Judul buku: Represi
Jumlah halaman: 264 halaman paperback
Penulis: Fakhrisina Amalia
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: September 2018
ISBN13: 9786020611945
Anna
menatap wajahya selama beberapa saat, sebelum berpaling dengan muak.
Dia benci
melihat wajahya.
Dia benci
dirinya sendiri.
(Halaman
15)
Di hadapan ayahnya, Anna selalu menjadi gadis yang kuat. Di hadapan
ibunya, Anna selalu menjadi gadis pemberani. Tidak ada yang tahu, Anna selalu
memikirkan mati. Lalu suatu hari, Anna melakukannya. Untungnya, percobaan bunuh
dirinya gagal. Meski begitu, pikiran untuk mati itu tidak hilang begitu saja.
Anna belum berdamai dengan masa lalunya. Anna belum memaafkan dirinya.
Membaca Represi membuat saya merenungi
lagi, betapa menakutkannya pikiran terdalam manusia. Mereka menyembunyikan hal
terkelam jauh di dasar dirinya. Ketika hal-hal terpendam tersebut kemudian menggunung, ia pun meledak, dan
menghancurkan tuannya. Dalam Represi, hal tersebut terjadi pada
Anna. Buku ini mengisahkan perjalanan Anna melawan dirinya sendiri, mengalahkan
masa lalunya yang masih menghantui mimpi-mimpinya—seakan ingin menelannya hidup-hidup.
Bisa dibilang, Represi merupakan perjalanan
Anna menjalani sesi demi sesi konseling untuk menyembuhkan trauma dan luka
batinnya. Sesi tersebut dikisahkan sangat intens sehingga rasanya seperti
berada di dalam ruangan bersama Anna dan psikolog-nya.
Awalnya, saya merasa sulit untuk terhubung dengan tokoh Anna. Mungkin
karena pengisahan dari sudut pandang ketiga yang membuat saya merasa tersekat terlalu
jauh dengan sang tokoh (beserta segala kekacauan dalam hidupnya). Saya merasa
seolah Anna adalah pasien yang berpapasan dengan saya di ruang tunggu sebuah klinik
psikologi, lalu seseorang yang merasa sangat mengenal Anna bercerita kepada saya
mengenai Anna. Saya baru bisa merasa bersimpati kepada Anna ketika ia mulai
membuka dirinya pelan-pelan—hingga rahasia demi rahasia kelamnya terkuak.
Ada beberapa hal menarik dari Represi. Hal yang paling saya
ingat adalah interaksi dan pola komunikasi Anna dengan orang tuanya, yang
kemudian membuat saya akhirnya menyadari, bagaimana pribadi yang rapuh seperti
Anna bisa terbentuk. Di sinilah saya mulai bersimpati pada Anna. Betapa
sulitnya hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Ini adalah pola yang
sangat familier dengan keseharian kita: di mana orang tua adalah pemegang
kendali. Tak hanya soal pilihan, bahkan perihal bagaimana kita harus berpikir,
bersikap, dan merasakan emosi pun seolah sudah menjadi hak absolut mereka.
Gagasan yang coba dikemukakan Represi dapat menjadi
rekomendasi yang layak dan agat perlu diperhatikan para orang tua. Terutama bagi
mereka yang memiliki anak-anak di fase usia jelang remaja, remaja, dan dewasa
muda.
Ayahnya tidak suka anak yang cengeng dan ibunya selalu mengatakan bahwa apa pun yang terjadi, dia harus berani (halaman 19).
Hal menarik lainnya, bagi saya, adalah bagaimana sebuah peristiwa traumatik
bisa memberi dampak yang berbeda-beda bagi tiap orang. Setelah benturan besar dalam hidup, semua orang
yang mengalaminya jelas akan terluka. Beberapa bisa melanjutkan hidup dan
berupaya keras mengejar ketertinggalan langkahnya dengan mereka yang tidak
mengalami hal serupa. Tapi bagi sebagian lainnya, waktu telah berhenti. Dan yang
mereka lakukan adalah berjalan di kehampaan dan kehilangan alasan-alasan yang
dibutuhkan untuk hidup.
Bagian yang paling saya sukai dari Represi adalah kehadiran keempat
sahabat Anna. Ya Tuhan, saya sangat menyayangi mereka semua: Saka, Hani, Nika,
dan Ouji. Anna beruntung sekali memiliki mereka dalam hidupnya. Mereka selalu
ada bahkan di saat Anna memilih untuk menghilang dari mereka. Mereka hadir
sebagai penyemangat, serta Kotak-Stok-Kasih-Sayang
yang tak diciptakan dengan bakat menghakimi. Saya berharap, agar setiap dari
kita juga bisa memiliki Saka, Hani, Nika, dan Ouji kita sendiri-sendiri.
Kisah Anna mungkin tidak selalu terjadi, tetapi jelas bisa terjadi
kapan saja dan bisa menimpa siapa saja. Anna mungkin adalah tetangga kita, atau
teman kita di sekolah, atau anak dari sahabat orang tua kita. Dan semoga kisah
Anna bisa menjadi pengingat bagi kita untuk selalu menempatkan diri seperti
Saka, Hani, Nika, dan Ouji—yang hanya ingin bertanya, "Kamu baik-baik
saja, 'kan?" atau "Nomorku masih yang dulu, siapa tahu kamu ingin
mengobrol. Saya juga masih seperti dulu, senang mendengarkan kisah apa
saja." Lalu dengan berani merekomendasikan teman-teman kita yang memiliki gejala depresi untuk mencari pertolongan tenaga profesional seperti
psikolog atau psikiater.
Isu kesehatan mental telah menjadi isu
populer belakangan ini. Suicidal Thought
bukan lagi produk fiksi semata. Ia juga bukan lagi fenomena ekslusif negara-negara
Barat. Di Indonesia sendiri, kasus bunuh diri, meski data statistik menunjukkan
penurunan angka kasus dari tahun ke tahun sejak tahun 2005, namun selalu dilaporkan terjadi setiap tahunnya. Dalam 1 kasus bunuh diri, diasumsikan ada
20 kasus percobaan bunuh diri di baliknya. Represi mencoba memotret satu
sisi dari fenomena ini, dan mencoba menggugah kesadaran kita untuk mulai
memberi perhatian besar mengenai isu ini. Dalam upayanya yang demikian, Represi mengajak kita untuk
sejenak meluangkan waktu, melihat sekeliling; berupaya sebaik mungkin menjadi pribadi
yang berhati-hati agar tidak sampai melukai orang lain; menjadi teman yang
dipercaya untuk membagi cerita; menjadi orang tua yang lebih banyak mendengar
serta mendefinisikan lagi "membebaskan anak dalam batasan" dengan
lebih bijaksana.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete