Pages

Sunday, August 23, 2020

Menelusuri Sejarah Luka Alicia

Judul buku: The Silent Patient (Pelukis Bisu)
Penulis: Alex Michaelides
Jumlah halaman: 400
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 5 Februari 2019
ISBN13: 9786020633909
Penghargaan: Goodreads Choice Award for Mystery & Thriller and Nominee for Debut Novel (2019)
 

Alicia Berenson berumur 33 tahun ketika membunuh suaminya. Sudah tujuh tahun mereka menikah. Mereka sama-sama seniman. Alicia pelukis, sedangkan Gabriel fotografer mode terkemuka. Gaya Gabriel khas, memotret wanita-wanita ceking dan setengah telanjang dari sudut yang aneh dan tidak menarik. Sejak kematiannya, harga karya fotonya meroket. Sejujurnya, menurutku karya-karyanya itu sekadar menarik dan agak dangkal. Tak ada kualitas naluriah seperti karya terbaik Alicia. Tentu saja pengetahuan seniku kurang sehingga tak bisa kukatakn apakah Alicia akan bertahan lama sebagai pelukis. Bakatnya akan selalu dibayangi reputasi buruknya, kaena itu sulit bersikap objektif. Kau bisa saja menuduhku bias. Hanya pendapat yang dapat kutawarkan, sepertinya. Bagiku, Alicia termasuk genius. Terlepas dari keahlian teknisnya, ukisan-lukisan Alicia mampu merebut perhatian secara misterius. Hampir mencekik dan mencengkeram leher sekuat sekrup (Dari Bab 1 The Silent Patient, hal. 13).

 Setelah menembak wajah suaminya sebanyak lima kali, Alicia Berenson berhenti berbicara sama sekali. Semua bukti di tempat kejadian perkara pembunuhan mengarahkan kecurigaan kepada Alicia. Ketika Alicia ditemukan oleh polisi di ruang tamu rumahnya bersama mayat Gabriel, Aicia sedang berupaya untuk bunuh diri. Karena mempertimbangkan kondisi kejiwaannya, Alicia akhirnya dibawa ke The Grove, sebuah rumah sakit jiwa, untuk menjalani perawatan. Dengan obat-obatan penenang dosis tinggi, mustahil bagi Alicia untuk mencapai kesadaran yang dibutuhkan untuk memberikan kesaksian. Theo Faber, seorang psikoterapis baru yang sangat terobsesi pada kasus Alicia, berupaya sekuat tenaga untuk membuat Alicia berbicara lagi. Namun, benarkah Alicia membunuh suaminya? Pertanyaan inilah yang membawa pembaca menebak-nebak di sepanjang cerita, tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan Alicia dan Gabriel di malam pembunuhan yang mengerikan itu.

The Silent Patient adalah pemenang Goodreads Choice Award tahun 2019, dan banyak dibincangkan oleh penggemar fiksi thriller. Setelah Gone Girl dan Girl on the Train, tampaknya belum ada lagi cerita thriller yang bisa menyentak saya dengan kejutan tak terduga. Karena itu, saya senang sekali ketika menemukan The Silent Patient dan mendapati diri saya tidak bisa berhenti membaca sampai di halaman terakhir.

The Silent Patient dikisahkan dari sudut pandang Theo Faber, psikoterapis yang menangani Alicia di The Grove. Selain berkisah mengenai sudut pandangnya akan Alicia sebagai seorang psikoterapis, Theo juga sesekali menyelingi ceritanya mengenai dirinya sendiri. Dari cerita itu, kita dapat mengetahui bahwa Theo adalah seorang lelaki dengan masa lalu kelam. Seperti halnya Alicia yang memiliki permasalahan inner child, Theo pun demikian. Keduanya memiliki luka batin akibat hubungan yang buruk dengan ayahnya. Hal itulah yang kemudian saya simpulkan sebagai alasan yang mendorong Theo untuk menyelamatkan Alicia. Narasi subyektif Theo memberikan gambaran seorang lelaki yang tumbuh dengan baik sekalipun dibesarkan dalam kekecewaan. Theo seorang lelaki yang setia dan psikoterapis yang berdedikasi terhadap pasiennya. Sesekali, narasi Theo diselingi oleh bab-bab yang merupakan bagian dari buku harian Alicia. Dan buku harian itu memberikan gambaran betapa Alicia adalah seseorang dengan masalah kepercayaan, penuh curiga, dan seringkali diliputi keraguan. Sulit untuk tidak berpikir bahwa Alicia tidak memiliki masalah kejiwaan.

Sepanjang membaca buku harian Alicia, saya menemukan diri saya yang perlahan-lahan mulai menyukai Alicia. Sehingga saya pun berharap Alicia tidak membunuh suaminya. Namun, setap kali pengisahan beralih ke sudut pandang Theo, saya selalu diliputi keraguan. Benarkah Alicia tidak bersalah? Bagaimana kalau Alicia benar-benar mengidap Borderline Personality Disorder seperti pandangan psikoanalisis Christian—psikoterapis yang menangani Alicia sebelum Theo? Dan perasaan ragu itu terus membayangi saya sepanjang membaca buku ini. Ada kalanya saya berharap Alicia tidak bersalah, akan tetapi tak lama setelahnya, saya kembali menjadi ragu. Namun, satu hal yang saya tahu pasti: Theo Faber berada di pihak Alicia. Dan dia mati-matian mengupayakan kesembuhannya.

Jika ingin mengerti pembunuhan Gabriel, aku perlu memahami bukan saja peristiwa pada malam dia dibunuh Alicia, melainkan juga di masa lalu. Bibit-bibit kejadian beberapa menit ketika Alicia menembak suami mungkin ditabur bertahun-tahun silam. Amarah yang memicu pembunuhan, amarah pembunuh, tidak muncul seketika (hal. 56).

Sepanjang membaca The Silent Patient, saya sepenuhnya terfokus pada Alicia: apa buku hariannya menyiratkan kebohongan? Apakah Alicia bisa dipercaya? Dengan cara apa Theo membuat Alicia berbicara? Apa pesan tersembunyi yang ingin disampaikan Alicia lewat lukisan berjudul Alcestis yang terakhir yang dibuatnya setelah tewasnya Gabriel? Sesekali, saya juga bertanya-tanya, mampukah Theo menyelamatkan Alicia dari badai depresi yang menawannya di dasar sumur tak terjangkau padahal Theo sendiri sedang dikhianati oleh istrinya? Saya jadi semakin bersimpati kepada Theo karena hal ini. Saya memikirkan berbagai skenario tentang kronologis tewasnya Gabriel, siapa pembunuh sebenarnya dan apa motifnya. Di sepanjang perjalanan menebak-nebak itu, saya mendukung Theo dan terapi yang diupayakannya untuk Alicia. Saya sama sekali tidak memikirkan satu hal ini: bagaimana kalau bukan Alicia yang semestinya saya ragukan? Bagaimana kalau ternyata Theo-lah yang tidak bisa dipercaya?

Kita semua tidak waras, aku yakin. Hanya berbeda-beda bentuknya (hal. 31).

The Silent Patient dikisahkan dengan cukup lambat di awal, tetapi anehnya, saya sama sekali tidak merasa bosan. Alih-alih, saya terus saja membalik halamannya selagi membiarkan diri saya diliputi tanda tanya. Kalau Alicia begitu mencintai Gabriel, tidak mungkin dia yang membunuh, ‘kan? Dan siapa yang menguntit Alicia? Apa dia yang membunuh? Apa dia manusia sungguhan ataukah manifestasi paranoia Alicia? Kenapa Alicia membisu? Apakah itu dampak trauma ataukah sebuah keputusan sadar untuk menyembunyikan sesuatu? Pengisahan Theo yang seorang psikoterapis menjadikan narasinya sangat menarik untuk diikuti. Menyusuri riwayat kejiwaan seseorang memang perjalanan yang sulit untuk dilewatkan, karena rasanya seperti becermin. Saya pikir, pembaca yang menyukai isu-isu kejiwaan akan sangat menikmati buku ini.

Dengan narator yang unreliable—tidak dapat dipercaya, The Silent Patient menyajikan thriller psikologi yang tidak saja intens, melainkan juga emosional. Meski tanpa adegan aksi atau mencekam, buku ini akan membuat pembaca sulit melupakannya begitu saja. Meski misterinya baru terungkap nyaris di bagian akhir cerita, saya sama sekali tidak keberatan. Saya hanya agak kesal karena merasa dikecoh oleh alur berkisah Theo yang “tidak jujur” (saya tidak akan menceritakan ini lebih jauh karena mengandung spoiler). The Silent Patient sudah pasti akan menjadi salah satu fiksi thriller yang saya favoritkan di tahun ini (tapi saya ragu bisa menemukan yang lebih baik dari ini, setidaknya di tahun ini).

Pada akhirnya, The Silent Patient adalah cerita tentang cinta, kepercayaan, kemarahan, dan luka. Betapa orang-orang yang kita cintai adalah orang-orang yang paling mampu melukai kita, bahkan ketika mereka tidak bermaksud melakukannya. The Silent Patient membawa kita menelusuri sejarah luka Alicia yang membisukan dan menghancurkannya perlahan dari dalam.

Saya akan menutup ulasan ini dengan dua kutipan favorit saya dari The Silent Patient. Kutipan ini mengingatkan saya lagi tentang betapa kuatnya manusia ketika merasa dicintai, dan betapa tanpa cinta, manusia hanyalah spesies mamalia tanpa kelembutan yang bengis dan mengerikan.

…betapa seringnya kita menyangka cinta sebagai letupan—sebagai drama dan gangguan. Tapi cinta sejati sangat senyap, sangat hening. Membosankan, dilihat dari sudut pandang pemabuk drama. Cinta dalam dan tenang—juga konstan (hal. 129).

…Salah satu hal yang paling berat untuk diakui adalah kita tak dicintai ketika paling membutuhkannya. Perasaan yang menyekitkan, kepedihan karena tidak dicintai (hal. 130).

 

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...