu, dari alam baka, Susie menyaksikan bagaimana keluarganya merapuh dan tembok
kebahagiaan mereka runtuh dalam hitungan yang pasti. Hubungan kedua orang
tuanya meretak, Lindsey yang tangguh tampak begitu menyedihkan dan terluka
parah, lalu si kecil Buckley terus-menerus menanyakan Susie yang tidak kunjung
pulang kepada semua orang. Sementara itu, penyelidikan polisi tidak mampu
mengendus keberadaan Susie, apalagi sekadar memastikan kronologi kehilangannya.
Hanya saja, setelah menerapkan standar operasi penyelidikan sebagaimana
mestinya, suatu hari, seorang detektif bernama Len Fenerman akhirnya
mengabarkan, bahwa Susie pastilah telah meninggal. Kesimpulan itu kemudian
dibuktikan dengan penemuan sebelah lengan oleh anjing tetangga Keluarga
Salmon—yang telah dipastikan adalah milik Susie. Semenjak itu, segala hal dalam
Keluarga Salmon perlahan berubah, menuju ke arah yang buruk.
The Lovely Bones telah menawarkan kisah
yang menjanjikan sejak baris pertamanya. Ia adalah sebuah drama keluarga yang
mengisahkan tentang kehilangan menyakitkan dan pergulatan tokoh-tokohnya untuk
menerimanya dan kembali berbahagia dengan cara yang tidak pernah mereka duga
dapat mereka lakukan sebelumnya. Dikisahkan lewat sudut pandang “aku-an” Susie
Salmon yang telah meninggal, The Lovely
Bones hadir dengan cara yang aneh, ketimbang unik. Dengan gaya serba tahu,
Susie menceritakan tentang alam baka, dan tentu saja, suasana di bumi yang
tidak bisa ditinggalkannya begitu saja—terlebih, karena George Harvey masih
berkeliaran sebagai seorang antisosial yang tampaknya terlalu lugu untuk
dicurigai sebagai pembunuh. Lewat Mata
Susie, pembaca dapat mengenal dan mengetahui pikiran dan emosi tokoh-tokoh
lainnya. Karakter tokoh-tokoh itu begitu hidup dan detil dalam deskripsi
tingkah laku, siapa mereka dilihat dari benda yang mereka miliki, hingga cara
mereka menata rumah atau meletakkan sebuah benda.
Di dunia
ini, tidak sedikit orang yang takut mati. Tetapi lewat Susie, saya menyadari
bahwa orang yang sudah mati, hampir tidak akan pernah memikirkan cara agar
mereka bisa hidup kembali. Mereka akan melanjutkan hidup, fase kehidupan mereka
yang berikutnya, meski dengan beberapa penyesalan. Seandainya aku tidak mati
dengan cara setragis itu. Kurasa, aku pantas untuk mati dengan cara yang lebih
layak. Seandainya, seseorang—yang entah siapa saja—menemukan mayatku dan
membawaku pulang ke rumah sehingga ayahku tidak harus sehancur itu. Seandainya ayahku
punya cukup bukti lalu mendatangi rumah laki-laki terkutuk itu dan menghajarnya
sampai dia mati sehingga kami bisa bertemu di alam baka dan aku bisa membalaskan
dendamku sendiri. Seandainya aku punya kesempatan terakhir untuk menyatakan
perasaanku pada …. Membayangkan apa yang dilakukan, dirasakan, dan dipikirkan oleh orang mati, adalah hal yang selalu menarik perhatian orang-orang hidup. Susie Salmon sebagai narator di sini, adalah daya tarik yang sukar dihindari. Pembaca akan selalu menginginkan mendengar Susie, lagi dan lagi, dan melihat dengan matanya setelah ia di alam baka.
The Lovely Bones berlatar daerah
suburban di Amerika, di tengah orang-orang yang hangat, penuh rasa
kekeluargaan, dan kepercayaan tentang dunia yang aman dan nyaman bagi semua
orang. Sehingga peristiwa hilangnya seorang gadis empat belas tahun yang
cantik, cerdas, dan ceria—yang kemudian hanya ditemukan sebelah lengannya—adalah
kejadian yang sulit dipercaya. Lalu mendadak semua orang memperlakukan keluarga
Susie dengan istimewa, dan kata “mati” menjadi begitu sensitif untuk dibicarakan, terlebih diperdengarkan kepada keluarga Salmon.
The Lovey Bones menyajikan alur yang
melompat-lompat tetapi begitu kuat sehingga pembaca tidak perlu takut
kehilangan kendali untuk mengikuti kisahnya. Alice sangat paham cara
menyisipkan konflik di setiap hal sederhana. Setiap obyek pengamatan Susie akan
membawa pembaca kembali ke masa yang penting di periode silam, yang mengenalkan
keluarga Salmon lebih jauh, terutama kehidupan Susie yang bahagia dan penuh
cinta dari dan untuk keluarganya. It’s
kinda page turning type. Meski saya tidak bisa menutupi rasa terganggu dengan
kehambaran yang terasa ketika kisah menuju pengakhiran. Nampaknya, ini sedikit membuktikan
bahwa kekuatan cerita terletak pada drama. Saya benar-benar tidak suka
mempercayai itu. Gambaran realistis yang dilukiskan Alice kemungkinan besar
adalah faktor hambar yang saya maksud, yakni keputusasaan yang tergambar jelas
dalam nada suara Susie ketika ia
tidak kunjung ditemukan, begitu pula George Harvey yang telah diyakini sebagai
pembunuh Susie.
The Lovely Bones adalah cara Alice
Sebold menggambarkan sisi mengerikan dari kehidupan di daerah suburban Amerika,
mengungkapkan kemarahan depresifnya akan peristiwa pemerkosaan yang terjadi
pada dirinya. Betapa ketika peristiwa itu terjadi, dia telah mati, lalu—terpaksa—hidup
lagi dengan cara yang menyakitkan. Alice berjuang menganggap peristiwa itu
bukan apa-apa, dan bahkan bisa ditertawakan dengan suatu cara yang belum dia
temukan. Alice mentransfer energi keputusasaannya ke dalam Susie remaja, yang
menjabarkan emosinya dalam keluguan seorang remaja yang belum mengenal
kehidupan—sebanyak yang ia butuhkan untuk menerima kejadian yang menimpanya, dalam
ungkapan-ungkapan sastrawi yang elegan dan intens. Alice menciptakan Susie dari materi dirinya. Mata Susie dalam memandang segala hal adalah matanya, segala hal yang dimiliki Susie berasal dari ketidakberdayaannya, dan ketidakmampuannya dalam mengendalikan segala hal yang ia inginkan untuk terwujud. Alice menemukan Susie sebagai media pembebasan dirinya--dari rasa malu dan depresi--dengan cara yang artistik dan mengundang pujian masyarakat Amerika.
Bagaimanapun
juga, The Lovely Bones menghadirkan
sesuatu yang baru di tengah maraknya fiksi yang menjual drama-drama dengan akhir yang
bahagia, atau setidaknya, resolusi yang memuaskan. Dengan cara yang, sekali lagi,
aneh, The Lovely Bones menunjukkan
bahwa penyelesaian yang melegakan tidak harus sesuai harapan. Buku ini akan
sukar dilupakan selama beberapa lama, sampai Anda menemukan bacaan yang pantas
untuk mengatasi The Lovely Bones.
Kredit Gambar |
No comments:
Post a Comment