Pages

Wednesday, November 07, 2018

Represi: Sebuah Fiksi Remaja yang Memotret Fenomena Percobaan Bunuh Diri


Judul buku: Represi
Jumlah halaman: 264 halaman paperback
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: September 2018
ISBN13: 9786020611945

Anna menatap wajahya selama beberapa saat, sebelum berpaling  dengan muak.
Dia benci melihat wajahya.
Dia benci dirinya sendiri.
(Halaman 15)

Di hadapan ayahnya, Anna selalu menjadi gadis yang kuat. Di hadapan ibunya, Anna selalu menjadi gadis pemberani. Tidak ada yang tahu, Anna selalu memikirkan mati. Lalu suatu hari, Anna melakukannya. Untungnya, percobaan bunuh dirinya gagal. Meski begitu, pikiran untuk mati itu tidak hilang begitu saja. Anna belum berdamai dengan masa lalunya. Anna belum memaafkan dirinya.
Membaca Represi membuat saya merenungi lagi, betapa menakutkannya pikiran terdalam manusia. Mereka menyembunyikan hal terkelam jauh di dasar dirinya. Ketika hal-hal terpendam tersebut kemudian menggunung, ia pun meledak, dan menghancurkan tuannya. Dalam Represi, hal tersebut terjadi pada Anna. Buku ini mengisahkan perjalanan Anna melawan dirinya sendiri, mengalahkan masa lalunya yang masih menghantui mimpi-mimpinya—seakan ingin menelannya hidup-hidup. Bisa dibilang, Represi merupakan perjalanan Anna menjalani sesi demi sesi konseling untuk menyembuhkan trauma dan luka batinnya. Sesi tersebut dikisahkan sangat intens sehingga rasanya seperti berada di dalam ruangan bersama Anna dan psikolog-nya.
Awalnya, saya merasa sulit untuk terhubung dengan tokoh Anna. Mungkin karena pengisahan dari sudut pandang ketiga yang membuat saya merasa tersekat terlalu jauh dengan sang tokoh (beserta segala kekacauan dalam hidupnya). Saya merasa seolah Anna adalah pasien yang berpapasan dengan saya di ruang tunggu sebuah klinik psikologi, lalu seseorang yang merasa sangat mengenal Anna bercerita kepada saya mengenai Anna. Saya baru bisa merasa bersimpati kepada Anna ketika ia mulai membuka dirinya pelan-pelan—hingga rahasia demi rahasia kelamnya terkuak.
Ada beberapa hal menarik dari Represi. Hal yang paling saya ingat adalah interaksi dan pola komunikasi Anna dengan orang tuanya, yang kemudian membuat saya akhirnya menyadari, bagaimana pribadi yang rapuh seperti Anna bisa terbentuk. Di sinilah saya mulai bersimpati pada Anna. Betapa sulitnya hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Ini adalah pola yang sangat familier dengan keseharian kita: di mana orang tua adalah pemegang kendali. Tak hanya soal pilihan, bahkan perihal bagaimana kita harus berpikir, bersikap, dan merasakan emosi pun seolah sudah menjadi hak absolut mereka. Gagasan yang coba dikemukakan Represi dapat menjadi rekomendasi yang layak dan agat perlu diperhatikan para orang tua. Terutama bagi mereka yang memiliki anak-anak di fase usia jelang remaja, remaja, dan dewasa muda.
Ayahnya tidak suka anak yang cengeng dan ibunya selalu mengatakan bahwa apa pun yang terjadi, dia harus berani (halaman 19).
Hal menarik lainnya, bagi saya, adalah bagaimana sebuah peristiwa traumatik bisa memberi dampak yang berbeda-beda bagi tiap orang. Setelah benturan besar dalam hidup, semua orang yang mengalaminya jelas akan terluka. Beberapa bisa melanjutkan hidup dan berupaya keras mengejar ketertinggalan langkahnya dengan mereka yang tidak mengalami hal serupa. Tapi bagi sebagian lainnya, waktu telah berhenti. Dan yang mereka lakukan adalah berjalan di kehampaan dan kehilangan alasan-alasan yang dibutuhkan untuk hidup.
Bagian yang paling saya sukai dari Represi adalah kehadiran keempat sahabat Anna. Ya Tuhan, saya sangat menyayangi mereka semua: Saka, Hani, Nika, dan Ouji. Anna beruntung sekali memiliki mereka dalam hidupnya. Mereka selalu ada bahkan di saat Anna memilih untuk menghilang dari mereka. Mereka hadir sebagai penyemangat, serta Kotak-Stok-Kasih-Sayang yang tak diciptakan dengan bakat menghakimi. Saya berharap, agar setiap dari kita juga bisa memiliki Saka, Hani, Nika, dan Ouji kita sendiri-sendiri.
Kisah Anna mungkin tidak selalu terjadi, tetapi jelas bisa terjadi kapan saja dan bisa menimpa siapa saja. Anna mungkin adalah tetangga kita, atau teman kita di sekolah, atau anak dari sahabat orang tua kita. Dan semoga kisah Anna bisa menjadi pengingat bagi kita untuk selalu menempatkan diri seperti Saka, Hani, Nika, dan Ouji—yang hanya ingin bertanya, "Kamu baik-baik saja, 'kan?" atau "Nomorku masih yang dulu, siapa tahu kamu ingin mengobrol. Saya juga masih seperti dulu, senang mendengarkan kisah apa saja." Lalu dengan berani merekomendasikan teman-teman kita yang memiliki gejala depresi untuk mencari pertolongan tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater.
Isu kesehatan mental telah menjadi isu populer belakangan ini. Suicidal Thought bukan lagi produk fiksi semata. Ia juga bukan lagi fenomena ekslusif negara-negara Barat. Di Indonesia sendiri, kasus bunuh diri, meski data statistik menunjukkan penurunan angka kasus dari tahun ke tahun sejak tahun 2005, namun selalu dilaporkan terjadi setiap tahunnya. Dalam 1 kasus bunuh diri, diasumsikan ada 20 kasus percobaan bunuh diri di baliknya. Represi mencoba memotret satu sisi dari fenomena ini, dan mencoba menggugah kesadaran kita untuk mulai memberi perhatian besar mengenai isu ini. Dalam upayanya yang demikian, Represi mengajak kita untuk sejenak meluangkan waktu, melihat sekeliling; berupaya sebaik mungkin menjadi pribadi yang berhati-hati agar tidak sampai melukai orang lain; menjadi teman yang dipercaya untuk membagi cerita; menjadi orang tua yang lebih banyak mendengar serta mendefinisikan lagi "membebaskan anak dalam batasan" dengan lebih bijaksana.

1 comment:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...