Pages

Saturday, October 05, 2019

Petualangan Empat Sekawan Membela Manowa


Judul buku: Si Anak Badai
Penulis: Tere Liye (Co-author: Sarippudin)
Halaman: Paperback, 318 halaman
Penerbit: Republika
Tahun terbit: Agustus 2019
ISBN13: 9786025734939
Aku menyimpan gagang pancing dan mendayung perahuku menuju tepian sungai. Aku menambatkannya persis di sebelah perahu Ode dan Awang. Kuambil sarungku dan kujadikan selimut, kemudian kurebahkan badanku di dasar perahu. Ode dan Awang juga sudah merebahkan badan.

Di atas kami bulan sabit bersinar.
“Besok lusa, kalau sudah besar, kalian mau jadi apa?” pertanyaanku memecah keheningan.
“Aku mau jadi pegawai kantor camat seperti bapak kau, Za,” jawab Ode dari dalam perahunya.
“Kau, Wang?
“Aku ingin jadi perenang yang menjuarai banyak perlombaan.”
(Percakapan Anak-anak Badai, hal. 160)

Tersebutlah kampung Manowa yang berdiri di atas sungai. Bersahaja dan permai. Warganya hangat dan santun, senang bergurau dan berpantun, taat ibadah dan menjaga gotong royong.  Suatu hari, kehadiran orang-orang kota mengusik ketenangan kampung Manowa. Seorang lelaki (dengan satu mata yang mengenakan perban) membawa kabar: mereka akan membangun pelabuhan besar di Manowa. Ini adalah kabar buruk bagi warga kampung Manowa. Mereka mencintai keseharian mereka yang bersahaja dan bertekad akan memelihara kehidupan mereka yang telah berlangsung begitu lama. Konspirasi pun disusun dengan licik. Pak Kapten yang bersuara lantang menentang pembangunan pelabuhan di Manowa, ditangkap polisi. Warga kampung Manowa merasa kehilangan kekuatan. Tak berdaya melawan taring dan cakar orang-orang kota yang angkuh itu. Alat-alat berat mulai memasuki Manowa, siap meruntuhkannya dalam waktu sekejap. Empat anak pemberani bernama Za, Malim, Awang, dan Ode pun tak bisa tinggal diam. Mereka tidak menyebut diri si Anak Badai tanpa alasan. Mereka sudah menaklukkan hantaman badai besar di laut lepas. Mereka tidak akan menyerah hanya karena gertakan si Bajak Laut dari kota beserta komplotan tukang pukulnya.
Si Anak Badai adalah buku pertama dari seri Anak-anak Nusantara yang saya baca. Sejak awal, buku ini seolah melempar saya jauh ke masa lalu, melontarkan saya kembali ke masa kecil saya yang penuh kegembiraan. Sejak cerita dimulai, saya sudah jatuh cinta pada kampung Manowa. Ia mengingatkan saya pada kampung nelayan tempat saya biasa bermain sewaktu kecil. Bedanya, kampung nelayan di desa tempat saya tinggal dulu, berdiri di pesisir pantai dan hanya dihuni para nelayan dan beberapa juragan udang. Sementara kampung Manowa, berdiri di atas sungai dan dihuni warga dari berbagai latar belakang.
Si Anak Badai adalah buku anak dengan latar yang kuat dan dibangun dengan adegan-adegan yang filmis. Sepanjang mengikuti kisahnya, saya seolah bisa mendengarkan langkah kaki anak-anak yang beradu dengan bilah bambu jembatan yang mengantarkan mereka ke sekolah, kecipak air sungai yang menghantam tiang penyangga sekolah Anak-anak Badai, juga klakson kapal yang selalu dinanti Za dan kawan-kawannya untuk berburu uang logam di hari-hari libur sekolah. Anehnya, saya berharap bisa menjadi salah satu dari Anak-anak Badai. Saya bisa membayangkan betapa serunya petualangan-petualangan kecil mereka setiap harinya. Bersekolah di pagi hari, berangkat mengaji di malam hari, memancing di muara bersama kawan-kawan; berwudu di sungai saat subuh, tertidur di perahu dan diombang-ambingkan riak sungai, juga berlomba menyelam ke bawah kapal-kapal yang melewati dermaga Manowa.
Karakter-karakter yang ditampilkan di buku ini unik-unik dan tidak akan sulit untuk disukai. Bahkan karakter yang disebut-sebut “seram” oleh anak-anak. Kalau diminta memilih karakter favorit saya, maka saya akan menyerah. Saya tidak bisa memilih. Saya menyukai semua karakter di buku ini, kecuali si Bajak Laut dari kota beserta kawanannya yang meresahkan dan menyusahkan itu. Saya menyukai Ode yang penggerutu tetapi setia kawan. Saya menyukai pak Kapten yang galak tetapi berhati hangat. Saya menyukai Guru Rudi yang tegas tetapi selalu menyimpan kelembutan. Saya menyukai Awang yang kerap menggunakan keahlian menyelamnya untuk membantu kawan-kawannya. Saya menyukai semua warga Manowa. Tetapi, kalau diminta memilih adegan favorit, saya rasa saya bisa. Saya sangat menyukai adegan di mana Awang melompat ke sungai untuk mengambil pulpen Mutia yang terjatuh ke lantai sekolah yang rumpang dan akhirnya tenggelam di dasar sungai. Adegan ini tidak saja mengharukan, tetapi juga lucu. Saya tertawa sambil sesenggukan saat membacanya.
Hal yang sangat menarik perhatian saya tentang Si Anak Badai adalah daya kritik yang dikemas dalam konflik-konflik yang diketengahkannya. Yang pertama adalah isu pendidikan. Ketika Malim memutuskan untuk berhenti sekolah. Di daerah pesisir, hal semacam ini banyak terjadi. Anak-anak nelayan lebih senang melaut bersama ayahnya atau mencari ikan sendiri untuk mencari uang. Bagi mereka, sekolah tidak menjanjikan uang. Ketika membaca bagian di mana Malim ingin berhenti sekolah, hati saya terkoyak.
Cita-citaku menjadi saudagar besar. Itu tidak butuh sekolah. Aku akan mengumpulkan uang sedikit demi sedikit. Besok kubelikan kapal-kapal besar. Kapal kontainer. Kapal pesiar. Aku akan menjadi pemilik banyak kapal. Itu semua tidak butuh sekolah. Besok-besok, anak-anak kau, Ode, Awang, berenang-renang menghampiri kapalku, menunggu koin dijatuhkan. Penumpang kapal tidak bertanya tentang ijazah. Ikan di lautan juga tidak bertanya.”

(Dialog Malim, hal. 186)
Highlight dari semuanya, tentu saja adalah konflik utamanya. Konflik semacam ini terasa sangat familier. Betapa upaya relokasi karena pembangunan fasilitas umum seringkali merugikan rakyat kecil. Dan tidak sedikit yang didalangi (lalu akhirnnya dimenangi) oleh kepentingan-kepentingan besar. Si Anak Badai terasa seperti upaya menuliskan harapan agar kemenangan berpihak pada si lemah. Sebagai pembaca, saya turut menitipkan harapan itu lewat kisah Za dan kawan-kawannya ini.
 Meskipun mengusung isu yang terbilang berat, Si Anak Badai tetap berhasil menyajikan cerita yang aman untuk dinikmati oleh anak-anak. Selain menyuguhkan petualangan anak-anak yang seru, bahasanya mudah dicerna. Dan yang tidak kalah penting, pengemasan konfliknya dapat dinikmati oleh anak-anak. Dikisahkan dari sudut pandang Za, cerita pun mengalir dengan sewajarnya, sebagaimana ia akan dikisahkan dari sudut pandang anak berusia dua belas. Ada batasan yang tak bisa dilampaui seorang anak. Walaupun Za dan kawan-kawannya adalah tokoh utama dalam cerita ini, mereka ditampilkan dengan sewajarnya. Mereka menyikapi hal-hal di sekelilingnya dengan sikap layaknya seorang anak. Begitu pula dalam bertindak dan mengambil keputusan. Beberapa pembaca dari kalangan orang dewasa mungkin sangat ingin tahu tentang intrik di balik upaya merubuhkan Manowa, dan berharap penyelesaikan konfliknya dapat dibuat lebih detail. Namun, cerita ini dipenuhi hal-hal sehari-hari yang melingkupi Za dan kawan-kawannya. Konflik-konflik khas anak-anak yang tampak kecil bagi orang dewasa, namun, merupakan semesta bagi anak-anak. Hal-hal yang sudah semestinya disajikan untuk anak-anak. Hal-hal tentang pertemanan, kesetiakawanan, pertaruhan harga diri khas anak-anak, dan seterusnya. Hal-hal yang akan membuat orang-orang dewasa merindukan dan mengenang lagi masa kanak-kanak mereka yang lugu, penuh kepolosan, dan penuh baik sangka.
 Pada akhirnya, Si Anak Badai adalah sebuah bacaan yang menyenangkan untuk diikuti, bahkan oleh orang dewasa. Beberapa kali saya dibuat tersenyum-senyum sendiri karena adegan-adegan tertentu, tingkah polah serta dialog tokoh-tokohnya. Di lain waktu, saya ikut merasakan geramnya warga Manowa yang tidak berdaya dengan keputusan sepihak pemerintah yang ingin merelokasi kampung mereka. Di bagian yang lain, saya ikut merasa marah saat Pak Kapten dibawa oleh petugas polisi.
 Saya pikir, pengisahan yang kuat adalah salah satu kelebihan Si Anak Badai. Karena alasan inilah, Si Anak Badai berhasil membuat para pembaca dewasanya ikut merasakan berbagai macam emosi. Sebuah fiksi anak yang baik adalah karya fiksi yang tidak saja mendampingi anak-anak untuk tumbuh baik secara mental, tidak semata-mata menghibur anak-anak yang membacanya, melainkan juga bisa menyentuh hati orang dewasa. Seperti yang telah dilakukan Si Anak Badai terhadap saya. Kelebihannya yang lain adalah nilai-nilai yang disisipkan lewat adegan demi adegan yang berkesan dan terjalin rapi, yang dideskripsikan dengan detail sehingga menciptakan visualisasi yang kuat di benak pembaca. Sepanjang membaca kisah ini, saya bisa membayangkan detail setiap adegannya di dalam kepala saya. Satu-satunya yang tidak bisa saya bayangkan adalah, bagaimana kalimat-kalimat dialog para tokohnya diucapkan. Terutama pengucapan seruan "Oi!" yang legendaris di Manowa itu.
 Saya beharap, suatu saat nanti, buku ini bisa dipinang oleh sebuah rumah produksi untuk dialihwahana menjadi film. Tentu Si Anak Badai akan menjadi tontonan keluarga yang menghangatkan hari-hari libur sekolah.
Empat setengah dari lima bintang untuk petualangan Za, Malim, Awang, dan Ode membela kampung halamannya.


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...