Pages

Tuesday, December 02, 2014

Sebuah Makalah Untuk Mata Kuliah "Makna Hidup"

Judul buku: Tuesdays with Morrie
Jumlah halaman: 220 halaman paperback
Penulis:
Tahun terbit: Juli 2014 (terbit pertama kali tahun 1997, pertama kali tditerbitkan di Indonesia tahun 2001)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN13: 9786020306810

         Dalam kehidupan universitasnya yang kering, Mitch secara tidak sengaja menemukan oase. Oase itu berwujud profesor tua yang ramah, lembut hati, dan bijaksana, bernama Morrie Schwartz. Dalam hari-hari persahabatan mereka yang menyenangkan, Mitch memanggilnya Coach, dan Profesor favorit itu memanggilnya Player. Mereka kerap menghabiskan waktu di hari Selasa, dan berbincang tentang mimpi, cita-cita, dan kehidupan di sekeliling mereka. Morrie adalah pendengar yang baik, dan pada gilirannya untuk berbicara, dia pun seorang pembicara yang menyenangkan. Kalimat-kalimatnya menenangkan sekaligus mengusik Mitch. Mitch menyukai Profesor itu, meski nampaknya itu tidak akan sebesar rasa sayang sang Profesor kepadanya.
         Di hari wisudanya, Morrie meminta Mitch untuk mengunjunginya lagi. Tetapi belantara yang kejam telah menelan Mitch dalam gerlapnya yang membutakan. Mitch mengejar kehidupan layak dalam standard umum yang disepakati budaya Amerika yang dianutnya. Lalu suatu hari, Morrie melintas dalam kehidupan Mitch yang mapan dan jauh lebih kering dari yang dia sadari. Mitch tersadar, sudah tiba saatnya bagi dirinya untuk kembali kepada sang Profesor. Memenuhi permintaannya untuk mengunjunginya lagi. Dan ketika itu terjadi, Mitch merasa upayanya itu terasa nyaris terlambat. Untunglah, di penghujung kehidupan Morrie, Mitch berhasil menyelesaikan kuliah terpenting dalam hidupnya, dalam bimbingan sang Profesor, di belasan hari Selasa paling berarti bagi Mitch. Sebuah kuliah tentang Makna Hidup.
Kuliah terakhir dalam hidup sang professor yang sudah berusia lanjut itu berangsung sepekan sekali di rumahnya, di dekat jendela ruang kerja tempatnya dapat menikmati keindahan kembang sepatu yang bunganya merah jambu. Kuliahnya dijadwalkan tiap Selasa. Mulainya tepat seusai sarapan. Judulnya Makna Hidup. Bahan-bahannya digali dari pengalaman.
Kuliah itu tak diberi nilai, tetapi setiap minggu ada ujian lisan. Kita diharapkan dapat menjawab semua pertanyaannya, begitu pula kita diharapkan melakukan pekerjaan fisik seperti memindahkan letak kepala sang profesor ke tempat yang lebih nyaman pada bantalnya atau menaruh kacamata pada punggung hidungnya. Memberinya ciuman selamat tinggal bisa mendapat kredit tambahan.
Buku tak diperlukan, namun banyak topik yang diperbincangkan, antara lain cinta, kerja, kemasyarakatan, keluarga, menjadi tua, semangat memaafkan, dan, akhirnya, kematian. Ceramah terakhirnya singkat, cuma beberapa patah kata.
Upacara wisuda diganti dengan upacara pemakaman (hal.1).
Mitch Albom menyebut Tuesdays With Morrie sebagai makalah bagi mata kuliah terakhirnya bersama sang Profesor. Maka bab-bab di buku ini pun diberi judul unik. Dimulai dengan kurikulum, silabus, lalu bab-bab yang merangkum percakapan-percakapan Morrie dan Mitch dengan topik yang berbeda-beda di setiap Selasanya. Dunia. Mengasihani Diri Sendiri. Penyesalan Diri. Kematian. Keluarga. Emosi. Takut Menjadi Tua. Uang. Cinta yang Tak Padam. Perkawinan. Budaya. Maaf. Hari yang Paling Baik. Mengucapkan Kata Perpisahan.
Tuesdays With Morrie dituliskan dari kisah nyata yang dialami sendiri oleh penulisnya. Saya rasa, inilah titik kekuatan buku ini dalam menggugah dan menggerakkan emosi pembacanya. Saya terkejut ketika mendapati mata saya basah, padahal saya baru tiba di halaman dua puluh. Tentu saja, saya sama sekali tidak kesulitan untuk mengagumi dan menjatuhcintai Profesor Morrie Schwartz. Tapi saya tidak menyangka akan langsung menyukainya bahkan sejak awal kemunculannya. Keramahan dan kerendahan hati Morrie langsung terasa begitu namanya disebut. Kehangatan Morrie terasa mengalir di sepanjang kisah ini. Saya tidak bisa menahan haru di beberapa bagian. Kebersahajaan dan kebaikan hati Morrie mengguncang saya dengan kelembutan yang meruntuhkan. Dalam dialog-dialog antara Morrie dan Mitch, hampir tidak ada kalimat-kalimat fantastis yang terlontar dari Morrie. Namun, kesederhanaan tuturnya telah berhasil menguak hal-hal yang begitu akrab namun nampaknya sudah terlalu lama kita abaikan. Hal-hal yang diam-diam kita rindukan namun kesulitan untuk menggapainya karena kehidupan di sekeliling kita sudah menenggelamkannya jauh di dasar kesadaran kita. Dengan cara yang paling sederhana, hal yang hilang itu bisa kita sebut sebagai kejernihan pandang, sebentuk kemurnian, yang dengannya, kita akan dengan memudah memaafkan orang-orang, melelehkan dendam yang menggumpal-gumpal di dalam diri kita, dan satu-satunya hal yang kita inginkan hanyalah memberi. Memberi yang sebanyak-banyaknya. Jika kita menganggap itu tidak masuk akal, kita hanya perlu mengingat Morrie. Karena Morrie yang begitu halus perasaannya, dan penuh kasih sayang, bukanlah anak yang bergelimang cinta kasih di masa kanak-kanaknya. Saya kagum kepada bagaimana Morrie membangun kehidupan paradoksal dari masa kecilnya yang suram. Padahal dia hidup dalam kungkungan rantai budaya individualistik yang sangat erat membelit dunia di sekelilingnya.
“Ya, pertama, kita orang Amerika hidup dalam budaya yang tidak membuat kita sendiri merasa nyaman. Peradaban ini mengajarkan banyak hal yang keliru. Dan kita harus cukup tangguh untuk berani mengatakan bahwa bila budaya itu tidak sesuai dengan hati, jangan diteruskan. Ciptakan budaya kita sendiri. Kebanyakan orang tidak sanggup melakukannya. Mereka lebih tidak bahagia ketimbang aku—bahkan dalam kondisiku seperti sekarang (hal. 37-38).

“Aku memberi kesempatan kepada diriku untuk menangis kalau itu perlu. Tapi setelah itu aku memusatkan perhatianku kepada segala hal yang masih baik dalam hidupku. Kepada orang-orang yang datang menjengukku. Kepada kisah-kisah yang akan kudengar. Kepadamu—setiap Selasa.
“Mitch, aku tidak membiarkan diriku hanyut dalam rasa kasihan berlebihan kepada diriku sendiri. Setiap pagi kubiarkan diriku menangis sedikit, tapi hanya itu” (Bab Mengasihani Diri Sendiri: 61).

Selasa-Selasa Mitch bersama Morrie selalu menjadi hari yang saya nantikan selama membaca buku ini. Saya ingin mengetahui keadaan Morrie karena Amyotrophic Lateral Sclerosis yang sudah merenggut kebebasan dan kegesitannya. Saya tidak sabar ingin mendengar kuliahnya untuk Mitch yang setiap minggu menjadi semakin singkat. Saya tidak bisa menahan haru setiap kali mengetahui di Selasa berikutnya, Morrie sudah kehilangan satu lagi kemampuan hidupnya yang penting, tetapi berjuang untuk tidak kehilangan kemampuannya untuk menunjukkan kasih sayang kepada Mitch.
“Cinta adalah sesuatu yang penting. Seperti kata penyair besar Auden, ‘Saling mencintai, atau punah dari muka bumi’” (Hal. 97).
Kelenjar airmata saya berkerja otomatis di banyak bagian. Salah satunya adalah ketika Morrie sedang melakukan wawancara dengan sebuah program TV Amerika dengan jutaan pemirsa, yang dipandu seorang lelaki-terlalu-ceria bernama Ted. Betapa saya tersentuh oleh optimisme dan daya hidup Morrie sehingga dia dapat memberi lebih banyak makna untuk orang lain.
Bagaimana cara Anda beramal andaikata Anda tidak mampu bicara lagi?”
Morrie mengangkat bahu. “Barangkali saya akan meminta orang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya ya atau tidak” (hal. 74-75).
Setelah menyelesaikan buku ini, saya terkejut karena mendapati bahwa saya sudah melipat sebagian besar dari halaman-halaman buku. Ada banyak halaman yang memuat kutipan-kutipan penting yang ingin saya ingat lebih lama. Sebisa mungkin, selama-lamanya. Tapi, lebih dari itu semua, buku ini berhasil mencapai tujuannya dengan sangat gemilang. Cara pandang saya mulai bergeser secara perlahan, bergerak menuju kemurnian, yang akan melarutkan segala kemurungan. Bergerak menuju kehangatan yang sanggup melelehkan segala kebencian dan kemarahan. Saya pikir, setiap orang harus memiliki buku ini di rak buku mereka, agar mereka dapat dengan segera membukanya ketika mereka merasa cemas dan takut tentang kehidupan yang semakin keras di luar rumah mereka, atau ketika mereka takut kepada kematian, atau ketika mereka lupa caranya mencintai, atau ketika mereka mulai mengabaikan arti penting pemberian-pemberian kecil mereka kepada orang lain, atau ketika mereka marah, atau merasakan kebencian yang menghancurkan.
Kredit Gambar


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...