Pages

Sunday, January 31, 2016

17 Kisah Cinta Klasik Dari 17 Pengarang Besar Dunia


Jumlah halaman: 231 halaman paperback
Penerjemah: Atta Verin & Anton Kurnia 
Penyunting: Anton Kurnia 
Penerbit: Serambi
Tahun terbit: Juni 2011
ISBN: 978-979-024-357-6
Cinta Tak Pernah Mati merupakan bunga rampai cerita pendek-cerita pendek klasik pilihan dari 17 pengarang besar dunia. Ryunosuke Akutagawa (Jepang), Honoré de Balzac (Perancis), Bjornstjerne Bjornson (Norwegia), Anton Chekov (Rusia), Fyodor Dostoevsky (Rusia), John Glasworthy (Inggris), O. Henry (Amerika Serikat), James Joyce (Irlandia), Rudyard Kipling (Inggris), W. somerset Maugham (Inggris), Guy de Maupassant (Perancis), Edgar Allan Poe (Amerika Serikat), August Strindberg (Swedia), Rabindranath Tagore (India), Leo Tolstoy (Rusia), Mark Twain (Amerika Serikat), dan Émile Zola (Perancis). Ketujuhbelas penulis legenda ini mengisahkan cinta dari tujuh belas sudut pandang, dengan kekhasan interpretasi masing-masing. Cinta kasih pada sesama. Cinta pada binatang buas. Cinta pada kekasih. Cinta kepada anak. Cinta pada hewan peliharaan. Begitulah. Dari cinta platonis hingga cinta teologis dapat ditemukan dalam bunga rampai ini, tersaji dalam beragam genre: surealis hingga realis.
Daya tarik karya sastra klasik bagi saya adalah ‘membaca masa lalu’. Menarik saja rasanya, bisa membandingkan situasi masa lalu dengan keadaan yang sedang berlangsung di masa sekarang. Bukan itu saja. Sebagai penggemar berat aspek-aspek estetis, saya selalu dibuat penasaran oleh cerita bergaya kuno yang seringkali dianggap membosankan oleh orang-orang. Omong-omong tentang itu, saya juga percaya, modernitas mengasah ketajaman estetika karya-karya sastra modern sehingga, entah bagaimana bisa, karya sastra modern akan tampil jauh lebih menawan. Karena itulah, saya selalu menghormati karya-karya klasik, yang tidak lain, telah memancangkan tonggak awal kesusatraan di berbagai belahan dunia.
Sejak awal membaca Cinta Tak Pernah Mati, perhatian saya dengan serta merta tertuju pada gagasan-gagasan para pengarang yang, saya percayai, merepresentasikan situasi sosial di periode waktu tertentu. Kondisi psikososial masyarakat di masa ketika cerita tertentu dituliskan. Membuat saya mulai berspekulasi mengenai peta sosiohumanistik dan moralitas yang merebak di tengah masyarakat negara tertentu. 
Cerpen Ryunosuke Akutagawa yang berjudul Suatu Hari di Surga, misalnya. Bercerita tentang seorang pendosa bernama Kandata yang dijerumuskan ke neraka. Namun, suatu hari, sang Budha yang mahabaik, memberinya kesempatan untuk keluar dari neraka dengan mengirimkan jaring laba-laba yang panjang agar Kandata dapat memanjatinya. Sang Budha melakukan itu karena teringat perbuatan baik Kandata yang tidak jadi membunuh seekor laba-laba ketika menemukannya di hutan. Kandata pun menemukan jarring panjang kiriman sang Budha dan mulai memanjat. Tetapi, ketika para pendosa lain ikut memanjati jaring laba-laba, Kandata menghardik seluruh pendosa yang memanjat di bawah kakinya. Sehingga sang Budha yang kecewa, lantas memutuskan jaring laba-laba itu, karena ternyata Kandata tidak layak untuk diselamatkan dari neraka. Saya membayangkan, Ryunosuke Akutagawa muda yang mengidap skizofrenia, menuliskan kisah ini sambil membayangkan Jepang, atau mungkin juga dunia, yang lebih baik, jika setiap orang memiliki cinta kasih dan hati yang lembut terhadap sesama. Atau, yang sedikit lebih besar dari itu: alangkah baiknya, jika dunia berbaik dan lembut hati kepadanya, agar tidak mengutuknya dengan halusinasi yang membuatnya putus asa hingga ia akhirnya memutuskan untuk bunuh diri (hal. 9-14)
Lalu, cerpen Mark Twain yang berjudul Keberuntungan, tampaknya adalah satir yang ditujukan kepada penguasa di masa itu. Cerita ini mengisahkan seorang tentara bernama Scoresby yang dungu tapi beruntung. Dia menapaki karir kemiliterannya hingga menjadi panglima besar yang dihormati hanya bermodalkan keberuntungannya. Mulai dari lulus ujian dengan nilai tertinggi, hingga memenangkan perang besar yang dipimpinnya.
Masih ada lagi beberapa cerita pendek lainnya yang sangat menarik perhatian saya. Yang pertama, karya pengarang klasik favorit saya (sejak membaca The Jungle Book) Rudyard Kipling. Cerita pendeknya yang berjudul Hantu Mantan Kekasih berkisah tentang seorang lelaki Pematah Hati bernama Pansay yang pada akhirnya jatuh cinta dengan sungguh-sungguh pada seorang gadis setelah meninggalkan istri seorang tentara bernama Nyonya Wessington. Setelah menolak dan mencampakkan Nyonya Wessington, wanita itu akhirnya meninggal dunia. Dan Pansay pun menjadi gila. Dia melihat Nyonya Wessington di mana-mana. Dia mendengar suaranya dan bercakap-cakap dengannya. Sementara seisi kota mulai menggunjingnya sebagai orang gila. Pansay akhirnya mendapat perawatan di rumah seorang dokter. Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang oleh sang Dokter disebut sebagai pil hati, Pansay berangsur sembuh. Tapi kemudian dia kembali melihat hantu Nyonya Wessington. Dan pengobatannya yang selanjutnya membuat kondisinya bertambah buruk dari waktu ke waktu. Saya bertanya-tanya, apa Kipling sedang menulis cerita tentang pengidap skizofrenia dan bukannya cerita hantu? (hal. 130-163).
Cerita pendek lain yang menarik perhatian saya adalah karya Rabindranath Tagore yang berjudul Kesetiaan dan karya Leo Tolstoy (yang juga adalah pengarang klasik favorit saya) yang berjudul Kebahagiaan. Kedua cerita ini tidak saja mengandung moral semata (sangat jelas keduanya dituliskan untuk tujuan itu), melainkan juga nilai relijius. Kesetiaan berkisah tentang patahnya kesetiaan seorang pertapa kepada Tuhan karena penderitaan seorang perempuan bernama Gouri. Pada akhirnya, keteguhan tekad sang Pertapa untuk menyelamatkan Gouri berbuah kesia-siaan. Rabindranath Tagore seolah ingin mengingatkan pembacanya bahwa, kepada iman sajalah kita seharusnya berpegang teguh, agar segala hal yang kita lakukan tidak sia-sia. Dan karena hal keduniawian sangatlah semu (hal. 200-205). Sedang Kebahagiaan berkisah tentang sepasang suami istri kaya raya yang jatuh miskin di hari tuanya. Namun, mereka mengaku belum pernah merasa sebahagia ketika mereka telah jatuh miskin dan menjadi pekerja di rumah orang lain. Ketika kaya raya, mereka tidak memiliki waktu untuk satu sama lain, untuk mengingat Tuhan, dan selalu merasa cemas akan hewan ternak dan tamu-tamu mereka. Sehingga mereka seringkali berselisih paham. Tetapi setelah menjadi abdi di rumah seorang pemuda kaya, kehidupan mereka jungkir balik. Segalanya menjadi begitu terbalik. Mereka memiliki lebih banyak waktu untuk berbicara dari hati ke hati, untuk merenungi hidup mereka, dan berdoa kepada Tuhan. Hidup mereka menjadi jauh lebih tenang (hal. 206-2012). Bagi saya, ini adalah cerita paling hangat dari keseluruhan cerita dalam buku ini.
Cerpen selanjutnya yang menarik perhatian saya adalah Cinta Tak Pernah Mati karya Honoré de Balzac. Cerita ini dengan serta merta mengingatkan saya pada Life of Pi yang terkenal itu. Tapi tentu saja, kedua buku ini tidak saling berhubungan. Cinta Tak Pernah Mati dituliskan oleh pengarang yang hidup hingga abad ke-18. Sedang Yann Martel menuliskan Life of Pi di abad ke-21 yang terinspirasi dari kisah nyata. Cinta Tak Pernah Mati berkisah tentang seorang tentara yang berhasil melarikan diri dari penawanan musuh. Sialnya, dia tersesat di gurun pasir yang sunyi dan hanya dihuni makhluk buas. Suatu hari, seekor macan memangsa kudanya dan datang kepadanya. Meski sadar nyawanya terancam, sang Tentara masih berkeinginan menjinakkan sang Macan, dan akhirnya dia pun berhasil melakukannya. Sang Tentara dan sang Macan Betina akhirnya menjadi kawan. Lebih dari itu, keduanya terbelit ikatan emosional yang kuat. Sang Tentara yang kesepian akhirnya merasa hidup kembali, dan sang Macan begitu jinak di bawah sentuhannya. Tapi pada akhirnya, prasangka merusak persahabatan mereka. Sang Tentara berkhianat. Dan hidupnya menjadi gelisah selamanya. Ini cerita yang sangat menarik bagi saya. Betapa manusia tidak bisa hidup sendirian. Betapa sulitnya menekan rasa cinta yang membutuhkan pemuasan, yang ketika ia tidak terpenuhi, ia bisa terlampiaskan kepada apa pun: bahkan jika itu membahayakan sekalipun. Dan betapa prasangka adalah pembunuh yang berbahaya dan kejam.
Cerita pendek terakhir yang menarik perhatian saya adalah Ibunda karya James Joyce. Saya tidak akan meringkas cerita pendek itu di sini. Karena aspek yang menarik perhatian saya adalah gaya bercerita sang Penulis. James Joyce (1882-1941), dalam biografi singkatnya di buku ini, disebut-sebut sebagai pelopor prosa modern yang mengembangkan teknik menulis—yang kemudian dikenal sebagai—stream of consciousness dan mengilhami banyak pengarang dari generasi berikutnya (hal. 128). Ibunda adalah cerita yang menyenangkan untuk diikuti. Bahkan ketika tokoh utamanya tidak simpatik dan cukup menyebalkan. James Joyce menulisnya dalam bentuk episodik (menggunakan urutan waktu: tokoh melakukan ini lalu itu), dan dialog yang sangat luwes. Karena itulah, ketika membaca biografi singkatnya, saya langsung menjentikkan jari: “Pantas saja!”.
Ada hal unik lainnya yang saya temukan dari cerita pendek-cerita pendek di buku ini: beberapa cerita pendek dituliskan dengan berbingkai. Cerita dalam cerita. Teknik ini dilakukan penulis-penulis yang hidup di abad 18 hingga awal abad 19, seperti Balzac, Kipling, O. Henry, Dostoevsky, dan Maugham. Tampaknya itu semacam tren sastra yang berkembang di masa itu.
Pada akhirnya, hal lain yang sangat saya sukai dari buku ini adalah biografi mini pengarang-pengarangnya yang disematkan setelah sebuah cerita pendek berakhir. Kisah hidup mereka benar-benar sedramatis cerita-cerita yang mereka tuliskan.
Ini mungkin saja pembacaan paling personal yang pernah saya lakukan. Tapi, bukankah karya sastra memang diciptakan untuk menghibur? Dan ya, saya terhibur berkat buku ini. Sangat. Empat dari lima bintang untuk kisah-kisah usang yang mengayakan ini.
This pic's modified by me Click here to see the source

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...