Judul buku: Si Anak Badai
Penulis:
Tere Liye (Co-author: Sarippudin)
Halaman:
Paperback, 318 halaman
Penerbit:
Republika
Tahun
terbit: Agustus 2019
ISBN13: 9786025734939
Aku menyimpan gagang pancing dan mendayung perahuku menuju tepian sungai. Aku menambatkannya persis di sebelah perahu Ode dan Awang. Kuambil sarungku dan kujadikan selimut, kemudian kurebahkan badanku di dasar perahu. Ode dan Awang juga sudah merebahkan badan.
Di atas kami bulan sabit bersinar.“Besok lusa, kalau sudah besar, kalian mau jadi apa?” pertanyaanku memecah keheningan.“Aku mau jadi pegawai kantor camat seperti bapak kau, Za,” jawab Ode dari dalam perahunya.“Kau, Wang?“Aku ingin jadi perenang yang menjuarai banyak perlombaan.”(Percakapan Anak-anak Badai, hal. 160)
Tersebutlah kampung Manowa yang berdiri di atas
sungai. Bersahaja dan permai. Warganya hangat dan santun, senang bergurau dan
berpantun, taat ibadah dan menjaga gotong royong. Suatu hari, kehadiran orang-orang kota
mengusik ketenangan kampung Manowa. Seorang lelaki (dengan satu mata yang mengenakan
perban) membawa kabar: mereka akan membangun pelabuhan besar di Manowa. Ini adalah
kabar buruk bagi warga kampung Manowa. Mereka mencintai keseharian mereka yang
bersahaja dan bertekad akan memelihara kehidupan mereka yang telah berlangsung
begitu lama. Konspirasi pun disusun dengan licik. Pak Kapten yang bersuara
lantang menentang pembangunan pelabuhan di Manowa, ditangkap polisi. Warga kampung
Manowa merasa kehilangan kekuatan. Tak berdaya melawan taring dan cakar orang-orang
kota yang angkuh itu. Alat-alat berat mulai memasuki Manowa, siap
meruntuhkannya dalam waktu sekejap. Empat anak pemberani bernama Za, Malim,
Awang, dan Ode pun tak bisa tinggal diam. Mereka tidak menyebut diri si Anak Badai tanpa alasan. Mereka sudah
menaklukkan hantaman badai besar di laut lepas. Mereka tidak akan menyerah
hanya karena gertakan si Bajak Laut dari kota beserta komplotan tukang pukulnya.
Si Anak Badai adalah buku pertama
dari seri Anak-anak Nusantara yang saya baca. Sejak awal, buku ini seolah
melempar saya jauh ke masa lalu, melontarkan saya kembali ke masa kecil saya
yang penuh kegembiraan. Sejak cerita dimulai, saya sudah jatuh cinta pada
kampung Manowa. Ia mengingatkan saya pada kampung nelayan tempat saya biasa
bermain sewaktu kecil. Bedanya, kampung nelayan di desa tempat saya tinggal
dulu, berdiri di pesisir pantai dan hanya dihuni para nelayan dan beberapa
juragan udang. Sementara kampung Manowa, berdiri di atas sungai dan dihuni warga
dari berbagai latar belakang.
Si Anak Badai adalah buku anak
dengan latar yang kuat dan dibangun dengan adegan-adegan yang filmis. Sepanjang
mengikuti kisahnya, saya seolah bisa mendengarkan langkah kaki anak-anak yang
beradu dengan bilah bambu jembatan yang mengantarkan mereka ke sekolah, kecipak
air sungai yang menghantam tiang penyangga sekolah Anak-anak Badai, juga
klakson kapal yang selalu dinanti Za dan kawan-kawannya untuk berburu uang
logam di hari-hari libur sekolah. Anehnya, saya berharap bisa menjadi salah
satu dari Anak-anak Badai. Saya bisa membayangkan betapa serunya
petualangan-petualangan kecil mereka setiap harinya. Bersekolah di pagi hari,
berangkat mengaji di malam hari, memancing di muara bersama kawan-kawan;
berwudu di sungai saat subuh, tertidur di perahu dan diombang-ambingkan riak
sungai, juga berlomba menyelam ke bawah kapal-kapal yang melewati dermaga
Manowa.
Karakter-karakter yang ditampilkan di buku ini
unik-unik dan tidak akan sulit untuk disukai. Bahkan karakter yang disebut-sebut
“seram” oleh anak-anak. Kalau diminta memilih karakter favorit saya, maka saya
akan menyerah. Saya tidak bisa memilih. Saya menyukai semua karakter di buku
ini, kecuali si Bajak Laut dari kota beserta kawanannya yang meresahkan dan
menyusahkan itu. Saya menyukai Ode yang penggerutu tetapi setia kawan. Saya menyukai
pak Kapten yang galak tetapi berhati hangat. Saya menyukai Guru Rudi yang tegas
tetapi selalu menyimpan kelembutan. Saya menyukai Awang yang kerap menggunakan
keahlian menyelamnya untuk membantu kawan-kawannya. Saya menyukai semua warga
Manowa. Tetapi, kalau diminta memilih adegan favorit, saya rasa saya bisa. Saya
sangat menyukai adegan di mana Awang melompat ke sungai untuk mengambil pulpen
Mutia yang terjatuh ke lantai sekolah yang rumpang dan akhirnya tenggelam di dasar
sungai. Adegan ini tidak saja mengharukan, tetapi juga lucu. Saya tertawa sambil
sesenggukan saat membacanya.
Hal yang sangat menarik perhatian saya
tentang Si Anak Badai adalah daya kritik yang dikemas dalam konflik-konflik
yang diketengahkannya. Yang pertama adalah isu pendidikan. Ketika Malim memutuskan
untuk berhenti sekolah. Di daerah pesisir, hal semacam ini banyak terjadi. Anak-anak
nelayan lebih senang melaut bersama ayahnya atau mencari ikan sendiri untuk
mencari uang. Bagi mereka, sekolah tidak menjanjikan uang. Ketika membaca
bagian di mana Malim ingin berhenti sekolah, hati saya terkoyak.
“Cita-citaku menjadi saudagar besar. Itu tidak butuh sekolah. Aku akan mengumpulkan uang sedikit demi sedikit. Besok kubelikan kapal-kapal besar. Kapal kontainer. Kapal pesiar. Aku akan menjadi pemilik banyak kapal. Itu semua tidak butuh sekolah. Besok-besok, anak-anak kau, Ode, Awang, berenang-renang menghampiri kapalku, menunggu koin dijatuhkan. Penumpang kapal tidak bertanya tentang ijazah. Ikan di lautan juga tidak bertanya.”
(Dialog Malim, hal. 186)
Highlight
dari semuanya, tentu saja adalah konflik utamanya. Konflik semacam ini terasa
sangat familier. Betapa upaya relokasi karena pembangunan fasilitas umum seringkali
merugikan rakyat kecil. Dan tidak sedikit yang didalangi (lalu akhirnnya
dimenangi) oleh kepentingan-kepentingan besar. Si Anak Badai terasa
seperti upaya menuliskan harapan agar kemenangan berpihak pada si lemah. Sebagai
pembaca, saya turut menitipkan harapan itu lewat kisah Za dan kawan-kawannya
ini.
Empat setengah dari lima bintang untuk petualangan Za, Malim,
Awang, dan Ode membela kampung halamannya.
No comments:
Post a Comment