 Book title: Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan Ada
Book title: Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan AdaPage: 200 pages
Author: Leo Tolstoy
Translator: Atta Verin
Editor: Anton Kurnia
Publisher: Serambi
Time Published: Februari 2011
Di Mana Ada Cinta Di Sana Tuhan Ada adalah salah satu 
judul cerita pendek yang diambil menjadi judul kumpulan cerita pendek 
karangan Leo Tolstoy ini. Kumpulan cerita pendek ini terdiri dari lima 
cerita pendek: Di Mana Ada Cinta Di Sana Tuhan Ada, Tuhan Tahu Tapi 
Menunggu, Tiga Pertapa, Majikan & Pelayan, dan Dua Lelaki Tua.
Di Mana Ada Cinta Di Sana Tuhan Ada
 bercerita tentang seorang lelaki tua bernama Martin yang bermimpi 
didatangi Kristus. Ia pun menunggu Kristus sepanjang hari itu. Tapi yang
 ditemuinya hanyalah orang-orang miskin yang kelaparan, kedinginan, 
& tak memiliki rumah. Tuhan Tahu Tapi Menunggu bercerita tentang 
Seorang lelaki bernama Ivan Dmitrich Aksionov yang dipenjara atas 
kesalahan yang tidak diperbuatnya, yang membuatnya mendekam selama 26 
tahun di penjara dan meninggal di sana. Di hari tuanya yang 
dihabiskannya di dalam penjara, Aksionov menjelma lelaki tua yang saleh,
 yang tidak berniat menghukum lelaki tua yang membuatnya dipenjara, saat
 mereka bertemu di dalam penjara yang sama. Dari lima cerita di dalam 
buku ini, Dua Lelaki Tua adalah cerita yang paling saya 
favoritkan. Berkisah tentang seorang kakek bernama Elisha dan Efim yang 
melakukan perjalanan menuju Yerusalem untuk mengunjungi Makam Suci 
Kristus. Di tengah perjalanan Elisha yang tubuhnya tidak sekuat Efim, 
berhenti untuk meminta air minum di rumah penduduk di sebuah desa. 
Sementara Efim melanjutkan perjalanannya dan menunggu janji Elisha untuk
 menyusulnya, Elisha harus menghabiskan hari-harinya, berikut tenaga dan
 uangnya untuk membantu warga desa yang sedang dilanda kelaparan dan 
wabah penyakit itu, hingga ia tidak memiliki cukup uang untuk 
melanjutkan perjalanan dan akhirnya memutuskan untuk kembali pulang ke 
desanya. Sementara itu, Efim yakin telah melihat Elisha di Gereja 
Kebangkitan, di Yerusalem, berdoa dengan khusyuk pada Tuhan di barisan 
peziarah terdepan.
Kesamaan usia tokoh pada beberapa cerita 
membuat saya ingin percaya bahwa Leo Tolstoy berusaha menuangkan dirinya
 ke dalam ceritanya. Saya membayangkan, bagaimana Tolstoy menuliskan 
cerita ini. Mungkin ia membayangkan usia senjanya yang akan dipenuhi 
sesi-sesi kontemplasi panjang dan diisi dengan pengabdian pada kaum petani buta pendidikan.
 Sangat tergetar ketika mengetahui bahwa keturunan ningrat yang tidak 
meraih gelar akademisnya di universitas ini, meninggalkan 
isterinya--yang berasal dari kalangan terkemuka Moskow--yang menolak 
gagasannya untuk menghibahkan kekayaannya bagi pendidikan kaum petani, 
hingga akhirnya ia wafat dalam pelariannya, di sebuah stasiun kereta 
api.
Cerita-cerita Leo tolstoy khas akan gaya realis dan sarat 
nilai-nilai religius. Sangat menunjukkan identitas dirinya yang seorang 
pemikir sosial dan moral yang terkemuka di zamannya. Teknik menjalin 
cerita-nya yang lembut dan santun adalah kekuatan yang mengukuhkannya 
seagai sastrawan Rusia yang memiliki andil besar dalam memetakan 
kesuasteraan dunia.
Di Mana Ada Cinta Di Sana Tuhan Ada
 adalah sebuah kumpulan kisah-kisah yang tidak akan lekang oleh 
pergeseran nilai kultural di masyarakat, bahkan oleh trend sastra 
populer yang berkembang pesat dewasa ini. Buku ini akan selalu 
merefleksikan karakter masyarakat di setiap zaman. Mari kita lihat kisah
 Tiga Pertapa. Cerita ini mengisahkan seorang uskup yang 
mengajarkan cara berdoa yang benar pada tiga lelaki tua yang disebut 
sebagai pertapa, yang mendiami sebuah pulau tak berpenghuni. Dan pada 
akhirnya, tiga pertapa yang dianggap bodoh inilah yang, doanya 
pada Tuhan, membuat ketiganya dapat menunjukkan keajaiban pada sang 
Uskup, hingga sang Uskup meminta ketiga pertapa ini untuk mendoakan 
dirinya. Poin ini sangat mudah kita temukan di sekeliling kita. 
Orang-orang yang yakin bahwa dirinya pemeluk agama yang taat, pasti 
benar, mengajari orang-orang bodoh (dalam pandangan mereka), namun tidak dapat menjamin limpahan kasih Tuhan yang mungkin akan tercurah lebih banyak pada Sang Bodoh.
 Hal yang paling mengagumkan adalah nilai-nilai religius universal yang 
diketengahkan Leo Tolstoy dalam setiap ceritanya, membuat saya 
tercengang, mengingat kisah ini dituliskan di tahun 1800-an. Hal ini 
tidak bisa membuat saya berhenti memikirkan pertanyaan: Bagaimana jika seorang Tolstoy hidup di zaman ini?
Akibatnya, terlintas dalam pikirannya bahwa ia mungkin akan mati pada malam itu juga. Namun, pikiran itu tidak menakutkannya. Tidak menjadikannya terlalu resah karena hidupnya bukanlah sebuah masa liburan yang tak terputus-putus, tapi sebaliknya, suatu pelayanan seumur hidup yang mulai membosankannya. Pikiran itu juga tidak terlalu menakutkan sebab ia selalu merasa dirinya tergantung pada Tuhan Yang Maha Besar yang menciptakannya ke dunia ini, dan karena ia tahu bahwa dalam kematiannya, ia masih menjadi pelayan-Nya dan Tuhan akan berlaku baik terhadapnya (page 129, dalam Majikan & Pelayan).
Saya merekomendasikan buku ini pada teman-teman saya yang terlalu sering berhibur dan bermain. Buku ini akan membasahi jiwa-jiwa mereka yang ... maafkan kelancangan saya, terancam tandus ....
4/5 stars         
 
 
 
 

No comments:
Post a Comment