Judul buku: Kei (Kutemukan Cinta di Tengah Perang)
Kei—pulau yang terletak di bagian tenggara Kepulauan Maluku—yang tenang, yang warga beragam agamanya hidup berdampingan dengan rukun dalam pengaturan adat yang luhur, tiba-tiba saja bergolak. Elaar, Watran, Tual, Langgur, terlalap kerusuhan yang entah muasalnya. Namira Evav yang baru saja menuntaskan tari sosoy swar man vuun-nya bersama sahabatnya, Mery, dan gadis-gadis Elaar lainnya harus tunggang langgang mencari tempat perlindungan.
Penulis: Erni Aladjai
Editor: Jia Effendie
Jumlah halaman: x+254 halaman
Tahun terbit: 2013
Penerbit: GagasMedia
Penghargaan: Novel Unggulan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012
Kei—pulau yang terletak di bagian tenggara Kepulauan Maluku—yang tenang, yang warga beragam agamanya hidup berdampingan dengan rukun dalam pengaturan adat yang luhur, tiba-tiba saja bergolak. Elaar, Watran, Tual, Langgur, terlalap kerusuhan yang entah muasalnya. Namira Evav yang baru saja menuntaskan tari sosoy swar man vuun-nya bersama sahabatnya, Mery, dan gadis-gadis Elaar lainnya harus tunggang langgang mencari tempat perlindungan.
Memutuskan
tangan yang saling menggandeng dan tercerai ke kamp-kamp pengungsian. Begitu
pula dengan Sala, pemuda itu baru saja kembali dari Mun kahar—sebuah pulau di
kei besar, mengantarkan pisau pesanan pelanggan ibunya, saat ia mendapati
ibunya bersimbah darah, menjadi korban kerusuhan. Perang saudara terjadi antara
Orang Merah--penduduk beriman Kristiani—dan Orang Putih—penduduk
pemeluk Islam. Desa tetangga seketika menjadi musuh. Kerusuhan Ambon telah
menjalar ke pulau-pulau kecil laksana api, tak terkendali. Seolah melupakan
ajaran leluhur tentang persaudaraan adat yang kokoh.
Namira,
seperti halnya sebagian besar warga Elaar, kehilangan kedua orang tuanya.
Bersama penduduk Elaar yang lain, ia diungsikan ke Langgur yang masih relatif
aman. Sementara itu, pemuda cerdas dan pemberani, Sala, menolak melakukan balas
dendam terhadap penyerang. Meski dirinya Orang Merah, Sala ingin
melindungi Orang Putih. Ia pun meninggalkan Watran dan bergabung dengan
relawan di Langgur. Menjaga pengungsi wanita dan anak-anak yang berlindung di
gereja. Tak peduli warnanya. Tak peduli agamanya. Di sanalah Namira dan Sala
bertemu. Di kegelapan hutan yang membutakan. Sala menjelma penyelamat bagi
Namira. Lalu dimulailah kisah kasih keduanya, dalam bingkai perang saudara dan
perbedaan warna. Sala yang Merah dan Namira yang Putih.
Dari atas, asap hitam yang menyelubungi Pulau Watran makin menebal, bagai gumpalan awan menjelang hujan deras. April menjadi bulan kobaran api (hal. 43).
Saya
menemukan banyak sekali kosakata asing di bab-bab awal buku ini.
Kosakata bahasa Indonesia yang tidak familiar bagi saya. Tapi bagi saya, di
sanalah salah satu letak kekayaan Kei . Menjengguk (19), terjengat
(22), Angin limbubu (27), menjelanak (28), roti kasbi (29), ditungkupi (31),
lisut (31), seruit (35), bekersik (42), pameo (66), perigi (71), rampak (72),
merembang (79), mambang (106). Saya tidak berinisiatif membuka KBBI untuk
mengetahui artinya. Saya membiarkan intuisi estetis menuntun saya menuju sebuah
pemahaman subyektif. Setelah itu, saya tidak lagi menghitung kosakata yang
sulit bagi saya. Saya larut dalam petuah-petuah bijak suku Kei, aturan adat
yang bertujuan memelihara sumber daya alam Pulau Kei yang kaya, juga fakta
memilukan perang saudara kala itu. Dan tentu saja, dalam penuturan Erni Aladjai
yang adiktif. Erni bercerita dengan kalimat-kalimat pendek yang efektif. Dengan
ritme yang stabil, Erni menggambarkan situasi pedesaan yang jauh dari kemilau
modernitas, dan tokoh-tokoh berkulit putih berambut hitam-panjang-lurus dengan
indah. Rasanya, saya hanya ingin membaca. Lagi dan lagi.
“Tutup Sasi itu upacara adat yang mengatur pengambilan sumber daya alam di pulau kami ini. Hukum Sasi melarang orang-orang mengambil sumber daya alam dalam rentang waktu enam bulan. Hukum adat ini juga melarang setiap orang mengganggu ekosistem laut. Tutup Sasi memberi waktu makhluk hidup untuk tumbuh, bereproduksi sekaligus melindungi ekosistem. Semua pulai di Kei, punya ritual sasi. Itu sebagai bentuk penghormatan kami pada laut. Sebab kami hidup dari laut. (hal 14-15).“Orang yang melanggar akan menanggung malu yang tak terperikan” (hal. 15).
Kei dibangun dari adegan-adegan yang realistis, yang dilakoni
oleh tokoh-tokoh yang anti-hero. Resiko yang tidak selalu diambil
seorang penulis jika tidak ingin kehilangan pembaca. Sala yang memiliki jiwa
kemanusiaan tinggi dan keinginan kuat untuk memberi andil dalam perdamaian di
Kei, pada akhirnya tak mampu mewujudkan harapan-harapan kecilnya. Namira yang
mengerahkan segenap usahanya untuk memedulikan sekelilingnya, pada akhirnya tak
bisa menolong dirinya sendiri dari kehilangan-kehilangan. Di tangan Erni
Aladjai, tokoh-tokoh itu seolah benar-benar lahir dari rahim Kei, dengan segala
ciri lokalitasnya yang khas.
Kei memilih Namira Evav sebagai tokoh sentral. Pusat
pengembangan alur. Pengisahan bermula dari Namira yang hendak kembali ke
kampung halamannya setelah dua tahun meninggalkan Kei akibat kerusuhan. Lalu
kisah mengenai kerusuhan mengalir dalam fragmen kilas balik. Beberapa kali,
pengisahan berpindah ke sudut pandang Sala. Namun sayangnya, setelah kilas
balik berakhir, cerita ini seolah kehilangan daya kejutnya. Grafik klimaks
menurun dengan cepat dan tajam. Hanya akhir ceritalah yang menjadi penyemangat
bagi pembaca untuk menuntaskan kisah ini.
Terlahir
dari riset yang mendalam, Kei hadir dengan fakta sejarah yang sarat akan
semangat persaudaraan dan penyatuan keberagaman etnis serta agama. Pembaca
akan mengagumi nilai-nilai moral warisan leluhur masyarakat Kei yang menjaga
kelestarian alamnya, dan perdamaian antarbeda yang mengagumkan. Kei mengetengahkan
konten SARA dengan hati-hati. Erni Aladjai telah lebih dulu menarik garis aman,
sebelum meledakkan isu-isu yang rawan pertentangan. Sekali lagi, dengan
hati-hati dan dengan intensitas tinggi, penulis menegaskan bahwa Kerusuhan
Ambon 1999 bukanlah sekadar tragedi kemanusiaan sebagaimana yang bisa diingat
masyarakat Indonesia. Melainkan sebuah rekayasa yang digulirkan setelah lebih
dulu didesain sedemikian matang. Setitik nyala kecil untuk lautan api
mahadahsyat. Cukup disayangkan, dominasi pengisahan kerusuhan yang seolah tak
ada habisnya, akhirnya menenggelamkan unsur roman yang tentu sangat ditunggu
pembacanya.
Namun,
tentu saja, Kei hadir untuk mengingatkan kita akan harmonisasi kehidupan
antarumat beragama yang saat ini telah terkikis karena fanatisme golongan. Dan
betapa petuah leluhur, seusang, sekuno, sepurba apa pun ia nampaknya, tetaplah
ia lahir dari perenungan mendalam. Mengandung kebijaksanaan keramat yang mampu
meredam bara pertikaian.
Kei saya rekomendasikan bagi penikmat sastra Indonesia yang haus
cita rasa lokal. Juga bagi para pencinta roman yang selalu disuguhi roman-roman
bergaya mainstream.
No comments:
Post a Comment